e-Parliament
e-Parliament seharusnya dipahami untuk tujuan lebih luas yakni memberdayakan parlemen sekaligus mendorong masyarakat yang lebih melek informasi, sadar akan hak-haknya, dan kritis terhadap kehidupan bernegara
MENGENAL E-PARLIAMENT
Pengantar
Kemunculan internet yang kemudian diikuti oleh media sosial, mengubah pandangan dan perilaku berbagai kalangan terhadap informasi, relasi, dan cara memenangkan sebuah kontestasi. Skandal Cambridge Analytica, pada pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016 lalu menjadi bukti. Di sisi lain, jumlah penghuni dunia maya terus meningkat. Pada awal 2021, WeAreSocial melansir jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta dari 274,9 juta penduduk Indonesia (meningkat 27 juta orang atau 15,5 % dari tahun 2020). Dari jumlah tersebut, 170 juta di antaranya merupakan pengguna media sosial aktif (meningkat 10 juta orang atau 6,3 % dibanding 2020)[1]. Dengan jumlah yang besar dan kian meningkat ini, semua kalangan termasuk pemerintah dan parlemen perlu segera berbenah, mengelola dunia maya seserius mengelola dunia nyata.
__________________________
[1] “Digital 2021, Global Overview Report,” We Are Social dan Hootsuite, diakses pada 17 Juli 2021, https://wearesocial.com/digital-2021.
Konteks e-Parliament: Internet dan Masyarakat
Ketika internet bertemu dengan politik dan pemerintahan, terciptalah ruang publik baru yang disebut dengan ruang publik virtual dan ruang partisipasi siber (partisipasi di dunia maya). Masyarakat dapat menyampaikan keluh kesah, memperbincangkan kebijakan pemerintah, menggunakan pelayanan publik, dan berinteraksi dengan para aktor pembuat kebijakan. Di sisi lain, ruang internet juga tidak lepas dari berbagai gangguan sebagaimana pada ruang publik konvensional, seperti persekusi, intimidasi, dan kekerasan.
Ruang publik baru ini telah menyatu dengan dinamika politik dan demokrasi. Sebagai contoh, gelombang reformasi 1998 salah satunya didorong oleh konsolidasi massa melalui internet. Sebelum rezim Orde Baru tumbang, internet dengan fasilitas mailing list (milis) berhasil menciptakan ruang diskusi bebas sensor di kalangan para aktivis. Bahkan setelah Menteri Penerangan mengeluarkan sensor terhadap media cetak dan elektronik pada 15 Mei 1998, satu-satunya ruang publik yang bebas dari sensor pemerintah adalah internet. Pesan-pesan lugas disebarluaskan melalui milis pro reformasi[1] yang pada akhirnya memicu gelombang demonstrasi dan menduduki gedung DPR/MPR.
Pasca reformasi 1998, gerakan publik untuk berpartisipasi mempengaruhi kebijakan dapat dilihat dalam penggalangan “Koin Peduli Prita” yang berhasil mengumpulkan Rp. 825 juta sebagai bentuk kepedulian publik terhadap ketidakadilan yang dialami oleh Prita Mulyasari. Dana tersebut digunakan untuk menebus ganti rugi. Rumah Sakit (RS) Omni Internasional menggugat Prita Mulyasari dengan kasus pencemaran nama baik setelah Prita menuliskan keluh kesahnya terhadap pelayanan RS Omni Internasional pada surat elektronik. Gerakan “Koin Peduli Prita” pada akhirnya membuka mata pembuat kebijakan untuk merevisi UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).[2]
Demonstrasi mahasiswa pada September 2019 di depan gedung MPR/DPR dan di sejumlah daerah dalam merespon revisi RUU KPK, juga tidak terlepas dari peran media sosial. Berbagai poster, meme, dan infografis yang mengkritik DPR dan Pemerintah dalam pembahasan RUU KPK bertebaran di media sosial. Kampus-kampus di seputaran Jabodetabek berinisiatif bergerak menuju DPR, bahkan sekelompok anak Sekolah Teknologi Mesin (STM) juga turut berdemonstrasi. Akhirnya, DPR menunda pengesahan RUU KPK dan baru melaksanakannya pada akhir periode 2014-2019.
Selain menjadi media penghubung untuk gerakan sosial, internet juga memicu munculnya model pemerintahan digital atau biasa disebut dengan e-Government, yaitu penggunaan TIK oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan intensif kepada masyarakat, pelaku bisnis, dan lingkungan pemerintah dengan menggunakan aplikasi berbasis web melalui perubahan pada proses internal dan eksternal dalam rangka mengurangi korupsi, meningkatkan transparansi, meningkatkan kemudahan, meningkatkan pendapatan, dan mengurangi ongkos dalam penyelenggaran pemerintahan.[3]
Titik pertemuan ruang publik digital dengan pemerintahan digital semakin mengarahkan pada penguatan demokrasi digital. Artinya, proses-proses demokrasi yang berjalan secara konvensional memantulkan diri apa adanya dalam demokrasi digital. Dalam konteks politik dan demokrasi perwakilan, proses-proses pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan, penganggaran, dan representasi juga dapat diakses pantulannya dalam demokrasi digital, sehingga saat pantulan itu sampai di ruang publik digital, ada nilai relevansi yang menjadi bahan diskursus warganet.
Internet memberikan fasilitas berupa kemudahan akses, kecepatan aksi dan respon, sekaligus jumlah dan ragam informasi. Insentif yang diberikan internet ini seharusnya disambut oleh lembaga perwakilan untuk meningkatkan pengelolaan data dan informasi internal, pelayanan representasi, transparansi, partisipasi, dan membangun akuntabilitas publik. Maka, sudah sewajarnya parlemen mempersiapkan diri menuju parlemen digital atau e-Parliament.
__________________________________
[1] Zainal Fatah dan Megasari Noer Fatanti, “Mempolitisasi Ruang Virtual: Posisi Warga-Net dalam Praktik Demokrasi Digital di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Sosial, Vol. 3 – no. 1 (2019): 309.
[2] Wicak Hidayat, “17 Gerakan Sosial Online yang Bikin Bangga,” Kompas, diakses pada 1 Oktober 2020, https://tekno.kompas.com/read/2014/08/15/10120097/17.Gerakan.Sosial.Online.yang.Bikin.Bangga.
[3] Bambang Irawan, “Studi Analisis Konsep E-Government: Sebuah Paradigma Baru dalam Pelayanan Publik,” Jurnal Paradigma, Vol.2 No.1 (April 2013): 175 -176.
Sejarah e-Parliament
Penggunaan TIK telah menjadi tren untuk mengembangkan demokrasi di ruang-ruang siber sekaligus mendorong peningkatan efektivitas dan efisiensi layanan lembaga negara, termasuk parlemen. TIK menjadi hal yang esensial dalam mendukung kerja-kerja lembaga legislatif. Parlemen sebagai lembaga demokrasi, idealnya memanfaatkan semaksimal mungkin potensi TIK agar menjadi lembaga yang lebih representatif, transparan, akuntabel, dan dapat diakses oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.
