informasi legislasi
Akses informasi legislasi yang cepat, akurat, dan mudah akan membantu anggota DPR dan konstituen untuk meningkatkan interaksi yang lebih substansial sehingga berdampak pada meningkatnya kualitas kebijakan.
Pengantar
Akses informasi legislasi yang cepat, akurat, dan mudah akan membantu anggota DPR dan konstituen untuk meningkatkan interaksi yang lebih substansial sehingga berdampak pada meningkatnya kualitas kebijakan. Dengan mengetahui substansi sebuah RUU, konstituen dan publik secara umum, dapat memberikan masukan yang lebih tepat. Sementara para anggota DPR, memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk menjangkau alam pikiran publik terhadap RUU yang dibahas. Situasi itu akan dijembatani melalui sebuah platform yang diluncurkan DPR pada 2016 lalu. DPR menyebutnya dengan istilah Sistem Informasi Legislasi (SILEG). Mengacu pada lima jenis layanan dalam e-Parliament, SILEG masuk kategori parliament to public services
Kebutuhan Informasi Legislasi
Amandemen UUD 1945 menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan legislasi (membentuk UU). DPR yang dulu hanya diberikan kewenangan untuk memberikan persetujuan atas RUU yang diajukan Presiden, kini diberikan kekuasaan untuk membentuk UU. Salah satu konsekuensinya, DPR dituntut membangun sistem tata kelola informasi legislasi, baik untuk kepentingan arsip, basis pengambilan kebijakan, dan pemenuhan hak publik atas informasi.
Data PPID DPR menunjukkan jenis informasi legislasi yang paling banyak diminta masyarakat dari DPR adalah risalah dan Naskah Akademik (NA).
Jumlah Permintaan Informasi (Berdasarkan Jenis Informasi Tahun 2017-2020 di DPR RI)
No | Dokumen | 2017 | 2018 | 2019 | 2020 |
1 | Risalah | 1028 | 1140 | 1097 | 474 |
2 | Naskah akademik | 609 | 673 | 666 | 386 |
3 | Laporan Singkat | – | 151 | 97 | 34 |
4 | Lain-lain | 202 | 239 | 344 | 158 |
Sumber: Laporan Layanan Informasi DPR RI Tahun 2017, 2018, 2019, dan 2020 (diolah)
Banyaknya permintaan informasi legislasi dalam beberapa tahun terakhir, sejalan dengan hasil survei yang dilakukan Sekretariat OPI DPR RI pada Juli-Agustus 2020. Mayoritas responden menyatakan bahwa informasi yang paling penting untuk dibuka DPR adalah informasi terkait program legislasi (27,49%), kemudian informasi anggaran (23,95%), dan rencana kerja (18,08%). Sementara itu sebanyak 12,95% menginginkan laporan kerja berkala, 8,39% menginginkan informasi sarana dan partisipasi publik, 6,8% menginginkan informasi anggota dan 51,96% informasi mengenai fraksi.[1]
Data di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2020 terjadi penurunan permintaan informasi. Namun demikian, tidak dapat dimaknai bahwa turunnya jumlah permintaan tersebut sebagai dampak dari keterbukaan melalui web DPR, sebab informasi legislasi yang diumumkan di web DPR sepanjang tahun 2020 juga minim. Sebagai contoh, dari 13 RUU yang disahkan pada 2020, tidak satupun RUU yang disertai dengan publikasi risalah.
Minimnya permintaan informasi ke DPR, padahal di saat yang sama informasi legislasi yang dipublikasikan juga minim, bisa disebabkan oleh banyak faktor. Misalnya, publik mendapatkan informasis legislasi dari lembaga lain. Sebagai contoh, NA RUU Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) tidak tertera pada web DPR, tetapi telah dipublikasikan oleh sebuah lembaga non pemerintah.[2]
Dalam kondisi minimnya publikasi informasi legislasi, maka keberadaan PPID DPR yang melayani permintaan informasi secara cepat, sangat dibutuhkan. Apalagi terhadap permintaan informasi untuk tujuan pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Sepanjang tahun 2020 lalu, PPID DPR berupaya bekerja secara maksimal dalam melayani permintaan informasi publik, dilihat dari indikator kepuasan pelayanan dan tidak adanya sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat RI.
Ada berbagai alasan mengapa publik membutuhkan informasi legislasi Mulai dari pemenuhan rasa ingin tahu makna pasal tertentu dalam UU, penelitian, hingga memperjuangkan hak-hak konstitusional melalui pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, dokumen-dokumen legislasi tersebut, diperlukan sebagai alat bukti tertulis.
Contoh urgensi risalah, dapat dilihat dari salah satu permohonan uji formil terhadap UU Ciptaker yaitu Perkara No. 103/PUU-XVIII/2020, yang salah satu alasannya sebagai berikut:
Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 37 Bagian Kedua Bab IV Undang-Undang Cipta Kerja dan Pasal 1, Pasal 51, Pasal 53, Pasal 57, dan Pasal 89A Bagian Kelima Bab IV Undang-Undang Cipta Kerja tidak pernah ada dalam naskah RUU Cipta Lapangan Kerja ataupun RUU Cipta Kerja. Dan tidak pernah dibahas oleh tim tripartit tanggal 10 sampai 23 Juli 2020. Dan juga tidak pernah disinggung, baik oleh pemerintah maupun DPR, namun dalam Undang-Undang Cipta Kerja termuat.[3]
Untuk dapat membuktikan alasan permohonannya tersebut, pemohon perlu memiliki seluruh salinan risalah rapat pembahasan RUU Cipta Kerja. Sementara hingga UU tersebut diundangkan, DPR belum mengumumkan risalah tersebut di web DPR.
Untuk DIM, publik membutuhkannya, antara lain dalam rangka memverifikasi akuntabilitas substansi UU. Pembentuk UU kadang mengklaim terabaikannya kehendak publik yang sedemikian massif karena mengakomodasi banyak aspirasi. Pernyataan seperti ini sesungguhnya perlu dimintakan pembuktiannya. Betulkah pasal atau ayat dalam UU tersebut merupakan aspirasi publik, jalan tengah dari beragam aspirasi, atau ternyata muncul dari kepentingan oknum pembentuk UU?
