tentang
Open Parliament
Open Parliament merupakan inisiatif global untuk mendorong transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan inovasi parlemen melalui kolaborasi berkelanjutan bersama masyarakat sipil.
Perbincangan Seputar Open Parliament
CIKAL BAKAL OPEN PARLIAMENT
Cikal bakal inisiatif parlemen terbuka muncul pada 2012 di Washington Amerika Serikat, dengan adanya pengembangan draf “Legislative Openness” oleh Parliamentary Monitoring Organizations (PMO) dari 38 negara di seluruh dunia. Hasil final draf tersebut kemudian dideklarasikan secara resmi pada kegiatan World e-Parliament Conference 2012 di Roma. Secara umum, deklarasi tersebut mengangkat kesepahaman tentang urgensi parlemen yang lebih terbuka, publikasi dokumen, ruang partisipasi, dan penggunaan TIK. Meski disusun oleh organisasi masyarakat sipil, prinsip-prinsip yang cukup detail tersebut, patut dijadikan referensi bagi parlemen untuk mengukur tingkat keterbukaan di lembaganya.
Secara substansi, prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan “Parliament and Democracy In The Twenty First Century; A Guide To Be Practice”, yang diterbitkan IPU tahun 2006. Panduan ini memberikan gambaran yang komprehensif dan sistematis tentang peran sentral yang dimainkan parlemen dalam demokrasi, serta menjelaskan bagaimana sesungguhnya parlemen yang benar-benar representatif, transparan, dapat diakses, akuntabel, dan efektif dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya.
Deklarasi di atas, lebih lanjut dikembangkan dan dikolaborasikan dengan inisiatif Open Government Partnership (OGP) dengan pembentukan Legislative Openness Working Group (LOWG) pada OGP Summit di London, tahun 2013. OGP sendiri dideklarasikan pada 2011 oleh 78 negara,[1] termasuk Indonesia sebagai upaya untuk membangun pemerintahan terbuka. LOWG secara resmi membahas dan menyebut Open Parliament pada OGP Summit 2015 di Mexico. LOWG telah berhasil menjalin kemitraan untuk pengembangan rencana aksi lembaga legislatif bersama parlemen Chile, Prancis, Georgia, dan pemerintah Ghana.[2] Setelah itu, parlemen sejumlah negara tertarik untuk mengembangkan Open Parliament, seperti Serbia, Meksiko, dan Kostarika.
[1] “Open Government Declaration,” Open Government Partnership, diakses 18 Agustus 2021, https://www.opengovpartnership.org/process/joining-ogp/open-government-declaration/.
[2] Daniel Swislow, “8 Sessions You Shouldn’t Miss at the Summit: Open Parliaments Come to OGP!”
diakses 18 Agustus 2021, https://www.opengovpartnership.org/stories/8-sessions-you-shouldnt- miss-at-the-summit-open-parliaments-come-to-ogp/.
RAGAM INISIATIF MENDORONG PARLEMEN TERBUKA
Pada 2016, OGP menerbitkan Parliamentary Engagement Policy Guidance, yang memberikan kerangka sistematis mengenai Open Parliament. Parlemen yang mendeklarasikan Open Parliament berdasarkan prinsip-prinsip yang dikembangkan OGP, tidak hanya menjalankan transparansi, tetapi juga membuat Peta Jalan Open Parliament, dan Rencana Aksi Nasional atau National Action Plan (NAP), yang disusun bersama (co-creation) dan diimplementasikan bersama (co-implementation) antara parlemen dan masyarakat sipil. Selain itu, OGP juga melakukan pengecekan capaian NAP melalui Self Assessment Report (SAR)[1] dan Independent Report Mechanism (IRM).[2]
Ada dua model Open Parliament yang berkembang di negara-negara anggota OGP. Pertama, Open Parliament sebagai bagian dari Open Government (NAP Parlemen terintegrasi dengan NAP Pemerintah), seperti yang dilakukan Paraguay dan Ghana. Kedua, Open Parliament terpisah dari Open Government. Dalam hal ini, pemerintah dan parlemen membuat NAP masing-masing, seperti yang dilakukan Chile, namun tetap mengacu pada mekanisme dan prinsip yang dikembangkan OGP (access to information, accountability, citizen engagement, technologies, and innovation). DPR RI kini memilih model yang kedua tersebut.