Konsep penggunaan TIK untuk meningkatkan kerja-kerja parlemen dapat diartikan secara sederhana sebagai e-Parliament, sebagaimana diurai oleh The World Bank Institute. e-Parliament memperkuat demokrasi parlementer dengan meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan kerja parlemen itu sendiri.[1] The European Centre for Parliamentary Research and Documentation (ECPRD), salah satu pihak yang mengembangkan konsep e-Parliament, mengurainya menjadi hal-hal yang bersifat teknis. Dalam beberapa presentasi pada pertemuan Kelompok Kerja TIK, parlemen yang tergabung dalam ECPRD sebagian besar mengasumsikan e-Parliament dalam kerangka ketersediaan infrastruktur teknologi informasi dan penggunaannya untuk mempermudah kerja-kerja parlemen.[2]
Hal tersebut tidaklah salah, karena memang kehadiran TIK menjadi salah satu penentu e-Parliament. Meskipun, penggunaan TIK di parlemen bukanlah hal baru. TIK telah mendukung efektivitas sejumlah pekerjaan administratif seperti pembayaran gaji dan penyimpanan informasi kepegawaian. TIK bermanfaat untuk mencetak dokumen sehingga publikasi dan penyebaran RUU, agenda, risalah rapat, dan dokumen resmi lainnya secara cepat dan efisien. Komputer dengan sistem operasi yang dapat melakukan berbagai tugas (multitask), pada akhir tahun 1970-an mendorong manajemen informasi menjadi lebih baik, seperti pengambilan dan penayangan secara terbatas terhadap catatan rapat untuk melacak RUU.[3]
Perkembangan cepat internet dan web menjadi bagian paling penting dalam penerapan e-Parliament dewasa ini. Internet dan web menjadi temuan yang sangat mendasar agar penggunaan TIK dapat berdampak fundamental terhadap kinerja parlemen yang memerlukan kecepatan tinggi, komunikasi yang lancar, dan kemampuan komputasi yang menyediakan akses bagi masyarakat, informasi, dan ide.[4]
Berikut ini beberapa perkembangan penggunaan TIK yang berkaitan dengan data dan informasi. Pada 1994, parlemen Kanada mengembangkan jaringan bernama Office Automation Systems and Information Services (OASIS) Network, yang memungkinkan anggotanya memiliki akses ke siaran sidang parlemen dan tayangan rapat komisi, saluran audio rapat parlemen, serta meminta rekaman video dan audio rapat komisi.[5] OASIS Network merupakan seperangkat teknologi automasi yang dapat digunakan oleh para anggota parlemen (dua kamar), staf, dan juga perpustakaan parlemen. OASIS merupakan sistem suara, video, dan data terintegrasi.[6]
Parlemen Inggris memiliki Parliamentary Data and Video Network (PDVN) yang diskusinya sudah dimulai sejak 1983, ketika Komite Khusus untuk Layanan Komputer House of Commons (Dewan Perwakilan Rakyat) Inggris membuat survei terkait kebutuhan TIK anggota parlemen. Hasil survei dan laporannya didiskusikan pada 1984 tapi tidak ada langkah lanjutan. Langkah signifikan baru dimulai ketika PDVN diperkenalkan tahun 1994 dengan sambungan pada internet dan intranet. Layanan PDVN akhirnya terintegrasi kepada sejumlah hal seperti penyediaan surat elektronik dan faksimili, serta akses ke Parliamentary On-Line Information System (POLIS), yang merupakan pusat data dengan lebih dari sejuta nama dan topik terindeks. PDVN kemudian menjadi sumber utama anggota terutama sebagai perangkat penelitian.[7]
Sementara di Amerika Serikat (AS), yang dianggap sebagai pionir pengembangan teknologi, proses pengenalan automasi kerja Kongres melalui TIK dapat dilacak sejak dimulainya penggunaan voting elektronik (e-voting) di DPR AS pada tahun 1973,[8] meskipun sebenarnya pembahasan mengenai voting elektronik bermula pada 1848, ketika beberapa anggota DPR AS mengajukan petisi untuk voting elektronik. Thomas Alva Edison pun pernah mempresentasikan mesin voting telegrafis ke DPR AS pada 1864. Namun, usulan ditolak dengan dalih mesin tersebut akan mendorong proses legislasi terlalu cepat dan menghambat hak-hak prosedural partai minoritas.[9]
Pada awal 1980-an, surat elektronik (surel) mulai dipergunakan secara internal di DPR AS. Sementara surel untuk komunikasi eksternal mulai diperkenalkan pada pertengahan 1990-an. Dengan munculnya internet, DPR dan Senat AS mulai memperkenalkan web mereka pada akhir 1994.[10] The Library of Congress (LC) memperkenalkan web untuk melacak legislasi di Kongres AS pada tahun 1995 dengan nama THOMAS, label sistem yang didedikasikan untuk Thomas Jefferson.
THOMAS merupakan inisiatif bipartisan dari para fraksi di kongres. THOMAS, per Juli 2016, berganti rupa menjadi congress.gov karena kapasitas teknisnya sudah tidak mampu mengikuti perkembangan dan tuntutan kebutuhan informasi. Congress.gov meluncurkan beta sejak September 2012 dengan penerapan desain dan infrastruktur yang lebih modern mencakup seperangkat data legislatif yang luar biasa, dengan akses ramah seluler, pencarian bertahap, dan fitur-fitur lainnya.[11]
Dari waktu ke waktu, parlemen beradaptasi dengan berbagai inovasi teknologi dan digital, untuk menjalankan fungsi-fungsi mereka. Survei IPU 2018 menunjukkan 92% anggota parlemen (responden) menggunakan TIK dalam kerja-kerja mereka. Dari jumlah tersebut, 94% mampu mempublikasikan informasi dan konten ke platform media sosial. Perkembangan publikasi informasi dan dokumen di web parlemen juga mengalami peningkatan dari 49% (2012) menjadi 73% (2018). Sementara kemampuan mengelola dokumen/kemampuan menyebarluaskan informasi dan dokumen juga berkembang menjadi 66% (2018) dari 28% (2012). Perkembangan serupa dalam penggunaan TIK juga tampak pada dokumen dalam jaringan (daring) yang dipublikasikan dengan cara yang lebih mudah diakses dari 23% (2012) menjadi 56% (2018).[12]
Perkembangan penggunaan TIK di beberapa parlemen di atas, memperlihatkan bagaimana fungsi TIK mengubah beragam mekanisme kerja parlemen, tidak hanya untuk kepentingan internal tetapi juga eksternal. e-Parliament tidak lagi dipahami secara sederhana sebagai penggunaan TIK dalam kerja-kerja parlemen atau mengenai kebutuhan infrastruktur IT semata. Penggunaan TIK dalam konteks interaksi publik-parlemen (anggota parlemen, staf, dan sistem pendukung), dipahami untuk tujuan lebih luas yakni memberdayakan parlemen sekaligus mendorong masyarakat yang lebih melek informasi, sadar akan hak-haknya, dan kritis terhadap kehidupan bernegara.
[1] Tess Kingham, “e-Parliaments The use of Information and Communication Technology to Improve Parliamentary Process,” World Bank Institute Working Papers (Washington: World Bank, 2003), 17.
[2] Lihat lebih lanjut dalam presentasi peserta pada ECPRD ICT Working Group Meeting, Siprus, 2003 dengan tema pertemuan “Technology in support of the parliamentary process, developing a technical concept for e-parliament.” http://www2.parliament.cy/parliamenteng/006_05_03.htm
[3] Jeffrey C Griffith, “ICT In Parliaments, Current Practices, Future Possibilities, Global Centre for ICT in Parliament,” (discussion Paper for the World e-Parliament Conference 2007), 6. http://archive.ipu.org/splz-e/e-parliament07/paper1.pdf.
[4] Ibid.
[5] “Visits Undertaken in Connection with the Inquiry,” UK Parliament, diakses pada 29 Agustus 2020, https://publications.parliament.uk/pa/cm199900/cmselect/cmbroad/642/64213.htm.
[6] Audrey O’Brien dan Robert Desramaux, “The Canadian Parliament’s Automated Information Systems,” abstract, Government Information Quarterly Volume 8, Issue 3 (1991): 309. https://doi.org/10.1016/0740-624X(91)90066-H.
[7] Stephen Coleman, “Westminster in the Information Age,” Journal of Parliamentary Affairs, Volume 52, Issue 3 (1999): 375. https://doi.org/10.1093/pa/52.3.371.
[8] “Electronic Technology in the House of Representatives.” www.history.house.gov, diakses pada 26 Agustus 2020, https://history.house.gov/Exhibitions-and-Publications/Electronic-Technology/House-Technology/.
[9] “Electronic Voting.” www.history.house.gov, diakses pada 26 Agustus 2020, https://history.house.gov/Exhibitions-and-Publications/Electronic-Technology/Electronic-Voting/.
[10] “Email me: Congress and the Internet.” www.history.house.gov, diakses pada 26 Agustus 2020, https://history.house.gov/Exhibitions-and-Publications/Electronic-Technology/Internet/.
[11] “THOMAS.gov to retire July 5.” www.loc.gov, diakses pada 26 Agustus 2020, https://www.loc.gov/item/prn-16-004/thomas-gov-to-retire-july-5/2016-04-28/.
[12] Andy Williamson, World e-Parliament Report 2018 (IPU, 2018), 44, E Publication.
e-Parliament = e-Government di Parlemen
Untuk pemahaman lebih mendalam konsep e-Parliament, perlu memperbandingkannya dengan konsep e-Government. Secara umum, e-Government didefinisikan sebagai penggunaan internet dan waring wera wanua (world wide web/www) untuk penyediaan informasi pemerintah dan layanan ke publik.[1] Dalam skema nasional, e-Government dikenal sebagai Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yakni penyelenggaraan pemerintahan yang memanfaatkan TIK untuk memberikan layanan kepada pengguna SPBE.[2]
Dengan memperhatikan fungsi dan peran parlemen yang berbeda dengan pemerintah, maka konsep e-Parliament dapat diperdalam pada konteks penggunaan TIK untuk mendukung fungsi parlemen dan dalam penyediaan layanan informasi keparlemenan yang dibutuhkan publik serta kontribusinya dalam demokrasi. TIK didesain untuk menciptakan interaksi antara parlemen dan publik secara rutin dan efisien, baik terkait keluhan, aspirasi, partisipasi pada proses legislasi, penganggaran, maupun pengawasan.
UNDP menekankan tujuan penggunaan TIK di lembaga legislatif sebagai upaya meningkatkan dan memperkuat fungsi dan pekerjaan utama parlemen yang pada akhirnya mengarah kepada keterlibatan parlemen dalam mendorong tata kelola parlemen yang lebih demokratis, untuk berjejaring dengan konstituen dan meningkatkan akses ke jejaring pengetahuan antaranggota parlemen lokal, regional, dan global.[3]
Banyak agenda perubahan di parlemen didorong oleh perubahan sosial yang lebih luas, khususnya tuntutan terhadap keterbukaan, transparansi dan akuntabilitas. Dampak dari tuntutan sipil, dalam berbagai hal, selalu lebih besar daripada teknologi. Karena itu, e-Parliament perlu mempertimbangkan keberadaan pemangku kepentingan eksternal sebagai upaya menyesuaikan platform teknologi yang diambil agar sejalan dengan ekspektasi publik dan kebutuhan kerja parlemen. Parlemen didorong untuk menghasilkan data yang terbuka tetapi juga harus menjangkau lebih jauh dan mempertimbangkan bagaimana data tersebut disajikan, digunakan, dan dapat diolah kembali oleh publik.[4]
Konsep lebih detail mengenai e-Parliament, diurai melalui World e-Parliament 2008, sebuah publikasi pertama dari rangkaian seri laporan terkait penggunaan TIK di parlemen yang disiapkan oleh IPU dan PBB. Dalam laporan tersebut, e-Parliament dimaknai sebagai penggunaan sarana TIK yang membantu parlemen agar lebih terkoneksi dengan masyarakat.