Prof. Maria Farida Indrati (Hakim Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013) pada Putusan Nomor 79/PUU-XII/2014[4], menyatakan bahwa materi muatan yang tidak pernah masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebelumnya, namun tiba-tiba masuk dalam DIM perubahan, sementara tidak terdapat keperluan yang mendesak (hanya kepentingan politis), jika dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka produk hukum tersebut dibentuk tidak berdasarkan hukum dan jelas melanggar UU Nomor 12 Tahun 20011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan derivasi dari Pasal 22A UUD 1945, sehingga secara formil UU MD3 tersebut cacat hukum dalam proses pembentukannya.
Sementara NA dibutuhkan publik, antara lain untuk memastikan apakah materi muatan yang akan diatur dalam sebuah UU sudah tepat sebagai UU perubahan atau sebenarnya UU baru yang didesain seolah-olah hanya perubahan, dalam rangka kepentingan tertentu. Hakim Konstitusi, Wahiduddin Adams, dalam dissenting opinion terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:
“… Selain itu, tidak sinkronnya antara Naskah Akademik (yang cenderung berorientasi pada pembentukan “sebuah Undang-Undang perubahan KPK”) dan RUU (yang memang sejak awal ternyata telah berorientasi membentuk “sebuah Undang-Undang baru tentang KPK” juga menunjukkan bahwa dalam Undang-Undang a quo telah terjadi disorientasi arah pengaturan mengenai kelembagaan KPK serta upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Akumulasi dari berbagai kondisi tersebut di atas, menyebabkan sangat rendahnya, bahkan mengarah pada nihilnya jaminan konstitusionalitas pembentukan Undang-Undang a quo.”[5]
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa dokumen pembentukan UU sangat dibutuhkan untuk mempertahankan hak-hak konstitusional warga negara yang merasa terlanggar karena lahirnya sebuah UU. Karena itu, sudah seharusnya dokumen-dokumen tersebut diumumkan sehingga dengan mudah akses oleh masyarakat tanpa melalui permintaan informasi, agar hak untuk memperjuangkan keadilan, tidak terhambat.
________________________________
[1] Baseline Survey Peta Jalan Open Parliament Indonesia, Sekretariat OPI DPR RI, 2020.
[2] Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, diakses pada 17 Juli 2021, ttps://pushep.or.id/wp-content/uploads/2020/05/Naskah-Akademik-RUU-Perubahan-UU-No.-4-Tahun-2009-Minerba-1.pdf.
[3] Risalah Sidang Perkara Nomor 103/PUU-XVIII/2020 Perihal Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 10
[4] Dissenting opinion Prof. Maria Farida Indrati, berbunyi: “Dari fakta persidangan bahwa UU MD3 khususnya Pasal 84 tidak pernah masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebelumnya, namun tiba-tiba masuk dalam DIM perubahan pada tanggal 30 Juni 2014 setelah diketahui komposisi hasil Pemilu, dengan demikian jika dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 maka produk hukum tersebut dibentuk tidak berdasarkan hukum akan tetapi karena kepentingan politis semata. Memperhatikan bukti dan fakta persidangan bahwa tidak terdapat keperluan yang mendesak akan perlunya perubahan terhadap norma Pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan apalagi dalam DIM sebelumnya serta dalam Naskah Akademik tidak pernah ada pembahasan mengenai hal tersebut, oleh karena itu menurut saya pembentukan UU MD3 a quo, jelas melanggar UU Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan derivasi dari Pasal 22A UUD 1945. Sehingga secara formil UU MD3 tersebut cacat hukum dalam proses pembentukannya.”
[5] Ikhtisar Putusan Perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 7
Kerangka Hukum
Istilah SILEG muncul pada dokumen Blueprint Implementasi Reformasi DPR RI 2014-2019, dengan nama “Pengembangan Sistem Informasi Legislasi untuk menginformasikan pada publik proses legislasi secara lengkap dan mudah.” Pada web DPR, SILEG dalam arti khusus adalah informasi yang ada pada menu Legislasi. Pada menu ini, terdapat dua sub menu. Pertama, submenu Prolegnas Jangka Menengah (2020-2024). Kedua, submenu Prolegnas Prioritas. Namun, di luar menu itu, sebenarnya informasi mengenai legislasi tersebar di berbagai subdomain, menu, dan submenu.[1]
Pengembangan SILEG juga dalam rangka merespon munculnya pro kontra publik terkait isu legislasi kadangkala tidak dibekali dengan informasi dan pengetahuan yang cukup; terkonsolidasinya kekuatan masyarakat sipil yang sudah terdiversifikasi dalam berbagai isu-isu sektoral. Mereka membutuhkan ruang partisipasi yang lebih spesifik dan mendalam; terkonsolidasinya kelompok akademisi dalam isu-isu sektoral yang spesifik, mereka juga membutuhkan informasi yang semakin spesifik; antusiasme publik dalam menggunakan informasi digital; dan tren keterbukaan parlemen di tingkat global.
- Dasar Hukum
Melalui SILEG, DPR dapat mempublikasikan dokumen pembentukan UU dengan akses yang mudah sehingga diharapkan mendorong lahirnya partisipasi publik secara luas dan menciptakan produk UU yang akuntabel. Berikut ini sejumlah UU yang mengatur hal tersebut.
No | Dasar Hukum | Materi Pengaturan yang Relevan |
1 | UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan |
Asas Keterbukaan Pembentukan UU harus dilakukan berdasarkan asas keterbukaan dalam seluruh tahapannya sehingga seluruh masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan.[2] Partisipasi dan Kemudahan Akses Masyarakat berhak memberikan masukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Untuk memudahkan masyarakat memberi masukan, RUU harus dapat diakses dengan mudah.[3] |
2 | UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR DPD, dan DPRD |
Transparansi, Partisipasi, dan Akuntabilitas Pelaksanaan fungsi-fungsi DPR dilakukan dengan pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi pelaksanaan fungsi, dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat.[4] Kewajiban Menyebarluaskan UU Salah satu tugas DPR adalah menyusun, membahas, dan menyebarluaskan RUU.[5] Sifat Rapat DPR Semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.[6] |
3 | UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik |
Kewajiban Badan Publik terhadap Informasi Publik Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang ada di bawah kewenangannya (secara akurat, benar, dan tidak menyesatkan) kepada Pemohon Informasi Publik. Untuk itu, Badan Publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi sehingga dapat diakses dengan mudah.[7] |
Keterbukaan dokumen pembentukan UU seperti risalah, diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang menyebutkan bahwa untuk setiap rapat paripurna, rapat paripurna luar biasa, rapat panitia kerja atau tim, rapat kerja, rapat dengar pendapat, dan rapat dengar pendapat umum dibuat risalah yang ditandatangani oleh ketua rapat atau sekretaris rapat atas nama ketua rapat, sebagaimana disebutkan pada Pasal 301 ayat (1). Berikutnya, pada Pasal 302 ayat (3) dinyatakan bahwa risalah rapat yang bersifat terbuka dipublikasikan melalui media elektronik dan dapat dipublikasikan oleh masyarakat. Dengan demikian, maka SILEG memiliki dasar yang kuat secara yuridis.