Pada tahun 2016, Directorio Legislativo, Latin American Legislative Transparency Network, National Democratic Institute (NDI), OSCE Office for Democratic Institutions and Human Rights (ODIHR), ParlAmericas, dan Westminster Foundation for Democracy (WFD) meluncurkan Open Parliament e-Network (OPeN). Mitra OPeN terdiri dari organisasi internasional/regional atau parlemen yang memiliki komitmen untuk memberikan dukungan bagi keterbukaan legislatif di banyak negara. OGP menyambut mereka sebagai mitra yang sangat diperlukan untuk reformasi pemerintahan terbuka.[3] Selain model yang dikembangkan oleh OGP, sebagian parlemen juga mengembangkan model keterbukaan sendiri, seperti yang dikembangkan oleh Amerika Serikat, sebagaimana disampaikan pada bab sebelumnya.
[1] SAR adalah laporan yang ditulis oleh parlemen mengenai penilaian praktik keterbukaan parlemen dalam NAP. Laporan SAR berisi kemajuan NAP di negara-negara yang ikut berpartisipasi di Open Government Partnership. Laporan SAR berfokus kepada hasil akhir hasil akhir pelaksanaan NAP, konsultasi publik, dan pembelajaran dari implementasi NAP.
[2] Selengkapnya lihat OGP Handbook Rules + Guidance for Participants, Open Government Partnership, https://www.opengovpartnership.org/wp-content/uploads/2020/02/OGP_Handbook-Rules-and-Guidance_20200207.pdf.
[3] “Launching the Open Parliament e-Network,” Open Government Partnership, diakses pada 10 Juli 2021 https://www.opengovpartnership.org/stories/launching-the-open-parliament-e-network/.
PRINSIP-PRINSIP PARLEMEN TERBUKA
Sejumlah pihak mengembangkan prinsip-prinsip open parliament, antara lain IPU, OGP, OpeN, NDI, dll. Pada 15 Desember 2012, sejumlah PMO di Roma Italia, mendeklarasikan prinsip-prinsip parlemen terbuka yang mencakup empat hal, yang masing-masing terdiri dari sejumlah aspek, yaitu[1]:
Promosi Budaya Keterbukaan
Beberapa aspek pada prinsip ini yang perlu dilakukan parlemen, antara lain: a. berkaitan dengan publik (memberikan pengakuan tegas bahwa informasi parlemen adalah milik publik. Karena itu, publik diizinkan untuk menggunakan dan menerbitkan kembali informasi parlemen; memastikan organisasi masyarakat sipil beroperasi secara bebas termasuk dalam memantau parlemen, melibatkan publik dalam proses pengambilan keputusan, dan melakukan pendidikan dengan mempromosikan tugas, fungsi, kewenangan, dan mekanisme kerja parlemen dan anggotanya); b. berkaitan dengan pemerintah (mengawasi agar undang-undang keterbukaan informasi dilaksanakan secara efektif dan memastikan pemerintah juga mempromosikan budaya keterbukaan). c. berkaitan dengan internal parlemen (membangun budaya keterbukaan melalui undang-undang, prosedur, dan kode etik internal); d. aktif berpartisipasi dalam pertukaran praktik baik dengan parlemen dan organisasi masyarakat sipil di tingkat global.
Membangun Keterbukaan Informasi Parlemen
Beberapa aspek terkait prinsip yang perlu dilakukan parlemen, antara lain: membentuk kebijakan penyebaran informasi secara proaktif, termasuk format informasi yang berkaitan dengan a. kelembagaan (struktur, fungsi, aturan, prosedur administrasi dan alur kerja, setiap badan-badan di parlemen); b. anggota parlemen (partai, mandat pemilu, peran di parlemen, kehadiran, informasi sekretariat dan identitas tenaga pendukung, kontak, aset, pengeluaran parlemen mereka, dan pendapatan non-parlemen mereka, dan kinerja; c. agenda (kalender masa persidangan, jadwal pengambilan keputusan, jadwal hearing dengan publik, dll. Terhadap pembentukan undang-undang yang mendesak, parlemen tetap memberikan pemberitahuan sebelumnya agar publik dan masyarakat sipil dapat memberikan masukan; d. dokumen persidangan (laporan proses, dokumen yang dibuat dan diterima, aspirasi publik, tanggapan parlemen, dalam bentuk audio, video, dan transkrip tertulis atau hansard, termasuk rekaman proses dan hasil pengambilan keputusan (voting record); e. anggaran dan pendapatan belanja negara termasuk anggaran parlemen itu sendiri dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami; f. aturan mengenai konflik kepentingan atau pelanggaran etika dan hasil penyelidikannya, informasi mengenai interaksi anggota dengan pelobi dan kelompok penekan; g. informasi persidangan periode sebelumnya, termasuk sejarah parlemen dengan membuka akses ke perpustakaan, dll.
