KETERANGAN

Pada dimensi ini, DPR memperoleh skor 52,07. Angka ini merupakan gabungan dari tujuh indikator, yaitu:

  • Indikator I yaitu kesesusaian jadwal Pembicaraan Tingkat I sebuah RUU dengan pelaksanaan (masa sidang, tanggal sidang, waktu sidang).
  • Indikator II yaitu kesesusaian perencanaan jadwal Pembicaraan Tingkat II dengan pelaksanaan (masa sidang, tanggal sidang, waktu sidang).
  • Indikator III yaitu tingkat kehadiran anggota DPR dalam sidang sebuah pembahasan sebuah RUU (secara individu dan keterwakilan fraksi).
  • Waktu penetapan prolegnas prioritas
  • Jadwal Pembicaraan Tingkat I sebuah RUU sejak ditetapkan dalam prolegnas prioritas
  • Jadwal Pembicaraan Tingkat II (penetapan) sebuah RUU sejak selesainya Pembicaraan Tingkat I
  • Dibentuk tidaknya Panja untuk membahas RUU

TEMUAN DAN ANALISIS

1. Ada 4 RUU yang Jadwal Penetapannya Sesuai Perencanaan

Empat RUU tersebut adalah RUU Bea Materai dan tiga RUU yang berkaitan dengan pengesahan ratifikasi internasional. Hanya waktu pelaksanaannya yang mundur dari jam yang ditentukan. RUU lainnya, tidak diketahui karena data dan informasi yang dibutuhkan tidak tersedia. Meski tidak diketahui secara pasti timeline rencana pembentukannya, secara umum, RUU Cipta Kerja, masuk dalam kategori ini. Seperti diketahui Presiden Joko Widodo sendiri pernah menyatakan keinganannya untuk menyelesaikan RUU ini dalam 100 hari.  

2. Ada 7 RUU yang Selesai Dibahas Dalam 2 Masa Sidang

Dari 8 RUU, ada 7 RUU yang selesai dibahas dan disahkan dalam 2 masa sidang. Adapun satu RUU yang diselesaikan dalam 3 masa sidang yaitu RUU tentang Cipta Kerja karena banyaknya materi muatan (mengubah 78 UU) dan pihak yang terlibat dalam pembahasan RUU dibandingkan RUU lainnya. Meski demikian, protes publik pada RUU tersebut terjadi sangat massif baik berkaitan dengan aspek materil maupun formil.

3. Tingkat Kehadiran Rata-Rata Anggota DPR dalam Sidang-Sidang Pembahasan RUU Sebanyak 65%

Persentase ini dihitung berdasarkan telaah atas 68 Laporan Singkat sidang selama masa sidang 2020-2021. Dari 68 sidang, terdapat 39 sidang dengan tingkat kehadiran yang mencapai di atas angka rata-rata, sementara sisanya atau sebanyak 29 sidang dengan tingkat kehadiran yang di bawah rata. Hanya 1 sidang yang tingkat kehadirannya mencapai 100%, yaitu pada Rapat Panja RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dengan agenda rapat laporan tim perumus dan pembahasan draf, yang dilaksanakan pada 11 Juli 2021.

Ada 3 sidang dengan tingkat kehadiran yang paling rendah (37%), yaitu pada rapat panja RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dengan agenda 1) Penjeleasan Terhadap Hasil Laporan dan Hasil Audit, 2) Penjelasan Terkait Kebijakan dan Perkembangan Pendidikan dan Kesehatan yang dilaksanakan pada 2 Juni 2021, dan 3) masukan dan pendapat DPD pada 8 Juni 2021.

Terkait tiga temuan ini, ada konteks legislasi, yang juga potensial mempengaruhi, yaitu berkaitan dengan banyaknya jumlah RUU yang diajukan dalam Prolegnas Jangka Menengah dan Prolegnas Prioritas Tahunan. Banyaknya RUU dapat menyebabkan fokus pembahasan pada sebuah RUU yang urgent menjadi terganggu. Antara lain berkaitan dengan tingkat kehadiran dalam sidang-sidang pembahasan RUU.

Ada sejumlah persoalan yang melatarbelakangi mengapa DPR dan pemerintah selalu dihadapkan pada jumlah RUU yang banyak. Pertama, banyaknya pihak yang berhak mengajukan RUU (DPR, Pemerintah, dan DPD) namun tidak disertai dengan kejelasan standar verifikasi usulan (Misal: ketepatan materi muatan,  urgensi, dan ketepatan solusi). Hal ini diperparah dengan tidak adanya kewenangan Badan Legislasi DPR RI, sebagai pihak yang bertanggung jawab pada pembentukan UU untuk menyatakan menolak sebuah RUU dan tidak ada pula upaya untuk melakukan harmonisasi secara tematik pada tahap perencanaan.