- SILEG Dalam NAP OPI
Salah satu agenda NAP OPI, pada 2018-2020 dan 2020-2022 adalah merevitalisasi Sistem Informasi Legislasi (SILEG). Hal ini sejalan dengan kajian, agenda, dan rekomendasi DPR sebelumnya. Antara lain, hasil kajian Tim Peningkatan Kinerja DPR RI 2006 dan Tim Reformasi Parlemen dalam dokumen Blueprint Implementasi Reformasi DPR RI 2014-2019. Sebagai pemegang utama fungsi legislasi (bersama pemerintah), maka kehadiran SILEG sangat dibutuhkan.
NAP merupakan sebuah dokumen yang menjadi inti recana pelaksanaan praktik keterbukaan di DPR. NAP berisikan komitmen-komitmen hasil dari co-creation antara parlemen dengan masyarakat sipil dalam jangka waktu per dua tahun. Setiap komitmen berisikan indikator dan target capaian yang rinci.
Dicantumkannya penguatan SILEG dalam NAP OPI, baik di periode 2018-2020 maupun di periode 2020-2022 berdasarkan evaluasi bahwa banyak RUU yang perkembangan pembahasannya tidak diperbaharui. Ini menunjukkan bahwa tata kelola data dan SILEG saling mempengaruhi satu sama lain. Pengabaian pada sistem tata kelola data akan berdampak pada ketersediaan data SILEG. Itulah mengapa SILEG diusulkan sebagai bagian dari NAP OPI.
a. SILEG Dalam NAP OPI 2018-2020
Salah satu NAP 2018-2020 adalah Peningkatan Kualitas Tata Kelola Data dan Pelayanan Informasi Legislasi. NAP ini kemudian diperjelas dengan mengidentifikasi masalah yang akan didiskusikan, apa saja komitmennya, dan bagaimana komitmen tersebut berkontribusi untuk menyelesaikan permasalahan.
Rencana Aksi | Peningkatan Kualitas Tata Kelola Data dan Pelayanan Informasi Legislasi |
Masalah yang akan didiskusikan |
|
Komitmen |
|
Bagaimana komitmen berkontribusi untuk menyelesaikan permasalahan |
Tersedianya website dan aplikasi legislasi berbasis mobile (SILEG) dengan informasi terkini, cepat dan up-to-date yang akan memudahkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan legislasi. Milestone:
|
b. SILEG Dalam NAP OPI 2020-2022
Rencana Aksi | Uraian |
Masalah yang akan didiskusikan |
|
Komitmen | Meningkatkan kapasitas SILEG dalam penyajian informasi legislasi yang lebih lengkap dan sederhana untuk dipahami masyarakat. Peningkatan juga dilakukan dari kecepatan, keakuratan, dan keterbaruan penyajian informasi legislasi, serta meningkatkan kualitas saluran partisipasi publik yang lebih responsif pada SILEG. |
Bagaimana komitmen berkontribusi untuk menyelesaikan permasalahan |
Komitmen ini akan memberikan platform informasi legislasi kepada masyarakat yang lebih lengkap, cepat, dan akurat. Komitmen ini juga akan memperluas akses partisipasi publik dalam proses legislasi. Milestone
|
Prinsip kerja OPI memiliki kelebihan tersendiri karena menuntut adanya co-creation dan co-implementation antara DPR dan masyarakat sipil. Dalam konteks pengembangan SILEG, maka juga memerlukan co-creation dan co-implementation tersebut. Ada keterlibatan masyarakat sipil untuk memaksimalkan feedback sekaligus sebagai mitra dalam pembentukan UU.
_______________________________
[1] antara lain di http://pusatpuu.dpr.go.id/; http://dpr.go.id/arsip/legislasi; dan http://dpr.go.id/jdih/uu, dll.
[2] Lihat Pasal 5 huruf g dan Penjelasannya
[3] Lihat Pasal 96
[4] Lihat Pasal 69
[5] Lihat Pasal 72
[6] Lihat Pasal 229
[7] Lihat Pasal 7
Cakupan SILEG
Dalam Rencana Strategis Sekretariat Jenderal DPR RI 2020-2024, disebutkan bahwa salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam lima tahun ke depan adalah terwujudnya pusat data dan informasi legislasi yang lengkap. SILEG merupakan salah satu jawaban untuk mewujudkan hal tersebut. Agar SILEG memenuhi kategori lengkap sebagaimana disampaikan di atas, maka idealnya SILEG memuat seluruh informasi mengenai hasil dan proses legislasi, meliputi:
1. Informasi Prolegnas
Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis, dapat terwujud dengan baik apabila tersedia informasi yang memadai dan melibatkan partisipasi publik. Itulah mengapa SILEG perlu mencantumkan informasi Prolegnas jangka menengah dan Prolegnas prioritas, bukan hanya pada periode berjalan, tetapi juga pada periode-periode sebelumnya (saat ini, web DPR hanya menyajikan dua Prolegnas Jangka Menengah, yaitu Prolegnas 2020 – 2024 dan Prolegnas 2015-2019).
Dengan diumumkannya Prolegnas periode-periode sebelumnya, maka DPR dan Pemerintah serta mendorong peran serta publik untuk berpartisipasi dalam perbaikan manajemen legislasi melalui pengharmonisasian di tahap perencanaan. Hal ini dapat meminimalisir tumpang tindih dan hyper regulation yang dapat menimbulkan masalah pada pencapaian tujuan (doeltreffendheid), pelaksanaan (uitvoerbaarheid) dan penegakan (handhaafbaarheid) sebuah UU.
Pengharmonisasian di tahap perencanaan tersebut dimulai dengan membuat klasterisasi terhadap seluruh RUU yang diusulkan, bahkan terhadap RUU/UU lain di luar Prolegnas periode berjalan yang memiliki relevansi materi muatan. Contoh klasterisasi RUU pada periode 2020-2024.
- Sektor Kehutanan (RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; RUU tentang Sistem Perlindungan dan Pengelolaan Hutan; RUU tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan; RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; dsb).