Memudahkan akses informasi parlemen
Beberapa aspek terkait prinsip yang perlu dilakukan parlemen, antara lain: menyediakan berbagai saluran akses informasi parlemen; termasuk akses fisik kepada publik, media, observer, menyediakan siaran dan streaming langsung dan sesuai permintaan; memastikan bahwa bahasa hukum atau teknis tidak menjadi penghalang bagi warga negara yang ingin mengakses informasi parlemen.
Mengaktifkan Komunikasi Elektronik Informasi Parlemen
Beberapa aspek terkait prinsip yang perlu dilakukan parlemen, antara lain: memberikan informasi dalam format terbuka (open data) dan terstruktur yang dapat dibaca dan diproses oleh komputer; memberikan instruksi yang jelas untuk penggunaan basis data online atau alat apa pun yang memungkinkan warga untuk mengambil informasi parlemen dari situs web parlemen; melindungi privasi warga negara; tidak menggunakan persyaratan keanggotaan atau pendaftaran yang membatasi akses publik ke web parlemen atau tidak menggunakan tools pelacakan informasi pengenal pribadi tanpa persetujuan eksplisit; memelihara web parlemen untuk membangun keterhubungan dengan pihak-pihak lain, meskipun akses internet masih terbatas; menggunakan mekanisme pencarian yang mudah; menghubungkan satu informasi ke informasi terkait lain, misalnya, informasi UU dihubungkan dengan rekam jejak pembahasan RUU; menggunakan alat teknologi interaktif untuk memfasilitasi komunikasi dengan anggota atau staf parlemen.
Sejumlah organisasi internasional juga menyusun berbagai tools untuk menilai keterbukaan parlemen, seperti yang dibuat oleh National Democratic Institute (NDI). NDI melakukan pemetaan keterbukaan parlemen pada sejumlah aspek yaitu persidangan, administrasi, aksesibilitas, anggota parlemen, partisipasi publik, etik, dan keterbukaan di tingkat komite/komisi, yang masing-masing aspek tersebut, diturunkan menjadi sejumlah indikator.[2]
[1] Declaration Parliamentary Openness, openingparliament.org, (2016), 2 – 9 (uraian pada setiap poin diterjemahkan secara bebas oleh tim penulis).
[2] “Legislative Openness Data Explorer,” National Democratic Institute, diakses pada 20 Juli 2021, https://beta.openparldata.org.
PRAKTIK PARLEMEN TERBUKA
Di sejumlah parlemen, telah berkembang berbagai inisiatif yang dapat menjadi inspirasi untuk membangun keterbukaan dan partisipasi publik, antara lain:
- Parlemen Yunani
Sejak Maret 2014, parlemen Yunani bersama stakeholder lainnya menjalankan program yang disebut Vouliwatch. Inisiatif ini bertujuan melibatkan warga Yunani dalam politik parlemen dan memberikan mereka kesempatan untuk berkomunikasi, mengevaluasi, dan memastikan akuntabilitas anggota parlemen. Perangkat yang ada antara lain: Ask your MP/MEP (forum tanya jawab); votewatch (memantau kegiatan anggota parlemen); share ideas, experiences, and make proposal (usulan warga); issue of the month (agenda penting yang sedang menjadi perdebatan, dan the observatory (blog dan informasi yang terus dimutakhirkan).
- Parlemen Perancis
Sejak tahun 2013, parlemen Perancis didukung berbagai stakeholders mencoba inisiatif baru yang disebut sebagai The Parliament and Citoyens. Sebuah web yang memungkinkan warga dan anggota parlemen bersama-sama menyusun RUU dan kebijakan. Program ini disponsori oleh enam anggota parlemen lintas partai dan didukung oleh berbagai kalangan termasuk CSO.
- Parlemen Brazil
Sejak tahun 2009, parlemen Brazil melansir program yang disebut e-Democracy berupa web yang bisa digunakan oleh warga untuk berpartisipasi dan mengajukan usul dan pendapat tentang RUU atas kebijakan yang akan diputuskan oleh parlemen. Awalnya, ini digunakan untuk menggali pendapat soal kebijakan tentang pemuda (youth), kemudian dikembangkan dalam skala yang lebih luas menyangkut isu-isu kebijakan lainnya.