Dari tiga lembaga yang berhak mengusulkan RUU, harus diakui, sebenarnya Pemerintah relatif memiliki perencanaan yang lebih baik pada aspek substansi dan prosedur. Dengan prasyarat, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Hukum dan HAM bersinergis dengan baik, di bawah komando sang Presiden. Pada periode 2019-2024, Bappenas telah menyusun Kerangka Regulasi Agenda Pembangunan terkait RPJMN 2020-2024, dengan jumlah 37 RUU. Dalam rentang satu periode, jumlah itu terbilang rasional untuk diselesaikan (dengan asumsi, sudah beres pada aspek substansi). Namun pada Prolegnas 2020-2024, ternyata Pemerintah (melalui Kemenkumham) mengajukan total 86 RUU (baik secara mandiri, maupun bersama DPR dan/atau pemerintah). Hal ini menunjukkan ada problem koordinasi di intenal pemerintah. Problem yang lebih kompleks terjadi di DPR karena potensi ego sektoral (fraksi atau AKD) yang lebih besar dan sulit diselaraskan karena faktor-faktor politik. 

4. Ada 3 RUU yang Tidak Disertai Dengan Pembentukan Panja 

Tiga RUU yang tidak disertai pembentukan panja adalah RUU yang berkaitan dengan pengesahan ratifikasi internasional. Pada dasarnya, Panja dibentuk berdasarkan kebutuhan dari AKD yang membahas RUU. Pada praktiknya, RUU yang berkaitan dengan ratifikasi tidak disertai dengan pembentukan Panja. Apalagi jika RUU ini masuk dalam kategori RUU kumulatif terbuka. Apakah dengan cara seperti ini berarti pembahasan RUU menjadi efektif? Sekilas terlihat efektif, tapi ada potensi masalah di masa yang akan datang jika DPR tidak melakukan pemetaan dan pendalaman isu pada sebuah perjanjian internasional yang akan diratifikasi (sebagai contoh perjanjian ektradisi Indonesia – Singapura yang pernah ditolak di era pemerintah SBY). Karena potensi dampaknya dalam skala global, maka Pada perjanjian internasional, efektivitas prosedur perlu dikaitkan juga dengan aspek substansinya. Dalam rangka pemetaan dan pendalaman isu itulah, keberadaan Panja dibutuhkan, baik terkait aspek klausula material (dispositive provision) dan klausula formil. Ini yang tidak terlihat pada ratifikasi tiga perjanjian internasional di Tahun Sidang 2020-2021 ini. 

Pada RUU Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan tiga RUU terkait ratifikasi perjanjian internasional, efektivitas proses pembentukannya disebabkan RUU ini masuk dalam kategori RUU kumulatif terbuka. Sementara pada RUU lainnya, terutama RUU Cipta Kerja, efektivitas pembentukannya dapat diterangkan dengan sahih dalam perspektif konfigurasi politik. 

Bintan R. Saragih (dalam Hotma P. Sibuea: 2017) mendefinisikan konfigurasi politik sebagai “gambaran perimbangan kekuatan-kekuatan politik yang nyata dan eksis dalam suatu sistem politik”, termasuk dukungan DPR untuk pemerintah. Dengan  81,91 % kursi di DPR, maka sangat mudah bagi pemerintah untuk membentuk UU sesuai dengan keinginannya. Bahkan terhadap UU yang melemahkan fungsi pengawasan dan anggaran DPR itu sendiri, seperti pada Perppu Covid, tetap bisa lolos.

No Nama Fraksi Kursi Persentase Posisi
1 Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 128 22,26

Koalisi Pemerintah

417 kursi

(81,91 %)

2 Fraksi Partai Golongan Karya 85 14,78
3 Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya 78 13,57
4 Fraksi Partai Nasdem 59 10,26
5 Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa 58 10,09
6 Fraksi Partai Amanat Nasional 44 7,65
7 Fraksi Partai Persatuan Pembangunan 19 3,30
8 Fraksi Partai Demokrat 54 9,39

Koalisi Oposisi

104 kursi

(18,09 %)

Salah satu cara untuk membangun efektivitas legislasi adalah memberikan ruang (dengan batasan yang ketat) untuk pembentukan UU dengan mekanisme fast track legislation (ini berbeda dengan constitutional decree authority). Pada umumnya, mekanisme fast track legislation memiliki dua bentuk penerapan, yaitu dengan memangkas tahapan pembentukan atau membatasi waktu yang pembahasan RUU. Apabila ingin diadopsi, maka beberapa hal yang perlu diperjelas terkait mekanisme ini adalah

  • materi RUU yang dibolehkan menggunakan mekanisme fast track legislation
  • prosedur (termasuk jaminan transparansi dan partisipasi publik);
  • jangka waktu pembentukan UU;
  • pihak yang berhak mengusulkan RUU (misalnya dibatasi hanya untuk Presiden);
  • pemuatan sunset clause (jangka waktu berlakunya UU).
  • kriteria AKD yang membahasnya (termasuk
  • mekanisme kerja AKD, misalnya, dengan meniadakan pembentukan Panitia Kerja
  • dan lain-lain

Tentu ada konsekuensi yang timbul atas disetujuinya sebuah RUU menggunakan mekanisme fast track legislation, misalnya: menambah jangka waktu masa sidang (yang berarti mengurangi masa reses) dan menunda pembentukan UU lainnya. Ketimbang berjalan secara liar tanpa pengaturan, sebaiknya mekanisme ini diregulasi dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.