A. PROFIL
Nama RUU | PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL |
Usulan |
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) FRAKSI – Fraksi Partai Amanat Nasional. FRAKSI – Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. FRAKSI – Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. |
Status Pembicaraan | Tingkat I |
Status Carry Over | Potensial |
Alat Kelengkapan Pembahas | Komisi VIII |
Pimpinan Komisi DPR Periode 2014-2019 |
Ketua Komisi : Ali Taher (F-PAN) Wakil Ketua : Marwan Dasopang (F-PKB) Ace Hasan Syadzily (F-PG) Sodik Mudjahid (F-Gerindra) Iskan Qolba Lubis (F-PKS) |
Pimpinan Komisi DPR Periode 2019-2024 |
Ketua : Ahmad Dolli Kurnia Tanjung (F-PG) Wakil Ketua : Yaqut Cholil Qoumas (F-PKB) Saan Mustofa (F-Nasdem) Arif Wibowo (F-PDIP) Muhammad Arwani Thomafi (F-PPP) |
Jumlah Pasal | 152/184 |
Struktur Materi RUU |
|
Link Dokumen Terkait | KLIK DISINI |
B. RIWAYAT
RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan RUU yang sampai akhir masa jabatan DPR 2014-2019 tidak berhasil di sahkan. Total sudah 4 kali RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam Prioritas Tahunan sejak 2016 sampai 2019. Alasan utama yang mendasari tidak berhasil di sahkannya RUU PKS adalah keterbatasan waktu.
C. SUBSTANSI DAN PERDEBATAN
Isu-isu krusial dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diantaranya adalah:
1. RUU PKS mengamanatkan pencegahan harus masuk dan terintegrasi dalam berbagai bidang urusan yang meliputi; bidang pendidikan; bidang infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang; bidang pemerintahan dan tata kelola kelembagaan; bidang ekonomi; bidang sosial agama dan budaya.
2. Dari identifikasi dan kajian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan ada 15 jenis kekerasan seksual. RUU PKS merumuskan 9 diantaranya dengan anggapan jenis kekerasan seksual yang merupakan praktik, tradisi dan kebijakan tidak harus diselesaikan dengan pengaturan pidana. Selain itu ada bentuk tertentu yang bagian dari kekerasan seksual telah di atur dalam Undang-Undang seperti perdagangan orang di Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
3. Adapun 9 bentuk tindak pidana yang akan diatur dalam RUU ini terdiri dari:
a. Pelecehan Seksual;
b. Eksploitasi Seksual;
c. Pemaksaan Kontrasepsi;
d. Pemaksaan Aborsi;
e. Perkosaan;
f. Pemaksaan Perkawinan;
g. Pemaksaan Pelacuran;
h. Perbudakan Seksual;
i. Penyiksaan Seksual.
4. RUU ini menyertakan Hak Korban, Keluarga Korban dan Saksi akibat dari kompleksitas dan spesifiknya kekerasan ini serta stigma negatif yang mengikutinya.
5. RUU ini mewajibkan penyidik, penuntut umum, hakim, advokat dan pendamping maupun pengada layanan melakukan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual untuk itu perlu adanya pembekalan pengetahuan dan keterampilan khusus tentang Penanganan Korban yang berperspektif HAM dan Gender;
6. RUU PKS membuka peluang kepada Masyarakat untuk turut serta dalam pencegahan dan pelaksanaan RUU PKS. Tidak hanya masyarakat, RUU ini juga membuka peluang terhadap perusahaan.
Perdebatan yang muncul mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diantaranya:
- MUI pada kesempatan RDPU meminta peninjauan kembali khususnya bentuk kekerasan seksual “pemaksaan perkawinan yang akan bersingunggan dengan prinsip-prinsip dalam norma agama. MUI juga menilai perlu dirumuskan definisi yang jelas dan tegas tentang kekerasan seksual yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah;
- Bagus Riyono menilai RUU PKS ini sarat akan kepentingan tersembunyi berdasarkan Naskah Akademik yang dianggap feminis dan tidak sesuai dengan muatan lokal di Indonesia;
- Aliansi Cinta Keluarga menanggapi beberapa tindakan yang diatur di RUU PKS tidak mengatur secara jelas dan dianggap sebagai bentuk affirmasi sebuah pelanggaran hukum. Pada kesempatan yang sama Aliansi Cinta Keluarga juga beranggapan bahwa RUU PKS mengakomodasi LGBT sehingga pembahasan RUU ini tidak perlu di lanjutkan;
- RUU PKS mendapatkan sejumlah tantangan di publik dengan anggapan melegalkan zina dan legitimasi LGBT;
- Anggapan yang mempertentangkan sejumlah pasal di RUU PKS termasuk substansi dan pembentukannya dibantah secara tegas oleh Komnas Perempuan. RUU PKS dibentuk sebagai payung hukum korban kekerasan seksual yang selama ini korbannya perempuan dan tidak menutup kemungkinan pria;
- Keterlambatan pembahasan RUU PKS diyakini karena anggapan feminisme yang terlanjur dianggap sebagai produk barat dan bertentangan dengan Ideologi serta agama;
- Komnas Perempuan menjelaskan meskipun beberapa Pasal tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah ada di KUHP dan Peraturan perundang-undangan lainnya, RUU PKS hadir sebagai hukum acara yang berusaha menghilangkan stigma kepada korban dalam kerangka kesetaraan gender dan HAM;
- Komnas Perempuan menyayangkan ada upaya pemutar balikkan fakta dan kesalahan logika dalam memahami RUU PKS.
D. DAMPAK
- Ada perbaikan dalam pemahaman terhadap korban dan keluarga kekerasan seksual dalam proses mendapatkan hak nya dan pencarian keadilan yang selama ini sering tersudutkan dan malah berbalik terpidanakannya korban kekerasan seksual;
- Perluasan tindak pidana kekerasan seksual di RUU PKS menjamin keamanan dan perlindungan terhadap perempuan yang selama ini diikuti dengan stigma negatif di berbagai sektor;
- Melalui RUU PKS, penghormatan terhadap perempuan dijunjung tinggi dalam upaya Kesetaraan Gender dan Hak Asasi Manusia.