- Parlemen Ukraina
Pada tanggal 5 Februari 2016 Ukraina bergabung dengan Declaration of Parliamentary Openness. Volodymyr Hroysman, Ketua Verkhovna Rada (DPR) Ukraina, menandatangani resolusi untuk mengadopsi Rencana Aksi implementasi Declaration of Parliamentary Openness. Tujuan utama dari inisiatif ini adalah untuk memberikan transparansi yang lebih besar pada pekerjaan Parlemen, dan untuk melibatkan warga negara dalam proses parlemen. Inisiatif Open Parliament, telah mengantar Parlemen Ukraina menyusun regulasi yang mewajibkan publikasi dokumen-dokumen persidangan, seperti risalah, jadwal, dan catatan persidangan. Di samping itu, Inisiatif Open Parliament Ukraina mengembangkan Komite Pengawas Inisiatif Open Parliament yang bersidang setiap bulan untuk mengonsolidasikan implementasi Rencana Aksi.[1]
- Parlemen Georgia
Parlemen Georgia telah menerapkan reformasi parlemen sejak Deklarasi Keterbukaan Parlemen pada tahun 2015. Dalam konteks ini, Rencana Aksi Parlemen Terbuka 2018-2019 membuat tujuan semakin ambisius. Misalnya, Parlemen Georgia mengambil komitmen untuk melembagakan tools penilaian parlemen secara mandiri merujuk pada standar Inter-Parliamentary Union (IPU). Untuk mendukung implementasi inisiatif Open Parliament, Parlemen Georgia membentuk Consultative Group (Grup Konsultasi) yang beranggotakan Permanent Parliamentary Council on Open Governance (AKD yang bersifat tetap), perwakilan masyarakat sipil, dan organisasi internasional mitra.
Salah satu capaian penting Open Parliament Georgia adalah warga dapat mengajukan e-petition (petisi online) kepada ketua DPR (minimal 300 penandatangan), sebagaimana diatur dalam tata tertib mereka. Di samping itu, warga dapat mengomentari RUU yang diposting di situs web parlemen. Komite parlemen telah diberi mandat untuk meninjau komentar dan pendapat warga terhadap RUU. Jika perlu, memasukkannya ke dalam kesimpulan komite.[2]
[1] Open Parliament: interim activity report on the initiative aimed at implementing The Action Plan of the Declaration on Parliamentary Openness (Ukraine: UNDP, 2016).
[2] Givi Mikanadze, Georgian Parliament’s Experience in implementing the Open Government Partnership Goals, IPU, diakses pada 19 Agustus 2021, https://www.ipu.org/file/6102/download.
KONTEKS INDONESIA
Ada beberapa momentum yang mendorong DPR untuk menjadi lembaga yang terbuka hingga akhirnya mendeklarasikan Open Parliament. Antara lain:
1 | Terbentuknya UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang merupakan RUU inisiatif DPR. Melalui UU ini, kemudian dibentuk Komisi Informasi Pusat RI, pada 2010. Setiap tahun Komisi Informasi Pusat RI mengadakan monitoring dan evaluasi (monev) keterbukaan Badan Publik. Badan Publik yang dimonev kemudian dikategorisasi menjadi informatif, menuju informatif, cukup informatif, kurang informatif,dan tidak informatif. “Kompetisi” ini mendorong DPR untuk berbenah. |
2 | Deklarasi Open Government Partnership oleh 9 negara termasuk Indonesia pada tahun 2011, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Legislative Openness Working Group (LOWG), pada 2013. |
3 | Deklarasi Open Parliament oleh sejumlah negara, yaitu: Chile (2014), Kostarika, Georgia, Ukraina, Prancis, Kosovo (2015), Paraguay, Ghana, Kenya (2016). |
4 | Pencanangan parlemen modern oleh DPR pada tahun 2015, dengan tiga fokus utama yaitu teknologi informasi, keterbukaan akses informasi, dan peningkatan fungsi representasi, pada tahun 2015. |
5 | Advokasi dan pemantauan berkala oleh organisasi masyarakat sipil terhadap kondisi keterbukaan informasi di DPR. |
6 | Keaktifan DPR RI pada sejumlah agenda inisiatif global, antara lain IPU, GOPAC, dan OGP. Pada Juli 2018, DPR memperkuat inisiatif Open Parliament melalui KTT Global Open Government Partnership (OGP) di Tbilisi Georgia. Satu bulan pasca acara ini, DPR mendeklarasikan Open Parliament Indonesia. |
Terkait pencanangan parlemen modern, maka indikator modern tersebut idealnya mengacu pada sarana (termasuk TIK), tools, metode, dan manajemen dalam pelaksanaan fungsi-fungsi DPR serta respon kelembagaan terhadap inisiatif-inisiatif global. Transparansi dan penggunaan TIK untuk akses informasi, dapat meningkatkan akuntabilitas politik atau dalam bahasa DPR disebut sebagai pelaksanaan fungsi representasi.