“A legislature that is empowered to be more transparent, accessible and accountable through ICT. It empowers people, in all their diversity, to be more engaged in public life by providing higher quality information and greater access to its parliamentary documents and activities. It is an organization where connected stakeholders use information and communication technologies to support its primary functions of representation, law-making and oversight more effectively. Through the application of modern technology and standards and the adoption of supportive policies, it fosters the development of an equitable and inclusive information society.” .[5]
____________________________
[1] Stephen A Ronagan, “Benchmarking E-Government: A Global Perspective, Assessing the Progress of the UN Member States.” (New York: UN DESA and American Society for Public Administration, 2002), diakses pada 26 Agustus 2020. https://publicadministration.un.org/egovkb/Portals/egovkb/Documents/un/English.pdf.
[2] Lihat Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik
[3] Henrik Olesen, Raul Zambrano, dan Valentina Azzarelly, Empowering Parliaments through the Use of ICT (UNDP, 2006), 6, PDF E Publication.
[4] Andy Williamson, op. cit., 44
[5] Jefrrey Griffith, Jane Bortnick Griffith and Gherardo Cassini, World e-Parliament Report 2008 (UN, IPU, Global Centre for ICT in Parliament, 2008), 12, PDF E Publication.
Salah Kaprah e-Parliament
Konsep e-Parliament di atas, menempatkan TIK sebagai medium utama proses transformasi di parlemen dan digitalisasi, baik dalam informasi maupun interaksi antara publik dengan parlemen. Parlemen kerap kali dianggap mulai dan telah menerapkan e-Parliament ketika telah terjadi digitalisasi di lembaga legislatif, meskipun dampak dari berbagai inovasi teknologi atau digitalisasi yang dilakukan terhadap parlemen dan publik, belum diketahui pasti. Apakah benar publik menjadi lebih terlibat dan lebih teredukasi? Apakah kinerja parlemen lebih representatif, efektif, dan efisien? Semua ini menjadi pertanyaan yang perlu didalami untuk menjawab apakah sebuah parlemen benar-benar telah membangun e-Parliament.
Pendekatan digitalisasi tanpa skema peningkatan tata kelola yang baik (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, inklusivitas, dsb), menyebabkan parlemen bak berhadapan dengan buah simalakama. Terlebih jika digitalisasi hanya dianggap sebagai ajang untuk menunjukkan bahwa parlemen telah merambah dunia maya, bukan sebagai bagian dari proses pengambilan kebijakan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Jika harapan adanya perubahan melalui e-Parliament hanya ada masyarakat, sementara pengambil kebijakan tidak memiliki pemikiran tersebut, maka kepercayaan publik pada parlemen berpotensi merosot.[1]
Di sisi lain, sebuah penelitian menunjukkan bahwa munculnya ragam klaster prioritas dan pendapat masyarakat dalam diskusi maya juga berpotensi menyulitkan pengambil kebijakan untuk secara efektif mengintegrasikannya ke dalam proses pengambilan kebijakan.[2] Itu sebabnya komunitas parlemen dunia melalui IPU pada 2017 meninjau ulang definisi e-Parliament yang mereka rumuskan pada 2008. Ini terjadi karena memang asumsi huruf “e” dalam e-Parliament kerapkali hanya mengarah kepada transformasi elektronik (atau digitalisasi) dari proses bisnis sebelumnya. Hasilnya, penekanan akan selalu muncul dari sisi teknis dan digital dari konsep tersebut.
Idealnya konsep e-Parliament berada dalam konteks yang lebih luas dengan cakupan fungsi parlemen yakni representasi, pengawasan, dan legislasi (termasuk fungsi anggaran, penulis) berdasarkan prinsip-prinsip parlemen demokratis yakni representatif, terbuka, accessible, akuntabel, dan efektif, sesuai Panduan IPU tentang Parlemen dan Demokrasi di Abad 21.[3] Kini, IPU memaknai e-Parliament sebagai inisiatif yang menempatkan teknologi, pengetahuan, dan standar pada inti proses bisnis parlemen, meliputi nilai-nilai kolaborasi, inklusivitas, partisipasi, dan keterbukaan.[4]
____________________________
[1] Thomas A Bryer. “The Costs of Democratization: Social Media Adaptation Challenges Within Government Agencies.“ Administrative Theory & Praxis 33, no. 3 (2011): 341-61, diakses pada 28 Agustus 2020. http://www.jstor.org/stable/41427129.
[2] Christie Hurrell, “Shaping Policy Discourse in the Public Sphere: Evaluating Civil Speech in an Online Consultation.” The Electronic Journal of e-Government, Volume 3 Issue 2 (2005): 67-76. http://ejeg.com/volume3/issue2/p63.
[3] Andy Williamson, op. cit.,18-19.
[4] Ibid.
Lingkup e-Parliament
e-Parliament akan berdampak signifikan pada tiga hal utama, yang akan mengubah secara fundamental hubungan antara rakyat dengan negara, meliputi efisiensi administrasi, membaiknya akses dan penyebarluasan informasi, dan bertambahnya interaksi dengan masyarakat.[1] Ketiga hal utama tersebut dipadu dengan menguatnya hasil kerja parlemen yang berbasis pada nilai-nilai kolaborasi, inklusivitas, partisipasi, keterbukaan, teknologi, dan pengetahuan, dapat menjadi parameter keberhasilan penerapan e-Parliament.
Untuk menunjang penerapan e-Parliament, IPU mendorong pengembangan empat komponen utama, yakni: manusia (stakeholder), sebagai pengguna dan penerima manfaat e-Parliament; proses, mencakup fungsi dasar parlemen atau prinsip parlemen demokratis yang akan ditransformasikan; arsitektur, berupa infrastruktur, perangkat keras dan lunak yang dibutuhkan untuk mempercepat transformasi; dan data, berupa informasi dan dokumen yang dibuat, disimpan, dikirim, dan dibagikan.
Dari pengembangan empat komponen utama tersebut, hasil akhir dari layanan e-Parliament akan terwujud ke dalam beberapa bagian, yaitu:
- Layanan antar-parlemen (parliament to parliament services) merujuk pada penggunaan teknologi yang dapat memfasilitasi pertukaran informasi antar-parlemen;
- Layanan parlemen ke anggota parlemen (parliament to members of parliament services) merujuk pada layanan TIK yang dapat digunakan untuk memfasilitasi kerja anggota parlemen seperti akses kepada data parlemen baik di kantor maupun di luar kantor melalui seluler;
- Layanan masyarakat ke parlemen (citizen to parliament services) merujuk pada layanan (dapat dari luar parlemen) yang tersedia bagi masyarakat untuk berkomunikasi dengan wakil mereka;
- Layanan parlemen ke masyarakat (parliament to citizen services) merujuk pada layanan yang disiapkan parlemen untuk menarik minat dan partisipasi masyarakat dalam proses parlemen; dan
- Layanan parlemen ke media (parliament to media services) merujuk pada layanan yang disiapkan untuk memudahkan jurnalis mengakses informasi dari parlemen seperti program, kegiatan, hingga uraian-uraian tertentu.[2]
____________________________
[1] Roumeen Islam, e-Parliaments The use of Information and Communication Technology to Improve Parliamentary Process, World Bank Institute Working Papers (Washington: World Bank, 2003), 1, PDF E Publication.
[2] Aspasia Papaloi dan Dimitri Gouscos. “E-Parliament and Novel Parliament-to-Citizen Services,” eJournal of e Democracy and Open Government, Volume 3 no 1 (2011): 80-98, diakses pada 28 Agustus 2020, https://doi.org/10.29379/jedem.v3i1.53.
Perkembangan Penggunaan IT di Parlemen Dunia
Di tengah praktik baik di atas, secara umum perkembangan pemanfaatan IT oleh parlemen-parlemen di dunia dapat dilihat dari Survei IPU (2020). IPU menemukan bahwa tren pemanfaatan IT di parlemen memang terus berlanjut, namun perkembangan sebagian komponen berjalan lamban, stagnan, bahkan menurun. Salah satu peningkatan penting yang dilaporkan adalah digitalisasi arsip parlemen (79 % parlemen melakukannya). Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya (2018 sebanyak 71 % dan tahun 2016 sebanyak 68 %). Peningkatan pemanfaatan IT lainnya juga dilakukan pada aspek database undang-undang yang telah dibuat oleh parlemen.