- Sektor Pertanahan (RUU tentang Pertanahan; RUU tentang Sistem Penyelesaian Konflik Agraria; RUU tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dsb).
- Sektor Kewilayahan (RUU tentang Perubahan atas UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; RUU tentang Kawasan Terpadu Mandiri; RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; RUU tentang Daerah Kepulauan; dsb).
- Sektor Energi (RUU tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; RUU tentang Pemanfaatan Tenaga Surya; RUU tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan; RUU tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi; RUU tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, dsb).
- Kesejahteraan Sosial (RUU tentang Perlindungan dan Bantuan Sosial; RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak; RUU tentang Pemberdayaan Anak Yatim dan Anak Terlantar oleh Negara; RUU tentang Bank Makanan untuk Kesejahteraan Sosial; RUU tentang Kesejahteraan Sosial; RUU tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; RUU tentang Perubahan atas UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dsb).
Di setiap klaster tematik ini, kemudian dilakukan penstrukturan materi sehingga diketahui mana yang tepat menjadi “RUU payung”; RUU sektoral; bagian dari RUU Payung atau RUU sektoral; diatur dalam peraturan perundang-undangan selain undang-undang; dikeluarkan sebagai RUU karena materinya sudah diatur dalam RUU atau dalam UU lain; atau dikeluarkan sebagai RUU karena tidak tepat sebagai materi muatan UU. Hal seperti ini relatif mudah dilakukan termasuk oleh publik jika Prolegnas periode-periode sebelumnya juga diumumkan.
Pencantuman Prolegnas periode-periode sebelumnya juga berguna bagi pembentukan RUU tertentu yang lama berjalan, seperti RUU KUHP (sejak 1964[2]) dan RUU perubahan lainnya, sebab pembentuk UU memerlukan pemahaman terhadap original intent pada UU yang diubah tersebut. Bagi DPR, pemerintah, dan aparat penegak hukum, dengan mengetahui rekam jejak UU/RUU pada Prolegnas di masa lalu, akan memperkaya pengetahuan terkait pemikiran yang melatarbelakangi hadirnya sebuah ayat, pasal, atau UU. Harapannya, praktik penerapan UU yang menyimpang dari tujuan awal, sebagaimana terjadi pada UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dapat diminimalisir.[3]
SILEG juga perlu mencantumkan Prolegnas Perubahan agar publik dapat memahami jejak sebuah RUU secara utuh dan alasan di balik perubahan tersebut. Sebagai contoh, berdasarkan Keputusan DPR Nomor 1/DPR RI/II/2019-2020 tentang Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020, ada 50 RUU yang ditetapkan sebagai RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2020. Namun dalam Rapat Paripurna 16 Juli 2020, DPR dan Pemerintah sepakat menarik 16 RUU dari daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2020.[4] Selain 16 RUU di atas, DPR menambah sejumlah RUU untuk dimasukan ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020 sehingga jumlahnya menjadi 37 RUU.
Hal lainnya, SILEG perlu mencantumkan secara khusus RUU operan/luncuran/carry over. Dalam UU PPP disebutkan bahwa sebuah RUU yang telah memasuki pembahasan DIM, dapat dilanjutkan pembahasannya pada periode berikutnya.[5]. Dengan demikian, akan memudahkan pimpinan dan anggota DPR serta publik untuk mengawasi, apakah penetapan sebuah RUU sebagai RUU luncuran telah memenuhi syarat atau tidak. Sebagai contoh, dugaan ketidaktepatan penetapan RUU dengan status luncuran terjadi pada RUU Minerba karena pada periode sebelumnya belum pernah dilakukan pembahasan DIM.[6]
2. Profil RUU
Profil RUU tergambar pada Konsepsi RUU yang mencakup latar belakang dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, dan jangkauan dan arah pengaturan, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU PPP. Jika mengacu pada web DPR, maka profil RUU terletak pada menu “Informasi RUU”. Pada menu ini, terdapat tiga jenis kanal informasi yang disajikan oleh DPR, yaitu pengusul Prolegnas, penugasan pembahasan, dan deskripsi konsepsi. Tiga informasi di atas sebenarnya belum memadai untuk memberikan gambaran profil RUU. DPR perlu melengkapi menu ini dengan sejumlah informasi agar lebih komprehensif mengenai RUU (yang mulai masuk ke tahap pembahasan).
Berikutnya, DPR perlu mengisi menu Informasi RUU, tidak dibiarkan kosong tanpa keterangan. Dari 33 RUU yang ditampilkan pada Prolegnas Prioritas Tahun 2021, tidak ada satupun RUU yang mencantumkan deskripsi konsepsi; pencantuman pengusul Prolegnas tahunan hanya ada pada 4 RUU; dan pencantuman penugasan pembahasan hanya ada pada 19 RUU. Informasi-informasi lain yang disampaikan di atas, seperti NA, tersebar di menu Rekam Jejak RUU. Namun itu pun tidak semuanya tersedia
Ketersediaan Dokumen RUU pada Prolegnas Prioritas Tahun 2021
No | Posisi RUU | Jumlah RUU | Deskripsi Konsepsi | Naskah Akademik | Draf RUU |
1 | Terdaftar | 16 | 0 | 2 | 2 |
2 | Penyusunan | 5 | 0 | 2 | 3 |
3 | Harmonisasi | 1 | 0 | 1 | 1 |
4 | Penetapan Usulan Komisi | 8 | 0 | 8 | 8 |
5 | Pembahasan | 3 | 0 | 2 | 3 |
6 | Keputusan | 0 | 0 | 0 | 0 |
7 | Selesai | 0 | 0 | 0 | 0 |
Total | 33 RUU | 0 RUU | 15 RUU | 17 RUU |
Sumber: diolah dari web DPR
3. Rekam Jejak Pembentukan UU
Ada dua informasi yang menyatu pada istilah “Rekam Jejak Pembentukan UU”. Pertama, informasi mengenai kegiatan pembentukan UU secara lengkap dan runut. Kedua, informasi mengenai bukti yang menunjukkan adanya jejak kegiatan tersebut, secara lengkap dan valid. Jika dua hal tersebut tidak ada, maka informasi “Rekam Jejak” kehilangan tujuannya, bahkan sebaliknya, dapat menimbulkan kesalahan persepsi. Bisa jadi ada kesepakatan dalam rapat, yang tidak diumumkan, padahal sangat penting.
