Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan

A. Profil RUU

Nama RUU PERTANAHAN
Usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI)

KOMISI – Komisi II.

FRAKSI – Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.

FRAKSI – Fraksi Partai Amanat Nasional.

FRAKSI – Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.

FRAKSI – Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

DPD – Komite I.

Status Pembicaraan Tingkat II
Status Carry Over Potensial
Alat Kelengkapan Pembahas Komisi II
Pimpinan Komisi DPR Periode 2014-2019 Ketua Komisi : Zainuddin Amali (F-PG)

Wakil Ketua :

Ahmad Riza Patria (F-Gerindra)

Wahidin Halim (F-PD)

Mustafa Kamal (F-PKS)

Herman Khaeron (F-PD)

Jumlah Pasal 102 Pasal
Struktur Materi RUU Ø Hubungan Negara, Masyarakat Hukum Adat, dan Orang Dengan Tanah

Ø Hak Atas Tanah

Ø Reforma Agraria

Ø Pendaftaran Tanah

Ø Perolehan Tanah Untuk Kepentingan Umum dan Pengalihfungsian Tanah

Ø Penyediaan Tanah Untuk Keperluan Peribadatan dan Sosial

Ø Penyelesaian Sengketa

Ø Penataan, Pengendalian, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah

Ø Sanksi

Ø Ketentuan Pidana

Ø Ketentuan Peralihan

Link Dokumen Terkait RUU, Naskah Akademik dan dokumen pembahasan lainnya dapat dilihat pada link berikut:

 

http://www.dpr.go.id/prolegnas/index/id/5

 

 B. Riwayat RUU

RUU Pertanahan merupakan salah satu RUU yang ditunda pengesahannya berdasarkan Rapat Panitia Kerja Tingkat I. Alasan yang melatar belakangi penyusunan RUU Pertanahan untuk melengkapi dan menjabarkan hal-hal yang belum di atur dalam UU Pokok Agraria dan mempertegas penafsiran yang tidak jelas dan tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip-prinsip pokok agraria. Pembahasan RUU Pertanahan diwarnai dengan banyaknya Rapat yang bersifat tertutup. Kunjungan kerja dalam rangka pembahasan RUU ini diantaranya dilaksanakan di Universitas Padjadjaran, Universitas Udayana dan pertemuan dengan BPN se-Jawa Tengah. Ada 3 kali RDPU yang terdokumentasikan.

 C. Substansi dan Perdebatan

Isu-isu krusial dalam RUU diantaranya adalah:

 

  1. Dalam Naskah Akademik RUU Pertanahan, ada perluasan makna dalam Hak Menguasai Negara yang awalnya berdasarkan UU Pokok Agraria bermakna kewenangan melakukan penentuan, pengaturan dan penyelenggaraan diperluas menjadi kewenangan untuk membuat kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan.
  2. RUU ini menyoroti ketimpangan pemilikan tanah dan tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya. Tanah selama ini dijadikan komoditas sehingga berakibat pada kenaikan harga tanah dan ketimpangan dalam kepemilikan tanah. Ketimpangan dalam kepemilikan tanah berpengaruh pada ketimpangan sumberdaya ekonomi dan kemiskinan.
  3. RUU Pertanahan mengakomodir perkembangan kebutuhan masyarakat berupa hak atas penggunaan ruang di atas tanah dan/atau di bawah tanah.
  4. RUU Pertanahan mengatur perihal penghapusan hak atas tanah. Dalam Naskah Akademik disebutkan setiap tanah yang dihapus haknya dikembalikan kepada Negara. Hak-hak keperdataan atas tanah tersebut diselesaikan secara musyawarah. Ketentuan ini merupakan implikasi dari perluasan makna Hak Menguasai Negara dan berlanjut sebagai bagian dari Reforma Agraria.
  5. Implikasi lainnya dari Hak Menguasai Negara berupa komitmen dalam menjaga ketaatan pada Tata Ruang sehingga memunculkan larangan terhadap alih fungsi lahan yang bertentangan dengan Rencana Tata Ruang.
  6. Permasalahan konflik tanah yang terjadi selama ini memunculkan ide pembentukan pengadilan khusus land reform seperti yang dimunculkan pada tahun 1964. Memunculkan Pengadilan Tanah dianggap langkah efektif dalam proses pencapaian keadilan dan kepastian hukum atas kepemilikan tanah.
  7. Perluasan makna Hak Menguasai Negara juga berdampak pada adanya ketentuan bagi Negara untuk mengambil alih Tanah Terlantar dan menggunakannya untuk tujuan Reforma Agraria pada Pasal 40 dan Pasal 41 Draft RUU. Rencana ini merupakan bentuk “state capture” (pembajakan oleh negara) menjadikan Negara berdiri di atas semua kelompok dalam upaya mengelola tanah. Ini bertentangan dengan prinsip kepemilikan tanah.

 

Perdebatan yang muncul dalam pembahasan di DPR terkait RUU Pertanahan diantaranya:

  • RUU Pertanahan tidak mengakomodir Masyarakat Adat yang selama ini berkonflik dengan perusahaan karena pendudukan tanah adat secara sepihak. Kehadiran RUU ini malah memberikan ruang pengakuan berdasarkan peraturan perundang-undangan terhadap pemilik Hak Atas Tanah yang berasal dari Tanah Masyarakat Adat sebelum UU ini belaku. Dengan kata lain RUU ini merubah status klaim terhadap tanah adat secara sepihak dari status ilegal menjadi legal.
  • Negara memiliki kontrol terhadap Tanah yang terlantar dan Tanah Masyarakat yang apabila berdasarkan ketentuan tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang. Potensi dirugikannya masyarakat terbuka lebar apabila selama ini Negara belum mampu mengkomunikasikan secara maksimal Rencana Tata Ruangnya ke Masyarakat. Tanah yang terlantar dan/atau bermasalah berpeluang berpindah hak ke Negara dan Negara memiliki kewenangan untuk mengembangkan dan mengelola serta menyebarluaskan tanah tersebut untuk Reformasi Agraria.
  • Pengadilan Pertanahan yang disusun untuk tujuan memberikan solusi dalam mengurai konflik tanah yang sering terjadi di Masyarakat bertentangan dengan UU Lingkungan Hidup dalam hal status Hakim Ad hoc. Oleh karena itu, pembentukan Pengadilan Pertanahan dipertanyakan urgensi pembentukannya.
  • Satu hal yang harus menjadi konsen sebelum mengesahkan RUU ini adalah peninjauan kembali implementasi UUPA yang selama ini tidak konsisten dijalankan dan terkesan memotong jalur administrasi yang telah dibuat rigid selama ini.

 

D. Dampak apabilaRUU Disahkan

  • Perluasan Hak Menguasai Negara semakin menguatkan posisi Negara di atas berbagai kelompok. Apabila RUU ini disahkan maka akan membuka ruang bagi Negara atau lembaga terkait untuk menyalahgunakan kewenangannya tanpa ada sistem pengawasan dan transparansi yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan.
  • Masyarakat yang tidak mendapatkan informasi perihal Rencana Tata Ruang akan mudah menjadi sasaran atau korban dari tindakan penyerobotan tanah.
  • Tindakan “Pemutihan” atas pelanggaran pembukaan lahan di kawasan hutan dan/atau permasalahan masyarakat adat dengan perusahaan akan berpeluang tetap ada apabila pengaturan ini masih berupaya dibahas.
  • RUU ini berpeluang menjadi RUU yang sarat akan nuansa bisnis melihat dari keberpihakan pasal-pasal yang ada pada Draft RUU.