Tabel 1: Hasil Survei IPU Tahun 2020 mengenai
Pemanfaatan sistem IT di Parlemen (n=112)[1]
Plenary functions | 2020 | 2018 | 2016 | 2008 |
Amendment drafting | 46 % | 46 % | 45 % | – |
Amendment status/tracking | 55 % | 55 % | 55 % | 64 % |
Analysis of budget proposed by the government | 29 % | 32 % | 22 % | – |
Bill drafting | 50 % | 44 % | 42 % | – |
Bill status/tracking | 63 % | 65 % | 64 % | – |
Database of laws passed by parliament | 75 % | 69 % | 74 % | – |
Minutes of plenary sessions | 69 % | 84 % | 79 % | 70 % |
Other scrutiny document | 26 % | 34 % | 31 % | 11 % |
Plenary calendars and schedules | 73 % | 75 % | 78 % | 59 % |
Plenary speeches and debates | 73 % | 75 % | 78 % | 70 % |
Plenary voting | 66 % | 69 % | 67 % | 65 % |
Questions to the government | 46 % | 58 % | 50 % | 52 % |
Committee functions | 2020 | 2018 | 2016 | 2008 |
Committee calendars and schedules | 68 % | 70 % | 70 % | – |
Committee reports | 68 % | 71 % | 72 % | 64 % |
Committee voting | 21 % | 30 % | – | – |
Committee websites | 54 % | 55 % | 52 % | – |
Minutes of committee meetings | 60 % | 67 % | 68 % | 63 % |
Administration and support functions | 2020 | 2018 | 2016 | 2008 |
Digital archive of parliamentary document | 79 % | 71 % | 68 % | |
Finance disclosure | 36 % | 36 % | 38 % | – |
Finance management system | 81 % | 78 % | 76 % | – |
HR system | 80 % | 78 % | 77 % | 70 % |
Management and support of member websites | 24 % | 19 % | 21 % | 34 % |
Management and support of website for parliament | 90 % | 90 % | 91 % | 84 % |
Management of library resources | 65 % | 71 % | 59 % | – |
Online library catalogue | 65 % | 65 % | 57 % | – |
System of communicating with constituents | 63 % | 63 % | 56 % | 36 % |
Bagi DPR (tahun 2020 lalu, tidak berpartisipasi dalam survei IPU), komponen survei di atas dapat dijadikan materi self assessment sehingga terpetakan kondisi dan posisi DPR dalam standar parlemen global (IPU). Komponen di atas dapat diadopsi secara internal oleh DPR untuk memperdalam domain, aspek, dan indikator evaluasi SPBE di lembaga pemerintah yang dibuat oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.[2] DPR memiliki kekhasan tersendiri di antaranya tuntutan untuk membangun interaksi yang lebih mendalam di seluruh bidang dikaitkan dengan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran, dengan seluruh masyarakat sebagai konstituennya.
____________________________
[1] Inter-Parliamentary Union, “Word e-Parliamentary Report 2020,” IPU, 2021, 49.
[2] Lihat Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pedoman Evaluasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.
e-Parliament di Berbagai Negara
Sejumlah praktik cerdas berikut ini menggambarkan bagaimana penerapan teknologi mendukung tercapainya tata kelola dan tugas parlemen. Pilihan ini, tidak selalu terkait dengan penggunaan high tech dalam e-Parliament.
UK Parliament Evidence Checks
Komite Khusus Parlemen UK (House of Commons/DPR) memiliki sebuah forum diskusi web yang berguna sebagai platform memeriksa bukti (evidence checks).[1] Caranya dengan mengundang masyarakat menyampaikan bukti sebagai dasar untuk meneliti kebijakan pemerintah dalam lingkup spesifik. Sejumlah komite khusus di DPR Inggris seperti Komite Khusus Pendidikan, Kesehatan, hingga Perempuan dan Kesetaraan memiliki platform serupa (yang disebut dengan Cek Fakta).
Tantangannya adalah tingkat keterlibatan yang kadang minim atau bila diumumkan terlalu masif, justru berdampak pada derasnya masukan tanpa kualitas memadai. Kendati demikian, platform ini dapat bekerja maksimal untuk isu kebijakan penting, bila komite memberi pengaturan yang jelas mengenai ketentuan debat, ketentuan khusus, definisi, hingga statistik tertentu ketika mengumumkan keperluan platform tersebut via media sosial[2] (sehingga partisipasi publik lebih tertata dan substantif).
e-Democracia dan LabHacker, Parlemen Brazil
Portal e-Democracia adalah portal crowdsourcing untuk legislasi yang disiapkan parlemen Brazil sejak 2009.[3] Portal ini bertujuan mendorong proses legislasi lebih transparan, meningkatkan pemahaman publik terhadap proses legislasi, serta meningkatkan aksesibilitas dan interaksi di parlemen. Portal tersebut meliputi komunitas virtual, diskusi web, dan juga Wikilegis. Wikilegis merupakan sebuah platform yang memungkinkan publik berkomentar atau memberi masukan langsung terhadap RUU. Dengan platform tersebut, 30% bagian dari UU Pemuda merupakan masukan publik. Contoh lain, UU yang banyak mendapatkan partisipasi melalui wikilegis adalah UU Kebebasan, Tanggung Jawab, dan Transparansi di Internet (UU 2927/2020). UU ini dibentuk sebagai tindak lanjut atas keprihatinan maraknya kesimpangsiuran informasi di masa pandemi Covid-19 di Brazil.[4] Segala eksperimen di portal tersebut, dilakukan oleh laboratorium inovasi yang diberi nama LabHacker yang berisi staf dan kalangan masyarakat sipil di bidang teknologi informasi.[5]
Paperless Estonia Parliament
Estonia merupakan salah satu negara yang paling unggul dalam penerapan teknologi. Pada tahun 2000, Estonia memutuskan untuk tidak lagi menggunakan sistem dokumen berbasis kertas (paperless) melalui program yang disebut e-cabinet. Para anggota parlemen dapat masuk ke platform melalui e-ID di laptop dan seluler mereka. Dari aplikasi tersebut, mereka dapat melihat agenda persidangan dan memutuskan topik pendahuluan sebelum pertemuan fisik. Berkurangnya kertas, tidak hanya berpengaruh pada turunnya konsumsi kertas, tetapi juga pada berkurangnya waktu persidangan parlemen. Persidangan parlemen yang biasanya berlangsung selama 4 jam, dapat selesai dalam rata-rata 30 menit.[7]
Praktik-praktik baik di atas, perlu jadi pembelajaran bagi DPR bersama pemerintah, sebab pengembangan e-Parliament tidak dapat berjalan maksimal jika tidak dibarengi perkembangan yang sama di pemerintah.
____________________________
[1] “Evidence Checks UK,” diakses pada 28 Agustus 2020, https://congress.crowd.law/case-evidence-checks-uk.html.
[2] Tom Shane, UK Parliament, “UK Parliament Evidence Checks,” diakses pada 29 Agustus 2020, https://www.nesta.org.uk/feature/six-pioneers-digital-democracy/uk-parliament-evidence-checks/
[3] “Uma plataforma inovadora de transparência e participação popular,” e-democracia, diakses pada 29 Agustus 2020, www.edemocracia.leg.br.
[4] “Lei Brasileira de Liberdade, Responsabilidade e Transparência na Internet”, wikilegis, diakses pada 23 Juli 2021, ttps://edemocracia.camara.leg.br/wikilegis/
[5] “The Brazilian Chamber of Deputies’ LabHacker and eDemocracia,” diakses pada 29 Agustus 2020, https://www.nesta.org.uk/feature/six-pioneers-digital-democracy/the-brazilian-chamber-of-deputies-labhacker-and-edemocracia/.
[6] Lei Brasileira de Liberdade, loc. cit.
[7] “Enter e-Estonia: e-governance,” diakses pada 29 Agustus 2020, https://e-estonia.com/enter-e-governance/.
[8] “e-Cabinet of Estonia,” ValitsuseUudised, diakses pada 29 Agustus 2020, https://www.youtube.com/watch?v=Y6Mp_Vsh1f4.
KERANGKA IMPLEMENTASI E-PARLIAMENT
Pengantar
Sebagai sebuah kebijakan, maka kerangka input, output, dan dampak dari kebijakan itu sendiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan satu sama lain. Artinya, kerangka e-Parliament mengarah pada cita-cita besar untuk mendukung berkembangnya demokrasi digital di Indonesia. Dalam kerangka di bawah ini, terlihat bahwa e-Parliament berorientasi pada output pelayanan, baik internal maupun eksternal. Berbagai kebijakan dan komponen didesain agar pengembangan e-Parliament tidak terjebak pada digitalisasi semata, tetapi juga memperhatikan proses dan manusia (stakeholder) yang berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan berdemokrasi.
Empat komponen dalam e-Parliament yaitu manusia (stakeholder), proses, infrastruktur, dan data merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dari keempat aspek tersebut, infrastruktur menjadi sorotan tersendiri dalam tulisan ini mengingat DPR sedang gencar mengembangkan TIK.
Dalam melihat implementasi e-Parliament, beberapa kriteria dan indikator dalam penerapannya patut menjadi perhatian untuk pendalaman. Di bawah ini adalah kriteria dan indikator yang dapat diukur untuk menentukan apakah layanan digital parlemen semakin menuju ke arah e-Parliament. Dua poin paling awal merupakan pembedahan dari manajemen pembentukan e-Parliament.