Menurut Hanna F. Pitkin (2014), representasi terbagi dalam empat dimensi, yaitu representasi formal, representasi simbolik, representasi deskriptif, dan representasi substantif. Keempatnya tidak bisa terpisah satu sama lain. Namun, muara semua dimensi representasi tersebut adalah representasi substantif. Dalam hal ini anggota DPR bertindak untuk yang diwakili dan dengan cara yang responsif terhadap mereka. Gambaran tersebut sinkron dengan prinsip-prinsip yang diusung oleh inisiatif Open Parliament, yaitu co-creation dan co-implementation.
Kedua prinsip tersebut menggambarkan bagaimana DPR dan masyarakat sipil bersama-sama merumuskan dan melaksanakan NAP OPI untuk mendorong DPR yang lebih terbuka dan akuntabel. Dengan demikian, inisiatif Open Parliament, sesungguhnya memperkuat gagasan dan program parlemen modern.
TANTANGAN INDONESIA
Untuk mengetahui kondisi parlemen Indonesia dalam rangka mewujudkan parlemen terbuka, IPC melakukan sejumlah agenda kerja, baik bersifat mandiri seperti assessment keterbukaan informasi publik di DPR maupun sejumlah kegiatan bersama jajaran Setjen DPR. Hasilnya, IPC menemukan sejumlah tantangan dalam rangka mewujudkan parlemen yang terbuka.
Tabel 4: Tantangan Implementasi Open Parliament
Penyediaan informasi |
Pengelolaan informasi |
Pelayanan informasi |
Dasar hukum: UU Arsip (No. 43/2009), UU KIP (No. 14/2008) |
Dasar hukum: UU Arsip (No. 43/2009), UU KIP (No. 14/2008) |
Dasar hukum: UU KIP (No. 14/2008), UU Pelayanan Publik (No. 25/2009)
|
Ketersediaan dokumen untuk kepentingan internal dan eksternal belum maksimal |
Belum sinkronnya tata kelola informasi berbasis UU KIP dan UU Arsip, di internal organisasi DPR |
Pelayanan informasi dan penyajian informasi di web DPR belum sepenuhnya sesuai UU KIP, UU Pelayanan Publik, dan kebutuhan masyarakat |
Aspek Regulasi
– aturan arsip belum seluruhnya diadopsi, terutama yang berkaitan dengan arsip dinamis. – mekanisme otorisasi arsip yang masih dilakukan secara manual dan memakan waktu lama. – belum sinkronnya aturan internal mengenai keterbukaan informasi dengan aturan mengenai arsip, perpustakaan, dan repositori. |
Aspek Regulasi
– regulasi internal soal KIP belum diperbaharui dengan perkembangan terkini. – struktur PPID yang belum tersambung dengan komponen SDM arsip dan bagian lainnya. – klasifikasi arsip dan pengecualian informasi belum sinkron – DIP dan Daftar Arsip dinamis yang belum sinkron. – SOP-SOP untuk koordinasi dalam pengelolaan informasi publik belum terbangun secara sinkron.
|
Aspek Regulasi
– panduan pelayanan informasi berbasis web secara lebih detil belum tersedia. – panduan distribusi penugasan pelayanan informasi yang sinkron dengan struktur PPID via web, belum ada. – panduan pelayanan informasi publik yang lebih interaktif, belum dibangun secara detil. – SOP-SOP untuk koordinasi dalam pelayanan informasi publik secara daring belum dibangun secara sinkron. |
Aspek Sarana Prasarana
– sarana dokumentasi dan pengarsipan DPR masih kurang: scanner high speed, alat pemindah media, dsb. – ruang penyimpanan aplikasi arsip yang mudah digunakan belum tersedia. |
Aspek Sarana Prasarana
server dan aplikasi penyimpanan digital berdasarkan klasifikasi arsip dan KIP belum tersedia. |
Aspek Sarana Prasarana
akses ruang pelayanan informasi belum terjangkau secara mudah oleh publik. |
Pemetaan di atas sejalan dengan hasil survei Sekretariat OPI DPR bersama IPC dan WFD, pada Juli – Agustus 2020[1] yang menemukan sejumlah fakta, antara lain:
- Jumlah responden yang belum mengetahui sarana untuk berpartisipasi di DPR cukup banyak (22,67%). Adapun saluran yang dikenal mayoritas adalah melalui pertemuan langsung seperti audiensi (15,62%), RDPU (14,56%), kontak anggota DPR (8,7%), curah pendapat (7,21%), forum reses (6,9%). Saluran online seperti rumah aspirasi hanya dikenal sekitar (7,21%), pengaduan Publik (7,21%), permintaan informasi (5,26%), dan bersurat (1,5%).