IPC menemukan jumlah rapat yang diumumkan dalam menu Rekam Jejak RUU dan jumlah jumlah rapat yang diumumkan di kalender kegiatan DPR (30 Juli 2021), belum sinkron (pada beberapa RUU). Contohnya terjadi pada pembentukan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Grafik 2: Perbandingan Dokumen Rapat Pembentukan UU Otsus pada Web DPR
Sumber: IPC, 30 Juli 2021 (diolah berdasarkan informasi pada web DPR)
Contoh lainnya adalah UU Cipta Kerja. Dari 63 kali rapat yang dapat kami identifikasi, ada empat rapat yang jadwalnya tidak diumumkan di SILEG. Perinciannya, ada tiga kali rapat Panitia Kerja dan satu kali rapat Tim Perumus yang semuanya dilaksanakan di hotel (25 s.d 28 September 2020). Catatan penting lainnya, tidak ada satu pun risalah rapat yang diumumkan dalam pembentukan UU Cipta Kerja ini.
Publikasi Dokumen Rapat Pembentukan UU Ciptaker pada Web DPR
Dokumen | Ada | Tidak Ada |
Lapsing | 51 | 12 |
Catatan Rapat | 9 | 54 |
Risalah | 0 | 63 |
Total | 60 | 129 |
Sumber: diolah berdasarkan informasi pada web DPR
Dokumen penting lain yang perlu mendapat perhatian adalah DIM. DPR perlu menyajikan DIM yang mudah diidentifikasi perubahannya. Cara yang paling sederhana adalah mencantumkan seluruh DIM sesuai tanggal pembahasannya. DPR seharusnya bisa lebih dari itu. Selama ini, pembaca mengalami kesulitan untuk mengetahui rekam jejak perubahan pasal-pasal dalam RUU yang ada dalam DIM karena DIM tidak selalu diumumkan, kadang diumumkan tetapi melompat-lompat dari perubahan pertama, misalnya, tiba-tiba ke perubahan keempat. Pada Prolegnas Tahun 2021, masalahnya lebih mendasar lagi. Dari sepuluh RUU yang masuk dalam tahap Pembahasan, sebagaimana disampaikan di SILEG (28 Agustus 2021),[7] hanya ada dua RUU yang disertai dengan publikasi DIM, yaitu RUU Penanggulangan Bencana[8] dan RUU tentang Badan Usaha Milik Desa.[9]
Catatan lain, terhadap berbagai dokumen di atas, DPR perlu memiliki format standar penyusunan dokumen tersebut. IPC menemukan terdapat perbedaan, mulai dari logo, judul/istilah, urutan subjek, jenis subjek, dan lain-lain, antara Baleg, komisi-komisi, dan pansus. Hal-hal standar seperti ini perlu dibenahi, apalagi DPR memiliki visi untuk membangun open data parlemen.
4. Informasi/Dokumen sebagai Syarat, Kewajiban, dan/atau Kebutuhan dalam Pembentukan UU
Informasi/Dokumen sebagai syarat, kewajiban, dan/atau kebutuhan dalam pembentukan UU berdasarkan tahapan, setidaknya mencakup informasi sebagaimana tergambar pada tabel di bawah ini. DPR perlu menentukan informasi yang wajib diumumkan, informasi yang diberikan ke masyarakat melalui permintaan informasi (wajib tersedia setiap saat), dan informasi yang dikecualikan (secara ketat dan terbatas berdasarkan pengujian konsekuensi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik). Klik
5. Kanal Partisipasi Publik
Saat ini, kanal khusus partisipasi publik secara online untuk pembentukan UU di DPR, tersedia ada pada tahapan penyusunan UU dan tahapan pelaksanaan UU (pemantauan) yang dibuat oleh BKD. Sementara partisipasi secara online, di tahapan pembahasan, yang berada di bawah kewenangan Baleg, belum tersedia secara khusus (hanya ada kolom feedback pada menu rekam jejak yang memungkinkan publik memberikan komentar, bukan sebuah aplikasi khusus).
Sebagai AKD yang diberi peran khusus untuk menjalankan tugas penyusunan dan pembahasan Prolegnas, penyiapan, penyusunan, pengharmonisasian, pembulatan, pemantapan konsepsi, dan pembahasan semua RUU,[12] idealnya Baleg menyiapkan sarana partisipasi pada tahap pembahasan RUU, secara online. Namun, jika berlum tersedia, publik dapat memanfaatkan sarana-sarana yang ada di Baleg saat ini, misalnya email.
Berbeda dengan Baleg, Badan Keahlian atau biasa disebut Badan Keahlian Dewan (BKD) yang berperan membantu anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi dalam menyusun NA[13] dan penyusunan draf RUU[14], telah mengembangkan dua kanal partisipasi pembentukan UU, yaitu:
SIMAS PUU
Kanal Partisipasi Masyarakat dalam Perancangan Undang-Undang (Simas PUU)[15] dibuat oleh Pusat Perancangan Undang-Undang (PUU) Badan Keahlian DPR RI. Pusat PUU adalah salah satu unit kerja yang berada di dalam Badan Keahlian DPR RI yang berfungsi untuk memberikan dukungan keahlian dalam hal penyusunan rancangan undang-undang serta keahlian lainnya dalam pembentukan RUU di DPR RI.[16]
Proses penyusunan NA dapat dilakukan melalui uji publik dengan pakar, praktisi, dan pemangku kepentingan[17]. Sementara dalam proses penyusunan draf RUU, dimungkinkan adanya masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan[18]. Oleh karena itu, maka Badan Keahlian berinisiatif membuat kanal khusus untuk mendapatkan masukan dari masyarakat terhadap penyusunan NA dan penyusunan RUU yang disebut dengan Simas PUU atau Partisipasi Masyarakat dalam Perancangan Undang-Undang. Dari dua kanal tersebut, terlihat partisipasi publik masih sangat minim. Untuk kanal partisipasi penyusunan RUU, dari 49 draf RUU yang ditampilkan, hanya ada 3 orang yang memberikan masukan (per 30 Juli 2021).