Kebijakan dan Komitmen e-Parliament
Untuk memastikan keberlangsungan agenda e-Parliament, parlemen perlu memiliki basis dokumen dasar mengenai visi dan rencana strategis untuk penerapan e-Parliament. Dokumen dasar merupakan bagian dari elemen dan karakter e-Parliament untuk membangun komitmen kelembagaan. IPU mencatat, dari 108 parlemen (yang menjadi responden), sedikitnya 63% memiliki pernyataan visi untuk mengembangkan TIK dan e-Parliament, 52% Parlemen memiliki visi dan rencana strategis, dan sekitar 44% memiliki visi, rencana strategis, dan proses untuk melakukan pembaharuan.[1]
Bagi DPR, dokumen dasar mengenai visi dan rencana strategis untuk penerapan e-Parliament tersebut, yaitu:
- Rencana Strategis (Renstra) DPR 2015-2019, yang menjadi landasan awal upaya pengembangan e-Parliament. Namun, Renstra tersebut bersifat jangka menengah (lima tahunan) sehingga diperlukan komitmen untuk melanjutkannya melalui Renstra 2019-2024.
- Pedoman Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi DPR yang ditetapkan melalui Keputusan Badan Urusan Rumah Tangga DPR RI Nomor 15/BURT/DPR RI/11/2011-2012.[2] Namun, keputusan BURT tersebut merupakan keputusan dalam lingkup AKD. Karena itu, perlu penguatan dokumen pada tingkat kelembagaan DPR yang memuat visi, sasaran, serta rencana strategis e-Parliament.
- Rencana Induk Teknologi Informasi dan Komunikasi (RITIK) Setjen DPR, terdiri dari lima buku yang diluncurkan pada 5 Juli 2021[3]. Dokumen ini penting bagi sistem pendukung DPR untuk menerjemahkan teknis pelaksanaan e-Parliament.
Dokumen-dokumen lain yang mendukung proses pengorganisasian dan tata kerja DPR (dalam hubungannya dengan inti proses bisnis parlemen yang dapat mendorong terwujudnya nilai-nilai kolaborasi, inklusivitas, partisipasi, dan keterbukaan publik termasuk dalam hal ini Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia), perlu menjadi bagian dari komitmen dasar proses bisnis e-Parliament.
[1] Andy Williamson, op. cit., 21.
[2] Indra Iskandar, Pengawal Parlemen Modern, Wajah Setjen DPR RI Masa Depan (Depok: WPL, 2020), 76.
[3] “Setjen DPR luncurkan lima buku RITIK sebagai dukungan terhadap Dewan,” diakses pada 3 September 2020, http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/29442/t/Setjen+DPR+Luncurkan+Lima+Buku+RITIK+Sebagai+Dukungan+Terhadap+Dewan.
Pemangku Kepentingan
Penerapan e-Parliament bukan sekadar pendigitalisasian segala proses di parlemen. Pola pikir tersebut justru mengabaikan komponen manusia (stakeholder) dan proses dalam pengembangan e-Parliament. Manusia, proses, infrastruktur, dan data adalah kesatuan pengembangan untuk menunjang keberhasilan penerapan “e” dalam e-Parliament.
Pemangku kepentingan di bawah ini berperan secara signifikan untuk mendorong penerapan e-Parliament di DPR.
Alat Kelengkapan Dewan (AKD).
Dalam hal ini, DPR menjadi bagian paling instrumental untuk menciptakan dan menegaskan komitmen politik ke arah parlemen yang digital oriented dan demokratis. Secara kelembagaan, DPR melalui paripurna menghasilkan ragam dasar hukum yang menjadi kerangka kebijakan penerapan e-Parliament. Secara teknis kebijakan, beberapa AKD berperan dalam lapis pertama dan strategis dalam menunjang kelancaran proses bisnis mengisi kebutuhan kebijakan eksekusi lapangan e-Parliament.
Pimpinan DPR bersama Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) menjadi pemandu rencana kerja dan anggaran DPR yang kemudian dapat menjadi landasan kerja e-Parliament. Dalam pelaksanaan tugasnya, pimpinan DPR dapat membentuk tim yang relevan untuk implementasi lebih lanjut visi e-Parliament.
BURT dengan segala kewenangannya menjadi dapur dari penyusunan rencana strategis lembaga yang menjadi dasar lebih lanjut dari arah, kebijakan umum, strategi hingga rencana kerja dan anggaran DPR untuk mendukung e-Parliament.
Badan Legislasi (Baleg), menjadi gerbang dari kerangka regulasi yang mendukung penerapan e-Parliament secara luas, khususnya dalam hal penyiapan, penyusunan, pembahasan, evaluasi, dan penyempurnaan Peraturan DPR. Terkadang, regulasi yang diperlukan pun merupakan kebutuhan yang khas untuk DPR sehingga sistem pendukung perlu memiliki payung jelas dalam aktivitasnya. Ini diperlukan mengingat kendala utama Setjen DPR untuk peningkatan kapabilitas organisasi, sumber daya manusia, dan teknologi adalah karena posisi Setjend DPR yang merupakan bagian dari lembaga pemerintah yang bekerja untuk lembaga politik.[1]
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) menjadi pintu gerbang peningkatan kerja sama dengan komunitas internasional sehingga memungkinkan terjadi ruang berbagi pengalaman hingga praktik cerdas tentang penerapan e-Parliament. BKSAP juga dapat memfasilitasi terjadinya transfer pengetahuan dan teknologi dari dunia internasional ke DPR agar praktik e-Parliament dapat berjalan secara sempurna.
Sementara komisi-komisi menjadi backbone dari implementasi e-Parliament dengan menyediakan data yang terbuka, dapat digunakan, dan diolah kembali oleh publik. Komisi menjadi bagian dari tombak penyedia layanan informasi terkait kerja-kerja parlemen.
Sistem Pendukung DPR
Dalam konteks penerapan e-Parliament, segala aspek teknis berada di domain Setjen DPR. Secara spesifik, ada beberapa unit kerja di dalam Setjen DPR yang terkait erat dengan penerapan e-Parliament.
Deputi Bidang Persidangan dan Kerjasama Antar Parlemen serta Deputi Administrasi memegang faktor kunci dalam kesuksesan e-Parliament. Dalam koordinasi dua kedeputian inilah, SDM yang mendukung implementasi teknis e-Parliament, mulai dari penyiapan regulasi teknis, inklusivitas layanan parlemen ke masyarakat, kesiapan penyusunan, penyampaian dan publikasi data persidangan, serta komunikasi lembaga (digital dan non digital), hingga fasilitasi kerjasama teknis antar parlemen, berperan untuk memastikan ketersediaan akses dan penyediaan informasi yang berkaitan dengan tugas utama DPR.
Unit teknis lainnya juga berperan tak kalah penting. Bahkan dalam konteks penerapan inovasi teknologi, yang menjadi kunci adalah Pusat Data dan Informasi (Pusdatin). Pusdatin menjadi keniscayaan dalam pengembangan e-Parliament mengingat Pusdatin adalah master dari TIK. Hal ihwal seputar arsitektur TIK, penyediaan inovasi, big data, serta layanan data dan informasi, berada dalam cakupan Pusdatin.
Sistem pendukung DPR lainnya yang tak kalah penting dalam mendorong peningkatan akses informasi DPR adalah tenaga ahli (baik di anggota, fraksi, maupun AKD) dan staf administrasi. Tenaga ahli berperan kunci dalam mendorong aspek transparansi, keterbukaan, dan akuntabilitas kinerja anggota DPR, fraksi, maupun AKD. Tenaga ahli juga berperan sebagai jembatan inklusivitas antara konstituen/publik dengan fraksi/AKD. Mereka juga perlu didorong agar berperan sebagai manajer data yang memastikan penyediaan informasi dari fraksi/AKD sekaligus analis aspirasi konstituen/publik.
Saat ini, e-Parliament dan penggunaan TIK di DPR masih sebatas interaction antara pemerintah dan parlemen dengan masyarakat melalui beberapa aplikasi. Ke depan, diperlukan transformasi berupa aplikasi baru, struktur data baru, standar baru, dan interface baru, sehingga dapat mencapai level kompleksitas tertinggi yakni demokrasi digital. Ciri ini ditandai dengan penyediaan layanan berbasis teknologi untuk meningkatkan partisipasi dalam demokrasi.[2]
Parliamentary Monitoring Organizations (PMO)
PMO memegang peranan penting dalam meningkatkan dinamika publik akan isu-isu di parlemen sekaligus memantau kinerja parlemen. Pada taraf tertentu, PMO membantu menerjemahkan komunikasi yang sulit dilakukan parlemen ke publik dengan mengolah dan menyajikan data terkait parlemen dengan lebih baik. World e-Parliament 2016, mencatat peran PMO yang semakin meningkat, khususnya dalam konteks pengawasan kerja parlemen, menginformasikan kerja-kerja parlemen, hingga menghubungkan parlemen dengan publik/kelompok tertentu.[3] Di Indonesia, inisiatif untuk menghubungkan publik dan parlemen, antara lain dilakukan Indonesian Parliamentary Center (IPC) melalui web openparliament.id, yang menghimpun kontak anggota DPR, telepon ruangan kerja, media sosial, telepon sekretariat komisi, dll untuk disajikan ke publik.
[1] Indra Iskandar, Pengawal Parlemen Modern, Wajah Setjen DPR RI Masa Depan (Depok: WPL, 2020), 119.
[2] Ibid., 46.
[3] Andy Williamson, op.cit., 72.
Ketersediaan Infrastruktur TIK
Tren di seluruh dunia menunjukkan urgensi komunikasi eksternal. Parlemen dituntut semakin fokus menyiapkan informasi yang tidak hanya untuk kepentingan internal tetapi juga agar dapat terbuka untuk umum dan digunakan masyarakat luas.
Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar mengurai kebutuhan perkembangan teknologi yang dapat diadopsi oleh DPR, yaitu: pengembangan aplikasi berbasis seluler, sebab terjadinya pergeseran akses internet dari komputer personal ke perangkat seluler; interoperabilitas data dengan kementerian/lembaga pemerintah lain dan parlemen negara lain; pengembangan big data dan open data legislation sebagai basis penyimpanan dengan ruang tak terbatas serta memiliki kemampuan untuk mengakomodasi dan memproses berbagai jenis data dengan cepat; dan pengembangan cloud environment dengan konsep service on demand pada infrastruktur terpusat sebagai upaya memenuhi kebutuhan integrasi dan interoperabilitas yang lebih tinggi untuk menjembatani berbagai platform aplikasi yang berbeda.[1]
Selain empat hal di atas, DPR juga perlu memperhatikan kebutuhan lain terkait komunikasi eksternal, yaitu: open publishing and communication yang mulai diperkenalkan DPR melalui berbagai layanan publikasi streaming berbasis web dan penggunaan media sosial; penerapan voting elektronik; dan pengembangan perangkat teknologi untuk penyiapan risalah rapat. Sebagai informasi, penggunaan teknologi risalah rapat voice to text, mengalami peningkatan di seluruh dunia dari 8% pada 2010 menjadi 14% pada 2018.[2]
[1] Indra Iskandar, op. cit., 79-80.
[2] Andy Williamson, op. cit., 22.
Output Pelayanan
Berbagai kriteria di atas, diharapkan akan berujung pada terwujudnya pelayanan berbasis TIK, baik untuk internal maupun eksternal DPR. Pelayanan yang baik, tentu yang memudahkan, tepat sasaran, dan tepat waktu. Sebagaimana dijelaskan pada jenis pelayanan e-Parliament sebelumnya, berikut ini praktik pelayanan di parlemen lain yang dapat dijadikan acuan oleh DPR.
Tabel 2: Jenis Pelayanan, Indikator, dan Perbandingan e-Parliament
Indikator Pelayanan |
Perbandingan |
Parliament to parliament services – informasi praktik baik di parlemen (dalam bahasa nasional dan internasional) |
hansard UK Parliament |
Parliament to members of parliament services – berbasis internet dan open source – memudahkan akses jadwal dan kegiatan internal – distribusi dokumen rapat ke seluruh anggota DPR dan mitra kerja – distribusi dokumen lain terkait pelaksanaan tugas DPR – dapat diakses menggunakan multi device |
e-cabinet Estonia, library congress USA |
Citizen to parliament services (invented participation) – berbasis internet dan open source – berbasis pelayanan konstituen dalam konteks fungsi DPR – menyediakan informasi mekanisme kerja parlemen dan cara partisipasi – mengkanalisasi informasi berbasis pelaksanaan fungsi parlemen |
e-democracia, wikilegis Brazil |
Parliament to citizen services (invited participation) – berbasis internet dan open source – menyediakan kanal diskusi dan opini terkait isu kebijakan – mengklasifikasi informasi berbasis isu prioritas yang membutuhkan konsultasi di parlemen – berbasis pelayanan ke konstituen seperti reses dan RDPU |
Evidence check UK, member of parliament web UK, USA, dll. |
Parliament to media services – berbasis pada dokumen – berbasis internet dan open source – berbasis isu dan pelaksanaan fungsi |
|
Rekomendasi I: Kerangka Kebijakan e-Parliament
Implementasi e-Parliament membutuhkan penerjemahan sesuai konteks DPR yang mampu menjawab kebutuhan publik dan selaras dengan nilai-nilai demokrasi. Karena itu, e-Parliament membutuhkan sebuah persiapan yang sistematis. Untuk itu, kami memberikan sejumlah rekomendasi.
1. Adopsi Prinsip-Prinsip Parlemen Demokratis
Prinsip-prinsip parlemen demokratis tersebut meliputi:
- transparansi, partisipasi, responsivitas, akuntabilitas, dan profesionalisme dalam kebijakan, dengan memperkuat proactive disclosure[1] secara penuh;
- partisipasi dengan menyediakan kanal dalam berbagai level partisipasi (mengetahui, memantau, memberi masukan, ikut terlibat, hingga ikut berkontribusi dalam pengambilan keputusan);
- responsivitas dengan menyediakan participation/complaint handling mechanism yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan, juga kecepatan dalam pelayanan;
- akuntabilitas dengan membangun mekanisme pertanggungjawaban dialogis antara penerima mandat (DPR dan anggota DPR) dengan pemberi mandat (publik dan konstituen). Akuntabilitas juga dapat diterapkan dalam pengelolaan data dan informasi, yaitu penyajian data yang valid dan profesional dengan menciptakan standar kerja tertentu yang menjamin terpenuhinya pelayanan publik.
- Identifikasi Kebutuhan Sesuai Kerangka Kerja e-Parliament
Berdasarkan cakupan dan fokus areanya, setidaknya identifikasi awal ranah kerja e-Parliament dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel: Identifikasi Area Implementasi e-Parliament di DPR RI
- Parliament to parliament services
Stakeholder |
Proses |
Arsitektur |
Data |
– Pimpinan DPR – BKSAP |
Diplomasi |
– dokumentasi dan pembelajaran keberhasilan DPR sesuai tema diplomasi – transparansi mengenai program diplomasi parlemen dalam inisiatif global |
– kebijakan terkait diplomasi – program dan kegiatan diplomasi parlemen (SDGs, IPU, dll) |
- Parliament to members of parliament services
Stakeholder |
Proses |
Arsitektur |
Data |
– Komisi – Baleg – Banggar – BURT – BAKN – MKD – mitra kerja AKD – Setjen |
Persidangan – legislasi – pengawasan (termasuk fit and proper test calon pejabat publik) – penganggaran
|
– paperless process – supply dan sirkulasi informasi internal sesuai AKD: ketepatan, kecepatan, dan kebaruan. – manajemen SDM pendukung – manajemen data dan informasi – hardware dan software pendukung – program dan aplikasi – sistem risalah dan produksi dokumen – perpustakaan – tenaga keahlian |
– jadwal persidangan – tim pelaksana – bahan/materi rapat – informasi mengenai sekretariat – kehadiran – voting – informasi lain yang relevan |
- Citizen to parliament services (invented participation)
Stakeholder |
Proses |
Arsitektur |
Data |
– konstituen – masyarakat sipil – publik secara umum – anggota DPR – AKD – Setjen DPR |
– RDPU – reses – kundapil – hearing – audiensi – kunjungan ke DPR – undangan – pengaduan – aspirasi |
– platform komunikasi, interaksi, pengusulan, dan pengajuan diri untuk berpartisipasi – platform pendidikan politik dan demokrasi – participation/ complaint handling mechanism – pelayanan informasi dan partisipasi oleh fraksi dan anggota DPR – stakeholder mapping – standar pelayanan |
– profil – kontak – panduan partisipasi – jadwal – penanganan partisipasi |
- Parliament to citizen services (invited participation)
Stakeholder |
Proses |
Arsitektur |
Data |
– Komisi – Baleg – Banggar – BURT – BAKN – MKD – Mitra Kerja AKD – masyarakat |
Rapat: – legislasi – pengawasan – penganggaran dalam bentuk – RDPU – RDP – kunker – kunspek – kunjungan LN – reses |
– Publikasi informasi secara tematik berbasis fungsi – partisipasi tematik digital – akses kegiatan secara digital – platform laporan kinerja dan pertanggungjawaban DPR dan anggota DPR – sistem risalah dan produksi dokumen – pelayanan informasi fraksi |
– jadwal persidangan – tim pelaksana – bahan/materi rapat – pandangan fraksi – hasil voting – suara anggota DPR – dokumen lain yang relevan |
- Parliament to media services
Stakeholder |
Proses |
Arsitektur |
Data |
Pimpinan DPR Pimpinan AKD |
Rapat: – legislasi – pengawasan – penganggaran |
– akses terhadap kegiatan – penyampaian informasi mengenai keputusan DPR, AKD dan fraksi-fraksi |
– jadwal persidangan – tim pelaksana – bahan/materi rapat |
Identifikasi Capaian Menuju e-Parliament
Sejauh ini DPR telah menghasilkan beberapa capaian kunci menuju e-Parliament, antara lain:
- Sistem Informasi Legislasi
Melalui Sistem Informasi Legislasi (SILEG), DPR telah mempublikasikan sejumlah informasi legislasi, meskipun masih memiliki tantangan dalam hal penyediaan dokumen hingga pelacakan perubahan. Dalam hal standar dokumen untuk open publishing, DPR menggunakan portable document format (PDF). Secara global, proporsi parlemen di dunia yang menggunakan format ini mencapai 88%, spreadsheets 38%, live-data APIs berbasis XML 17%, dan 32% parlemen berencana untuk menggunakannya. Sementara itu, sebanyak 15% parlemen di dunia menggunakan JSON dengan 30% lagi berencana menggunakan platform serupa. Ini menunjukkan peningkatan dalam publikasi live machine-readable data dan pertumbuhan dalam open publishing.[2]
- Layanan Kepustakaan dan Penelitian
Layanan kepustakaan dan penelitian merupakan bagian penting dari indeks layanan digital parlemen. Tren perpustakaan digital kini harus serupa dengan bangunan dan konteks fisiknya. Pada perkembangannya, perangkat digital juga semakin menguat digunakan dalam perpustakaan untuk sejumlah layanan seperti: pencarian, data terbuka, data terhubung, layanan cloud, hingga penyimpanan digital. Dalam hal ini, layanan Perpustakaan DPR yang terintegrasi dalam perpustakaan.dpr.go.id telah menyediakan segala kebutuhan mulai dari katalog dalam jaringan, repositori, koleksi digital, layanan penelitian (terhubung ke Badan Keahlian), hingga sistem layanan data spesifik dan terklaster dengan sistem single sign on (SSO) bernama Sistem Paket Informasi Terkini.