- Ada banyak responden yang belum pernah mengakses situs dpr.go.id (48,7%). Adapun penilaian responden pada situs dpr.go.id menyatakan baik (45%), sangat baik (5%), buruk (40%), dan sangat buruk (9,2%).
- Mayoritas responden mendapatkan informasi mengenai DPR RI dari media massa daring (26,54%), kemudian media massa cetak (13,71%), televisi dan/atau radio (13,71%), publikasi akademis (6,69%), dan media sosial pribadi (5,7%). Adapun informasi yang bersumber langsung dari DPR RI mayoritas responden mendapatkan informasi dari web sebesar 17,76%, Instagram 5,9%, Twitter 5,04%, Majalah Parlementaria 2,3%, dan facebook 4,9%.[2]
Tantangan-tantangan yang telah dipetakan di atas menunjukkan bahwa akses informasi merupakan bagian dari sistem tata kelola data. Perbaikan sistem tata kelola informasi akan menjamin keberlanjutan parlemen modern di masa yang akan datang.
Dalam melaksanakan rekomendasi di atas, IPC telah mengusulkan untuk membentuk forum bersama antara DPR dan CSO. Sejalan dengan usulan itu, Open Parliament menerapkan prasyarat pelembagaan kolaborasi parlemen dan masyarakat sipil. Hal ini penting untuk:[3]
- Mengawal keberlangsungan penerapan parlemen terbuka dalam jangka panjang, terlepas dari peralihan kepemimpinan di DPR, melalui mekanisme yang mengamanatkan DPR untuk mengalokasikan anggaran dan menyediakan sumber daya pendukung bagi kegiatan-kegiatan inisiatif parlemen terbuka;
- Memberikan insentif bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam OPI dengan membentuk mekanisme yang jelas untuk menunjang kolaborasi antara DPR dan masyarakat sipil; dan
- Melakukan koordinasi proses penyusunan dan pelaksanaan NAP OPI dengan berbagai satuan kerja DPR serta perwakilan masyarakat sipil.
[1] Metode pengumpulan pendapat melalui kuesioner via medium daring (online survey). Responden survei dari masyarakat umum dipilih secara acak (random sampling). Total Responden Baseline Survey: 389. Laki-laki 61,8%, Perempuan 34,6% tidak mengidentifikasi 3,7%. Usia responden: 17-30 tahun (64,4%), 31-15 (20,6%), di atas 50 tahun (3,7%), di bawah 17 tahun (1,3%). Pendidikan responden: S1 (57,7%), S2 (21,8%), SMA (14,7%), Diploma (3,9%), S3 (1,6%).
[2] Baseline Survey Peta Jalan Open Parliament Indonesia, Sekretariat OPI DPR RI, 2020.
[3] Ravio Patra, Mekanisme Pelaporan Independen (IRM): Laporan Perancangan Indonesia 2018–2020 (Open Government Partnership, 2020), 71, diakses pada 20 Juli 2020, https://www.opengovpartnership.org/wp-content/uploads/2020/07/Indonesia_Design_Report_2018-2020_ID.pdf.
REKOMENDASI
Setelah melalui serangkaian persiapan, terutama terkait dengan aspek substansi melalui sejumlah diskusi, baik di dalam maupun di luar negeri, DPR memantapkan diri untuk mendeklarasikan Open Parliament, pada 29 Agustus 2018, sebuah inisiatif yang juga telah lama didorong oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil.
Pasca deklarasi, DPR kemudian menindaklanjuti dengan membentuk Sekretariat Open Parliament Indonesia beserta strukturnya dan menghasilkan sejumlah dokumen sebagai kewajiban anggota Open Parliament di bawah mekanisme Open Government Partnership. Antara lain: NAP 2018-2020; Peta Jalan Open Parliament Indonesia, dan NAP 2020-2022. DPR juga membentuk Tim Open Parliament Indonesia periode 2019-2024, yang diketuai oleh Wakil Ketua DPR Bidang Politik dan Keamanan.