SIMAS PANLAK UU
Kanal Partisipasi Masyarakat dalam Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (Simas Panlak UU)[19] dibuat oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (Puspanlak UU). Puspanlak UU merupakan salah satu bidang keahlian pada Badan Keahlian DPR yang berperan sebagai supporting system dalam mendukung tugas, fungsi, dan kewenangan DPR RI, khususnya dalam pengawasan pelaksanaan undang-undang.[20]
Tahap pertama dalam kegiatan pemantauan pelaksanaan undang-undang ialah menentukan undang-undang yang akan dipantau dengan salah satu dasar rujukannya yaitu kebutuhan hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu, Puspanlak UU membutuhkan data dan informasi dari seluruh lapisan masyarakat terkait pelaksanaan dari suatu undang-undang melalui kuesioner ini.[21] Dibandingkan platform lainnya, platform ini relatif lebih baik dalam hal penggalian substansi.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada gap sarana partisipasi pembentukan UU secara online. DPR hanya memiliki sarana partisipasi secara online di tahap penyusunan dan tahap implementasi melalui pelaksanaan pemantauan UU. Sementara di tahap yang paling menentukan yaitu tahap Pembahasan, justru tidak tersedia. Tingkat partisipasi di dua platform yang dibangun BKD masih sangat minim. Potensi penyebabnya antara lain: platform ini tidak diintegrasikan dengan SILEG; kurangnya sosialisasi ke publik; dan respon DPR atas masukan publik belum dikelola secara baik.
Selain itu, platform Simas PUU juga belum memudahkan publik untuk memberikan masukan secara spesifik, misalnya pada pasal atau ayat dari RUU; atau bisa jadi publik menilai bahwa tahapan yang krusial adalah di tahap pembahasan. DPR perlu membuat sarana dan mekanisme partisipasi secara online yang memudahkan publik berpartisipasi, antara lain dengan menstrukturkan RUU dalam tabel sehingga publik bisa langsung menuju pada pasal terkait, terintegrasi dengan SILEG, disosialisasikan kepada masyarakat, disertai kejelasan feedback dari DPR.
Faktor penting lain yang menyebabkan terhambatnya keterbukaan legislasi adalah faktor non teknis (politis). Jika seluruh risalah pembentukan sebuah UU dibuka ke publik, sejauhmana DPR dapat mempertanggungjawabkan isinya. Keterbukaan akan mengungkap semua proses legislasi, termasuk yang tidak akuntabel. Misalnya, adanya pasal-pasal pesanan dari kelompok oligarkhi tertentu, padahal masyarakat secara luas menyatakan menolak.
Karena itu, dorongan terhadap tranparansi juga perlu diikuti dengan dorongan kepada publik untuk berpartisipasi (untuk mengawasi akuntabilitasnya dan memperjuangkan kepentingan mereka). Dalam konteks inilah, masyarakat sipil hadir sebagai intermediary, hub, atau penghubung antara masyarakat dan DPR.
Untuk menggambarkan sejauhmana kualitas partisipasi yang dibangun DPR dalam proses legislasi, penulis mengolahnya berdasarkan teori The Ladder of Citizen (tangga partisipasi publik) Sherry R. Arnstein, yang membagi tiga kategori besar partisipasi.
Tangga Partisipasi Publik Dalam Pembentukan UU
(Diolah dari Teori Ladder of Participation, Sherry R. Arnstein)
No | Level | Jenis | Konteks Legislasi |
1 | Non-Participation (Seolah ada partisipasi tetapi sebenarnya manipulatif) | Manipulation | Pembentuk UU menentukan orang-orang tertentu yang diklaim sebagai representasi masyarakat untuk, sementara publik tidak mengetahui hal tersebut. |
Therapy | Pembentuk UU memberitahu kepada publik bahwa aspirasi mereka sudah disetujui melalui wakil mereka. Namun publik hanya bisa mendengarkan. | ||
2 | Tokenism (Ada partisipasi masyarakat tetapi pemerintah tetap menjalankan rencana awalnya) | Informing | Pembentuk UU menginformasikan UU yang akan dan sudah dibentuk. Tetapi komunikasinya bersifat satu arah. Publik belum dapat berkomunikasi untuk memperoleh feedback atau umpan-balik secara langsung |
Consultation | Pembentuk UU menerima partisipasi dan aspirasi berbagai kelompok masyarakat dalam pembentukan UU. Namun, pembentuk UU yang berkuasa penuh memutuskan diterima tidaknya aspirasi tersebut. | ||
Placation | Pembentuk UU berjanji memasukkan aspirasi publik dalam pembentukan UU. Namun pembentuk UU tetap menjalankan keinginan mereka sendiri. | ||
Citizen Power (Partisipasi masyarakat memiliki kekuatan dalam menentukan kebijakan dan mengontrol jalannya kebijakan) | Partnership | Pembentuk UU menempatkan dan memperlakukan publik sebagai mitra dalam tahapan pembentukan UU | |
Delegate Power | Pembentuk UU mendelegasikan beberapa kewenangannya kepada publik dalam pembentukan UU. Misalnya, publik memiliki hak veto terhadap sebuah UU | ||
Citizen Control | Publik dapat mengontrol Pembentuk UU dan mengevaluasi kinerja Pembentuk UU, dimana hasil evaluasi tersebut dapat berpengaruh pada sebuah UU. |
Sumber: Penulis (diolah dari Ladder of Participatin, Sharry Arstein, 1969)
Transparansi yang sedang dibangun DPR, perlu diikuti dengan pembentukan mekanisme internal DPR (dengan advokasi dari masyarakat sipil) agar pengaruh publik atau rakyat pada level partisipasi dalam pembentukan UU semakin meningkat. Siapa rakyat itu? Prof. Sri Edi Swasono mengatakan bahwa “Rakyat” adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat adalah “the common people”, rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat berkaitan dengan “kepentingan publik”, yang berbeda dengan “kepentingan orang-seorang”. [23]
Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut “public interest” atau “public wants”, yang berbeda dengan “private interest” dan “private wants”. Sudah lama pula orang mempertentangkan antara “public needs” (yang berdimensi domain publik) dan “individual privacy”. Ini analog dengan pengertian bahwa “preferensi sosial” berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan dari “preferensi individual”. Istilah “rakyat” memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu.[24]
- Penjelasan Prosedur Pembentukan Undang-Undang
Sebagai lembaga perwakilan rakyat, tentu berbagai kalangan berkepentingan terhadap DPR. Cara termudah adalah dengan mengakses web lembaga wakil rakyat ini. Karena itu, DPR perlu menyajikan informasi yang mudah dipahami publik terkait mekanisme pelaksanaan fungsi DPR, kewenangan DPR, mekanisme partisipasi, hingga istilah-istilah tertentu, termasuk yang berkaitan dengan prosedur pembentukan UU.