- Parlemen Dalam Jaringan
Parlemen Dalam Jaringan berkaitan erat dengan bagaimana DPR mengelola informasi parlemen di dunia maya, seperti sejarah dan peran parlemen, anggota dan komisinya, dan bagaimana mereka bekerja, hingga jadwal kegiatan. Pada 2018, IPU melansir bahwa informasi sejarah parlemen, komposisi anggota dan bagaimana kerja komisi, mendapatkan porsi minat yang tinggi dari publik. Sebagai catatan, parlemen masih memiliki tantangan pada efisiensi dan ketepatan waktu penyediaan jadwal kerja. Hanya 45% parlemen yang menyediakan agenda pleno/komisi sepekan sebelum acara dan 15% mempublikasikannya pada saat yang sama dengan acara.[3] Dalam hal aksesibilitas dan penggunaan, beberapa parlemen mulai mengikuti Panduan IPU untuk web Parlemen.[4]
Terkait dengan penggunaan Teknologi Informasi (TI), hingga 2019 DPR telah memiliki 86 aplikasi untuk seluruh unit kerja. Sebagian aplikasi tersebut dapat diakses oleh masyarakat, antara lain rumahaspirasi.dpr.go.id, ppid.dpr.go.id, pengaduan.dpr.go.id, perpustakaan.dpr.go.id, dpr.go.id/arsip, dll.[5] DPR juga telah aktif di berbagai media sosial, namun sejauh ini masih difokuskan pada publikasi, belum sampai pada interaksi. Karena itu, diperlukan penyiapan digital media officer/public engagement officer yang memadai untuk membangun interaksi dan engagement antara DPR dengan masyarakat. IPU memotret tantangan lainnya yaitu tingkat pengetahuan publik terhadap parlemen yang masih rendah, hingga kekhawatiran anggota parlemen terhadap keamanan komunikasi digital.
- Pelayanan Informasi Publik
Sejak 2010, DPR telah berupaya meningkatkan pelayanan informasi sesuai dengan mandat UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Berdasarkan undang-undang ini, DPR membangun PPID yang cukup mapan dan bisa diandalkan, termasuk dengan membangun layanan secara online melalui ppid.dpr.go.id. Tantangannya adalah membangun sistem pengelolaan dan pelayanan, termasuk digitalisasi data, serta menumbuhkan kesadaran pada pejabat di seluruh unit kerja di DPR terhadap pemenuhan hak atas informasi publik baik melalui permintaan informasi maupun publikasi secara aktif.
Selain itu, ada sejumlah pelayanan DPR lainnya, yang tersebar di berbagai subdomain DPR. Secara sistematis, kami mengkerangkakannya pada web openparliament.id.[6]
[1] Informasi disampaikan ke publik melalui publikasi/pengumuman (tanpa melalui permintaan)
[2] Andy Williamson, op.cit, 23.
[3] Ibid., 24.
[4] Ibid.
[5] “Daftar Aplikasi/Sistem Informasi di Setjen dan BK DPR sampai Desember 2019,” Indonesian Parliamentary Center, diakses pada 30 Juli 2021, https://openparliament.id/services/.
[6] https://openparliament.id/services/
Rekomendasi II: Usulan Program Menuju e-Parliament
1. Program Penguatan Kelembagaan e-Parliament
Basis fundamental e-Parliament terletak pada aspek kelembagaan. Berbagai komitmen dituangkan dalam dokumen-dokumen kelembagaan seperti regulasi, rencana strategis, dan SOP. Berikut ini beberapa usulan terkait penguatan kelembagaan e-Parliament:
- Integrasi e-Parliament dengan Open Parliament
Ide inovasi dan teknologi yang tersemat dalam konsep e-Parliament merupakan bagian pengembangan yang harus masuk dalam konteks Open Parliament baik dalam roadmap maupun NAP. e-Parliament merupakan pengejawantahan lebih jauh dari ide besar Open Parliament. Jika e-Parliament terwujud, maka Open Parliament akan lebih mudah untuk dikembangkan.
- Peninjauan dan Pengembangan Regulasi e-Parliament
Sebagai upaya untuk mewujudkan konsep e-Parliament secara menyeluruh dengan tidak hanya penyediaan informasi semata dalam hal keterbukaan tetapi juga menempatkan konteks kolaborasi, inklusivitas, dan partisipatif dalam inti proses kerja, maka diperlukan payung hukum memadai sebagai upaya sinergi lebih lanjut. Payung hukum yang jelas juga perlu untuk mensinergikan rencana digitalisasi yang dikembangkan pemerintah melalui SPBE dengan e-Parliament. Inisiatif DPR tersebut tidak akan melindas SPBE tetapi akan saling melengkapi. Payung hukum juga sebagai dasar lebih lanjut penyiapan segala hal berkaitan dengan anggaran untuk mewujudkan e-Parliament. Payung hukum juga perlu untuk menyentuh pada revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, agar dapat mendorong peningkatan publikasi dokumen.
- Mapping kebutuhan anggota DPR terhadap TIK
Sebagai bagian membangun dan mengembangkan kebutuhan teknologi dan inovasi untuk mendukung kerja-kerja anggota dan lembaga, maka pusat data, informasi, dan pengetahuan mutlak mudah diakses. Namun, layanan teknologi/pusat data informasi yang seperti apa yang kiranya diperlukan bagi anggota dan bagaimana format/bentuk/model yang diinginkan oleh anggota DPR perlu diketahui lebih lanjut melalui pemetaan. Dengan demikian, diperoleh gambaran memadai agar transformasi e-Parliament dapat berjalan memadai, gradual, efektif, dan efisien.
- Pemetaan Kematangan Publik dalam Interaksi Digital
Hal ini penting agar parlemen dapat lebih efektif dan efisien dalam menentukan platform teknologi mana yang akan digunakan untuk meningkatkan interaksi di dunia digital. Langkah tersebut dilakukan agar DPR dan sistem pendukung dapat menyiapkan bahan yang memadai dan tepat sasaran dalam berinteraksi dengan publik dalam platform teknologi dan digital yang berbeda-beda.
- Impact Assessment
Pemetaan dampak dilakukan untuk mengetahui tahapan yang dibutuhkan DPR untuk melakukan perubahan secara bertahap menuju e-Parliament. Perubahan drastis, hingga pada platform ideal tentunya menjadi sebuah harapan, tetapi, belum tentu pula platform tersebut menjadi tempat memadai bagi publik untuk meningkatkan interaksinya dengan DPR.
- Pengembangan Mekanisme Proses Bisnis Dokumen dan Data Terbuka (Open Data)
DPR perlu mengurai proses bisnis yang memadai dalam akses, produksi, penyediaan, dan publikasi dokumen dalam bentuk data terbuka. Data terbuka adalah format data digital yang dapat diolah, digunakan, sesuai standar protokol internet. Adanya data terbuka mempermudah dalam interoperabilitas sehingga memungkinkan DPR mengembangkan berbagai aplikasi dan pelayanan online. Hal ini untuk memperjelas peran dan tanggung jawab masing-masing unit dalam sistem pendukung. Evaluasi bertahap untuk menentukan bagaimana format dan metode penyediaan dokumen dan data yang terbuka juga menjadi bagian penting dalam proses tersebut. Proses bisnis yang disiapkan meliputi peran dan tugas unit-unit terkait, format dan standar penyajian dokumen (antara lain dengan open data), ketepatan waktu, dll.
- Quick Win e-Parliament
Quick Win e-Parliament tidak bisa secara singkat mewujud tanpa kajian dan landasan memadai. Untuk itu, diperlukan political will yang lebih kuat dari pimpinan DPR.
- Participation/Complaint Handling Mechanism
Di samping mekanisme operasional berkaitan dengan data, penanganan partisipasi dalam berbagai level juga perlu diatur mekanisme kerjanya dalam rangka memberi kepastian kepada publik.
2. Program Peningkatan Kapasitas SDM Pendukung
SDM yang mumpuni diperlukan untuk mengoperasikan teknologi informasi dengan baik. Dalam e-Parliament, mulai dari proses produksi, pengolahan, otorisasi, publikasi, hingga penggunaan informasi, semuanya menggunakan TIK. Karena itu, peningkatan kapasitas secara berkala merupakan kebutuhan tersendiri. Berikut usulan program dalam rangka peningkatan kapasitas SDM.