Selain itu, ada sejumlah kegiatan, yang dilakukan Sekretariat OPI bersama masyarakat sipil. Antara lain: melaksanakan Baseline Survey Peta Jalan Open Parliament Indonesia, Juli – Agustus 2020 (bersama IPC dan WFD); Forum Multipihak untuk Implementasi NAP 2020-2022 pada 19 – 20 Maret 2022 (dengan dukungan WFD yang dihadiri oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil); workshop penyusunan tools monitoring dan evaluasi keterbukaan informasi publik di lingkungan Setjen DPR RI pada 14 April 2021; promosi Open Parliament Indonesia melalui webinar Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi, pada 19 Mei 2021 (bekerjasama dengan Indonesian Parliamentary Center) menghadirkan narasumber anggota Tim Open Parliament Indonesia dan sejumlah aktivis organisasi masyarakat sipil.
Secara umum, NAP OPI 2018-2020 terdiri dari peningkatan kualitas tata kelola data dan pelayanan informasi legislasi; peningkatan penggunaan teknologi informasi parlemen; penguatan keterbukaan informasi publik di parlemen; penyusunan roadmap OPI; dan penyusunan kelembagaan OPI. Adapun NAP OPI 2020-2022 terdiri dari peningkatan akses dan partisipasi publik dalam proses legislasi melalui SILEG; akses publik terhadap informasi digital parlemen dalam format open data; penguatan sistem informasi anggota parlemen; forum multipihak untuk dialog kebijakan berkala; promosi inovasi keterbukaan parlemen; dan pelembagaan OPI.
Berdasarkan pengalaman pelaksanaan NAP OPI selama ini, ada beberapa saran yang patut dipertimbangkan oleh DPR untuk memperkuat agenda-agenda OPI, yaitu:
- Komitmen Politik Pimpinan DPR
Implementasi agenda-agenda OPI sangat ditentukan oleh komitmen pimpinan DPR. Bentuk komitmen yang perlu ditunjukkan pimpinan DPR, antara lain:
- melembagakan OPI di tingkat anggota DPR. Pada periode 2019-2024 ini, telah terbentuk Tim Open Parliament Indonesia yang terdiri dari 9 orang anggota DPR RI dari setiap fraksi, diketuai oleh Wakil Ketua DPR bidang Politik dan Keamanan. Di atas ketua, ada koordinator yang dijabat oleh Ketua DPR RI;
- membangun pemahaman yang komprehensif mengenai Open Parliament di internal anggota Tim OPI sebab tidak semua anggota Tim OPI mengikuti topik ini sejak awal. Setelah itu, diharapkan para anggota Tim OPI mengarusutamakan prinsip-prinsip parlemen terbuka ke fraksi masing-masing;
- terlibat aktif dalam proses penyusunan dan implementasi OPI seperti penyusunan NAP, roadmap, SAR, dsb;
- membangun pertemuan berkala dengan masyarakat sipil mengingat masyarakat sipil memiliki pemahaman, komitmen, dan pengalaman panjang dalam gerakan Open Government Indonesia;
- terlibat pada agenda-agenda internasional Open Parliament, dan memberikan contoh dalam keterbukaan informasi pada level individu anggota DPR. Antara lain dengan mengisi secara lengkap blog anggota pada web DPR atau yang dikenal dengan Sistem Informasi Anggota (SIGOTA).
Hal lain yang juga perlu dilakukan anggota Tim OPI adalah bergabung dalam organisasi global yang memiliki relevansi dengan Open Parliament, seperti Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC).
- Kelembagaan OPI
DPR perlu mempertimbangkan model kelembagaan Open Parliament Indonesia, dalam bentuk AKD, sebagaimana praktik di parlemen Georgia, agar agenda reformasi kelembagaan DPR yang berkaitan dengan keterbukaan parlemen dapat berjalan secara berkesinambungan. Hal ini pernah disampaikan oleh anggota Tim Open Parliament Indonesia DPR, Johan Budi. Selama ini di setiap periode, DPR selalu dibentuk tim yang bersifat ad hoc untuk menjalankan reformasi kelembagaan. Namun karena sifatnya yang sementara, maka keberlanjutan eksistensi dan program-programnya bergantung pada pimpinan DPR periode berikutnya.