Dengan adanya penyajian prosedur pembentukan UU, yang lengkap dan mudah dipahami, diharapkan publik dapat secara sigap memberikan respon apabila terjadi pelanggaran prosedural, sehingga kualitas UU semakin baik. Proses legislasi tahun 2020 memberikan pembelajaran berharga, betapa mudahnya aspek formil diabaikan.
Terkait prosedur pembentukan UU ini, di web DPR terdapat dua informasi sebagai panduan kepada publik. Pertama, informasi pada web utama DPR[25]yang berupa salinan dari teks UU. Kedua, informasi pada Badan Keahlian DPR[26]. Pada kanal tersebut tersedia informasi mengenai Alur Pembentukan Undang-Undang dan Dukungan Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR, alur penyusunan Prolegnas, dll. Sebenarnya, prosedur pembentukan UU lebih tepat dipublikasikan pada web utama DPR, dengan bagan, gambar, narasi, atau video yang mudah dipahami. Hal ini menjadi tugas dari Baleg DPR.
Selain prosedur pembentukan UU yang bersifat umum, ada beberapa prosedur khusus yang juga perlu dijelaskan antara lain, pembentukan Perppu menjadi UU, pembentukan UU dengan status kumulatif terbuka, pembentukan UU dengan status carry over, pembentukan UU dengan metode omnibus law, dll. DPR juga perlu membuat semacam e-dictionary atau glossary Parlemen Indonesia, untuk menjelaskan sejumlah istilah tertentu terkait parlemen di Indonesia dan parlemen pada umumnya, sebagaimana yang dibuat oleh parlemen Singapura[27].
_______________________________
[1] “Program Legislasi Nasional,”DPR RI, diakses pada 21 Juli 2021, https://www.dpr.go.id/uu/prolegnas-long-list
[2] “Wamenkumham: Rekodifikasi RUU KUHP Berisikan Ratusan UU Sektoral,” BPHN, diakses pada 17 Juli 2021, https://bphn.go.id/pubs/news/read/2021032204134155/wamenkumham-rekodifikasi-ruu-kuhp-berisikan-ratusan-uu-sektoral,
[3] D. Dj. Kliwantoro, “Pro dan Kontra serta Khitah tujuan awal UU ITE,” Antara, diakses pada 17 Juli 2021, https://www.antaranews.com/berita/2046974/pro-dan-kontra-serta-khitah-tujuan-awal-uu-ite
[4] “Paripurna DPR Setujui Hasil Evaluasi dan Perubahan Prolegnas 2020,” DPR RI, diakses pada 17 Juli 2021, ttps://www.dpr.go.id/berita/detail/id/29465/t/Paripurna+DPR+Setujui+Hasil+Evaluasi+dan+Perubahan+Prolegnas+Prioritas+2020
[5] Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan: Dalam hal pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) telah memasuki pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, Rancangan Undang-Undang tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan
[6] “Kronologis Proses Penyusunan Hingga Pembahasan RUU Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” DPR RI, diakses pada 21 Juli 2021, https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/K7-RJ-20200515-103121-1462.pdf
[7] RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; RUU tentang Praktik Psikologi; RUU tentang Pelindungan Data Pribadi; RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (RUU tentang Landas Kontinen); RUU tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah; RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan RUU tentang Badan Usaha Milik Desa.
[8] “Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Tentang Penanggulangan Bencana,” DPR RI, diakses pada 28 Agustus 2021, https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/K8-RJ-20210708-082805-1295.pdf.
[9] “Draf DIM RUU Tentang Badan Usaha Milik Desa,” DPR RI, diakses pada 20 Agustus 2021
https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/K5-RJ-20210820-032439-3933.pdf.
[10] “Kronologis Proses Penyusunan..,” loc. cit.
[11] “Undang-Undang,” DPR RI, diakses pada 30 Juli 2021, https://www.dpr.go.id/jdih/uu.
[12] Peraturan DPR No. 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang, Pasal 1 angka 9.
[13] Ibid., Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2).
[14] Ibid., Pasal 57 ayat (1).
[15] “Simas PUU,” Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI, diakses pada 18 Juli 2021, https://pusatpuu.dpr.go.id/simas-puu.
[16] “FAQ,” Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI, diakses pada 18 Juli 2021, https://pusatpuu.dpr.go.id/tentang/faq.
[17] Peraturan DPR No. 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang, Pasal 50 ayat (6).
[18] Ibid., Pasal 53 ayat (6).
[19] “Penjaringan Data dan Informasi Pelaksanaan Undang-Undang,” Badan Keahlian DPR RI, diakses pada 17 Juli 2021, https://puspanlakuu.dpr.go.id/kuesioner.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] “Penjaringan Data dan Informasi Pelaksanaan Undang-Undang,” puspanlakpuu.dpr.go.id, diakses pada 21 Juli 2021, https://puspanlakuu.dpr.go.id/kuesioner.
[23] Sri Edi Swasono, Kemandirian Ekonomi: Menghapus Sistem Ekonomi Subordinasi, Membangun Ekonomi Rakyat, JESP Volume 5 Nomor 2, Oktober 2004.
[24] Ibid.
[25] “Pembuatan Undang-Undang,” DPR RI, diakses pada 21 Juli 2021, https://www.dpr.go.id/tentang/pembuatan-uu.
[26] “Alur Pembentukan Undang-Undang dan Dukungan Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR,” Badan Keahlian DPR RI, diakses pada 21 Juli 2021, https://pusatpuu.dpr.go.id/tentang/alur-penyusunan-ruu.
[27] “Glossary,” Parliament of Singapore, diakses pada 20 Juli 2021, https://www.parliament.gov.sg/parliamentary-business/glossary.
Tata Kelola SILEG
Untuk merealisasikan SILEG, dibutuhkan koordinasi dan sinergi dari sejumlah pihak di DPR. Sistem koordinasi kerja terjadi antarbagian. Tata kelola dan kelembagaan SILEG ini melibatkan sejumlah pihak dengan fungsi sebagai berikut1.
Dari gambar di atas, terlihat bahwa alur tata kelola SILEG berasal dari AKD dan BKD dan memposisikan Baleg sebagai leading sector dalam implementasi. Sementara AKD berposisi sebagai pihak yang melakukan request menu dan mengisi informasi pada SILEG setelah memperoleh akun dan password dari BDTI.