- Peningkatan Kapasitas SDM
Peningkatan Kapasitas SDM ini meliputi jumlah, jenis, fungsi, dan pengetahuan. Untuk menyesuaikan dengan perkembangan pengelolaan e-Parliament, DPR dan sistem pendukung perlu meningkatkan jumlah pegawai yang memadai untuk unit-unit yang terkait dengan e-Parliament. Langkah ini perlu dilakukan segera sebagai upaya upgrade lembaga menuju parlemen modern yang diharapkan, baik melalui proses rekrutmen CPNS maupun melalui formasi Pegawai Pemerintah Perjanjian Kerja (PPPK). Beberapa formasi yang berkaitan dengan e-Parliament, antara lain pranata komputer, pranata humas, perisalah legislatif, dan asisten perisalah legislatif yang dapat diisi melalui PPPK sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 38 Tahun 2020 tentang Jenis Jabatan yang Dapat Diisi oleh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.
- Peningkatan Keahlian Pegawai
e-Parliament membutuhkan kemampuan pegawai di DPR untuk mengikuti perkembangan teknologi, menggunakannya, hingga beradaptasi dalam menjaring interaksi publik, demi mendukung fungsi utama DPR. Oleh karena itu, peningkatan keahlian perlu diupayakan secara reguler bagi pegawai yang berkaitan dengan e-Parliament.
- Peningkatan Keterampilan untuk Sistem Pendukung Fraksi dan Anggota
Peningkatan kapasitas pada sistem pendukung fraksi dan anggota DPR (Tenaga Ahli dan Asisten Pribadi) terhadap penggunaan TIK mulai dari produksi informasi hingga publikasi mutlak diperlukan. Sementara di tingkat fraksi, diperlukan penambahan tenaga fungsional seperti pranata komputer dan humas fraksi agar e-Parliament berjalan secara maksimal.
3. Program Peningkatan Infrastruktur e-Parliament
Infrastruktur TIK mulai dari server, jaringan internet, dan device untuk input data adalah persyaratan utama e-Parliament. Proses digitalisasi membutuhkan investasi yang tidak sedikit untuk teknologi. Berikut ini usulan kami terkait program peningkatan infrastruktur e-Parliament.
- Peningkatan Infrastruktur TIK
Peningkatan infrastruktur TIK harus mengarah kepada menguatnya dukungan layanan TIK yang aman, ramah, stabil dan memadai untuk perwujudan arah kebijakan TIK. Selain itu, infrastruktur TIK harus pula menyentuh masalah lokasi penyimpanan data yang harus dapat dikelola secara mandiri.
- Big Data Parlemen
Big data parlemen merujuk pada pengelolaan data dalam jumlah besar. Sebelum big data dikembangkan, perlu identifikasi jenis data dan informasi yang diproduksi oleh parlemen. Semuanya harus terstandar agar tidak terjadi data yang tidak bisa dibaca oleh mesin.
- Open Data Parlemen
Open data parlemen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari big data. Bedanya, big data mencakup seluruh informasi, baik yang terbuka maupun rahasia, sementara open data hanya mencakup data yang sifatnya “open by default” (data terbuka tanpa melalui prosedur permintaan). Oleh karena itu, dalam pengembangan open data, diperlukan kolaborasi antara BDTI dengan PPID agar tidak terjadi kekeliruan dalam pembukaan data.
- Protokol Data dan Security
Bagian lain dari big data adalah protokol data dan security agar semua data parlemen sesuai dengan standar bahasa pemrograman komputer dan protokol internet sehingga dapat digunakan dan diolah oleh siapapun yang hendak menggunakan data parlemen. Namun demikian, aspek security untuk menjamin keamanan dan keberlanjutan data perlu ditingkatkan agar terhindar dari penyalahgunaan.
4. Program Pengembangan Software Pelayanan
Ujung dari agenda e-Parliament adalah pelayanan untuk memperkuat demokrasi virtual. Pelayanan informasi dan partisipasi kepada konstituen dan publik adalah jantung e-Parliament. Digitalisasi yang kuat tanpa diiringi dengan penguatan pelayanan berbasis digital tidak dapat disebut sebagai e-Parliament. Oleh karena itu, dalam rangka peningkatan pelayanan, berbagai aplikasi perlu dikembangkan sebagaimana usulan berikut:
- Redesain Web DPR
Redesain web DPR merupakan inisiatif komprehensif yang secara digital dapat dipantau perkembangannya. Dengan penyediaan tampilan yang lebih memadai sesuai perkembangan zaman, hingga user interface yang lebih ramah dan secara visual menarik, publik dapat memantau kesungguhan DPR dalam bertransformasi menuju e-Parliament. Redesain web juga sekaligus sebagai upaya integrasi segala layanan digital yang disediakan oleh DPR untuk anggota, sistem pendukung, publik, dan pemangku kepentingan lainnya.
- Pengembangan Aplikasi Berbasis Fungsi
Aplikasi ini meliputi fungsi legislasi, fungsi penganggaran, dan fungsi pengawasan. Untuk fungsi pengawasan bisa dipecah lagi dalam tiga fokus: pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang (scrutiny), pengawasan pelaksanaan hak angket, interpelasi dan menyatakan pendapat (oversight) dan fit and proper test calon pejabat publik. Aplikasi berbasis fungsi ini mempermudah publik untuk mencari informasi.
- Pengembangan Aplikasi untuk Pelayanan Internal
Aplikasi untuk pelayanan internal ini terdiri dari: aplikasi sirkulasi dokumen dan informasi internal AKD, aplikasi sirkulasi dokumen dan informasi lintas AKD, aplikasi sirkulasi dokumen antara AKD dengan mitra kerja, aplikasi sirkulasi dokumen informasi dan dokumen untuk Setjen dan tenaga pendukung. Aplikasi ini bisa didesain untuk berbagai tujuan, misalnya penyebaran informasi, kontrol internal, baik fraksi maupun Setjen DPR, akses terhadap bahan rapat, penyusunan pendapat fraksi, dsb.
- Pengembangan Aplikasi Berbasis Anggota DPR
Aplikasi ini didesain untuk memperkuat hubungan antara anggota DPR dengan konstituen maupun publik secara luas sehingga membuka peluang partisipasi dan akuntabilitas kinerja. Beberapa hal yang dapat dikembangkan lebih lanjut, misalnya sistem informasi anggota, e-reses, rumah aspirasi, dsb.
- Pengembangan Aplikasi untuk Penguatan Pelayanan Partisipasi
Aplikasi ini perlu dikembangkan untuk memudahkan publik berpartisipasi secara online sesuai mekanisme yang ada, misalnya RDPU, audiensi, hearing, dan konsultasi publik. Partisipasi tersebut berbasis fungsi DPR, sebagaimana diusulkan di atas. Melalui aplikasi ini, publik seharusnya dapat mengajukan diri untuk berpartisipasi pada berbagai level disertai dengan kejelasan feedback dari DPR.
- Pengembangan Aplikasi untuk Percepatan Produksi Risalah
Risalah adalah jantung informasi DPR. Berbagai perdebatan tentang kebijakan tercatat dalam risalah. Oleh karena itu, pengembangan aplikasi yang memudahkan dalam proses produksi risalah perlu dikembangkan. Di samping risalah, berbagai produksi informasi yang dinilai penting seperti laporan singkat, catatan rapat, laporan kinerja, dan laporan audit juga perlu pengembangan aplikasi.
- Pengembangan Aplikasi untuk Monitoring Media dan Media Sosial
Untuk mengagregasi kepentingan masyarakat di ruang publik, antara lain dilakukan dengan mengembangkan aplikasi monitoring media dan media sosial. Hasil dari pemantauan ini kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk partisipasi yang lebih konkret, misalnya diundang dalam RDPU.
- Pengembangan Aplikasi Informasi Diplomasi Parlemen
Diplomasi parlemen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari diplomasi negara. Berbagai inisiatif global yang diikuti DPR perlu dikembangkan dalam sebuah aplikasi. Aplikasi tersebut setidaknya memuat informasi mengenai kiprah yang telah dilakukan oleh DPR dan pembelajaran apa yang bisa dibagikan dengan parlemen lain.
- Program Kolaborasi Publik
Kolaborasi dengan publik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari e-Parliament. Dalam rangka kolaborasi publik, DPR dapat menggunakan Open Parliament Indonesia sebagai basis untuk membangun kolaborasi dengan publik, baik dengan CSO maupun dengan media. Adapun program yang diusulkan, antara lain:
- Parliament Hackathon (Talent Scout/Concept Scout)
Selain SDM internal, keterhubungan dengan SDM eksternal untuk membangun skills kolaborasi publik berbasis TIK tidak bisa dihindarkan sebagai tuntutan demokrasi digital dan cara menarik minat publik untuk menjaring inovasi agar parlemen bekerja lebih efektif, dan efisien, sekaligus memperkuat fungsi DPR.
- External Stakeholders Mapping
DPR tentu tidak mungkin menjangkau seluruh publik sekaligus. Tapi sedikit demi sedikit disesuaikan dengan isu yang berkembang. Ini dapat dimulai dengan pemetaan eksternal pemangku kepentingan dan membuka kesempatan bagi publik untuk mendaftarkan diri sebagai pemangku kepentingan. Pada saatnya nanti, mereka dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan.
- Public Virtual Dialog secara Berkala
Bagaimanapun, feedback dari masyarakat diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan tata kelola internal. Dialog ini juga akan semakin memberikan perspektif bahwa pengembangan TIK haruslah selaras dengan agenda demokratisasi.