- Model Kolaborasi
Model Ghana dan Serbia serta Model Inggris dapat dikombinasikan sehingga proses co-creation dan co-implementation agenda OPI dilakukan dengan melibatkan masyarakat sipil dan sejumlah ahli dari berbagai latar belakang yang relevan. Selama ini, model kolaborasi yang berjalan di DPR adalah dengan melibatkan masyarakat sipil (model Ghana dan Serbia). Namun, kolaborasi tersebut belum diformalkan, sehingga dikhawatirkan berdampak pada rendahnya komitmen para pihak. Ke depan, patut dipertimbangkan kolaborasi yang menghadirkan para pakar dan tokoh masyarakat, termasuk mantan anggota DPR.
Untuk memperjelas model co-creation, kolaborasi ini perlu dikerangkakan dalam bentuk MoU dengan target yang lebih spesifik. Sepanjang tahun 2020, CSO yang menjadi mitra aktif sekretariat OPI DPR RI, antara lain Indonesian Parliamentary Center (IPC), Westminster Foundation for Democracy (WFD), Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), MediaLink, International Association for Public Participation (IAP2), Aliansi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Indonesia Budget Center (IBC).
- Evaluasi OPI
DPR dan masyarakat sipil perlu melakukan pertemuan berkala untuk mengevaluasi capaian NAP dan agenda OPI secara umum. Hasil evaluasi ini berguna untuk memperbaiki strategi pencapaian target berikutnya, menentukan perubahan prioritas jika diperlukan, dan sebagai masukan untuk menyusun Self-Assessment Report (SAR). Pertemuan ini tidak terbatas pada masyarakat sipil yang menjadi mitra OPI DPR, tetapi masyarakat sipil lainnya, yang bergerak pada isu sektoral untuk mendapatkan gambaran dan masukan sejauhmana praktik keterbukaan di DPR berdampak pada kerja-kerja mereka di lapangan.
- Promosi Aspek Etik Parlemen, Transparansi Lobi, dan Transparansi Konflik Kepentingan
Isu lain yang tidak kalah penting yang menjadi bagian dari Open Parliament adalah aspek etik, transparansi lobi, dan transparansi konflik kepentingan. Ketiga hal tersebut merupakan faktor pendukung untuk membangun kepercayaan konstituen terhadap wakil-wakil mereka di parlemen. Dengan berjalannya tiga aspek tersebut, setiap anggota lebih terdorong untuk bertindak dalam ruang lingkup kepentingan konstituen, bukan atas dasar kepentingan pribadi atau golongan. Pada akhirnya, semua proses penyerapan kepentingan pun diharapkan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.
- Membangun Sistem Monev Internal Keterbukaan Informasi
DPR perlu membangun sistem monitoring dan evaluasi (monev) keterbukaan informasi di internal DPR RI, agar seluruh unit kerja memiliki standar tata kelola data dan keterbukaan informasi yang dipraktikkan dengan baik dan berkelanjutan. Untuk itu, DPR perlu merumuskan objek monev (misalnya: tata kelola arsip, keterbukaan proaktif, dll), subjek monev (unit-unit kerja apa saja yang perlu dimonev), tim monev (pihak mana yang memiliki otoritas untuk melakukan monev di lingkungan Setjen DPR, pihak eksternal mana yang relevan untuk dilibatkan), waktu pelaksanaan monev (misalnya, setiap masa sidang atau tahun sidang), dan sinergi antar unit yang bertugas dalam pengelolaan keterbukaan informasi, arsip, SPBE, dan unit terkait lainnya. Beberapa aspek tersebut selama ini telah dinilai secara berkala oleh lembaga negara lain sesuai tugas dan kewenangannya, sebagaimana tertera pada tabel di bawah ini (untuk tahun 2020).
Tabel: Hasil Penilaian Terhadap
Arsip, SPBE, dan Keterbukaan Informasi DPR Tahun 2020
No | Aspek | Pelaksana | Skema Penilaian | Skor DPR |
1 | Kearsipan | Arsip Nasional Republik Indonesia |
|
A |
2 | Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik | Kementerian PAN dan RB |
|
Baik |
3 | Keterbukaan Informasi Publik | Komisi Informasi Pusat RI |
|
Menuju Informatif |
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Skor di atas menggambarkan kondisi umum di DPR. Disebut kondisi umum karena indikator penilaian tersebut digunakan untuk seluruh lembaga negara. Dengan sejumlah kekhasannya, DPR memerlukan indikator penilaiannya yang lebih mendalam. Untuk itulah, diperlukan sistem monev dari internal DPR yang dikombinasikan perspektif dengan masyarakat sipil.