Untuk meningkatkan proses tata kelola SILEG, kami mengusulkan penyelenggaraan SILEG melalui berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh sejumlah bagian di Setjen DPR, yaitu:
- Pendokumentasian
Pendokumentasian merupakan kegiatan awal yang dilaksanakan oleh unit kerja di Setjen DPR dan AKD untuk mendukung aplikasi SILEG. Berbagai kegiatan seperti rapat, kunjungan kerja, dan konsultasi publik dalam rangkaian legislasi merupakan sumber utama informasi dari aplikasi ini. Kegiatan-kegiatan tersebut menghasilkan dokumen seperti laporan singkat, catatan rapat, dan risalah.
- Validasi
Validasi bertujuan untuk memastikan bahwa informasi yang terkandung dalam sebuah dokumen sesuai dengan fakta di lapangan. Validasi juga dibutuhkan untuk menghindari salah persepsi dalam membaca dokumen. Validasi dokumen dilakukan oleh atasan pembuat, pencatat, atau perekam dokumen, yaitu Kepala Bagian.
- Otorisasi
Otorisasi ini bertujuan untuk menyaring sebuah dokumen sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Adakalanya sebuah dokumen tidak dapat dipublikasikan karena dikecualikan secara keseluruhan. Tugas ini dilakukan oleh PPID.
- Penyimpanan
Penyimpanan merupakan langkah lanjutan setelah otorisasi. Penyimpanan dapat berupa dokumen hardcopy maupun softcopy. Penyimpanan yang baik akan memudahkan pendistribusian dan pelayanan informasi.
- Penyediaan
Penyediaan di antaranya dengan menyusun DIP yaitu daftar seluruh informasi yang telah dibuat di bawah kewenangan unit kerja terkait. Keberadaan DIP ini akan memudahkan pelayanan, baik internal maupun eksternal.
- Pelayanan
Pelayanan berupa pemberian informasi maupun publikasi informasi dan dokumen secara proaktif. Prinsipnya, pelayanan diberikan secara cepat, mudah, dan berbiaya ringan. Informasi di SILEG merupakan bagian dari pelayanan.
- Penyediaan sarana teknologi
Penyediaan sarana teknologi informasi SILEG tidak hanya dilakukan pada saat pembentukan aplikasi, tetapi juga pada perawatan dan pengembangannya.
- Pengolahan partisipasi
Pengolahan partisipasi masyarakat sebagai konsekuensi menyediakan kanal partisipasi. Partisipasi dalam kanal SILEG dapat dikelola langsung oleh sekretariat AKD atau dilakukan oleh bagian pengaduan.
- Pengawasan dan evaluasi
Pengawasan dan evaluasi secara berkala bertujuan untuk meningkatkan kualitas kerja setiap bagian sehingga pelayanan informasi pada SILEG semakin baik.
- Pengarahan
Pengarahan dilaksanakan pimpinan DPR dan Sekretaris Jenderal DPR, sesuai visi-misi dan kebijakan dari pimpinan DPR.
Lingkungan Pendukung
Sebagai sebuah sistem informasi, SILEG membutuhkan sejumlah sistem pendukung, antara lain:
1. Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik
Saat ini, PPID DPR relatif telah tertata dengan baik, terutama dari sisi pelayanan terhadap permintaan informasi publik. Berdasarkan aplikasi online layanan PPID DPR RI, sejumlah indikator penyelenggaraan pengelolaan dan pelayanan informasi publik di DPR sudah cukup memadai. Indikator tersebut meliputi regulasi keterbukaan informasi, standar operasional prosedur terkait pengelolaan dan pelayanan informasi publik, DIP, pembentukan PPID, dan tersedianya desk pelayanan. Tantangannya adalah mengintegrasikan struktur PPID dengan pengelola SILEG.
Jika mengacu pada UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, maka terhadap semua pelayanan publik yang dilaksanakan, termasuk pelayanan informasi, DPR perlu melakukan penyelenggaraan yang meliputi: pelaksanaan pelayanan itu sendiri, pengelolaan pengaduan, pengelolaan informasi, pengawasan internal, penyuluhan kepada masyarakat, dan konsultasi sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU Pelayanan Publik.
2. Sistem Pengarsipan
Sistem pengarsipan DPR kini mendapatkan porsi yang cukup diperhatikan dalam kesekjenan DPR. Bagian Arsip dan Museum berfungsi menyelenggarakan kegiatan pembinaan dan pengelolaan arsip. Penataan arsip semakin memperoleh bentuknya dengan diterbitkannya Peraturan Sekretaris Jenderal DPR RI Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI. Adanya peraturan ini semakin mempermudah untuk mensistemkan pengarsipan. Terkait informasi legislasi, bagian arsip dituntut menyediakan informasi rekam jejak pembahasan RUU yang telah disahkan, seperti risalah rapat. Tantangannya adalah meningkatkan sinergi antara arsip dan sistem informasi legislasi.
3. Sistem Risalah DPR RI
Terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 26 Tahun 2017 tentang Jabatan Fungsional Perisalah Legislatif, memberikan dasar hukum bagi Sekjen DPR untuk mengelola jabatan perisalah dan membangun sistem risalah di internal DPR. Risalah persidangan berkontribusi untuk menyediakan informasi persidangan dalam sistem informasi legislasi. Namun, proses ini belum terintegrasi.
4. Sistem Teknologi Informasi
DPR sesungguhnya memiliki tim teknologi informasi yang cukup handal, termasuk infrastruktur pendukungnya. Kapasitas teknologi informasi DPR yang cukup memadai ini perlu didukung dengan kapasitas tata kelola yang terkonsolidasi. Selain itu, dibutuhkan kapasitas untuk merespon perkembangan publik dan teknologi informasi yang mengarah kepada pengelolaan big data dan open data. Ketersediaan satu akses informasi legislasi dengan sedikit jumlah klik menjadi tuntutan yang perlu dipenuhi oleh sistem IT DPR.
5. Badan Keahlian Dewan
Terdapat dua fungsi Badan Keahlian Dewan yang dapat diintegrasikan dengan SILEG, yaitu Pusat Perancangan Undang-Undang dan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang. SILEG dapat diintegrasikan dengan dokumen-dokumen hasil kajian BKD untuk memperkaya akses publik. Sayangnya, informasi dan dokumen terkait ini masih terpisah-pisah.
Selain memperkuat Sistem Informasi Legislasi, DPR juga perlu membangun sistem informasi pada fungsi-fungsi lainnya, yaitu Sistem Informasi Pengawasan dan Sistem Informasi Anggaran, yang juga menyediakan platform khusus untuk partisipasi publik.