Tulang punggung kinerja parlemen terletak di Komisi. Ujung tombak pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran sepenuhnya ada di tangan Komisi. Semakin efektif komisi didesain, semakin efektif juga komisi bekerja.
Ketentuan UU MD3 menyebutkan Alat Kelengkapan DPR (AKD) terdiri dari pimpinan; Badan Musyawarah (Bamus), komisi, Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), panitia khusus (Pansus), dan alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. Alat Kelengkapan dibentuk paskapelantikan, kecuali pansus dan alat kelengkapan lain yang dibentuk oleh rapat paripurna dapat dibentuk di tengah masa kerja DPR. Masa pembentukan AKD seperti sekarang ini penting bagi DPR untuk memperhatikan aspek efektifitas kinerja.
Di antara AKD di atas, peluang DPR untuk mendesain ulang komisi masih terbuka lebar. UU MD3 mengatur tentang kewenangan dan tugas komisi. Sementara jumlah komisi dan pengisian keanggotaan masih menjadi wilayah yang dapat disepakati oleh fraksi-fraksi di DPR. Indonesian Parliamentary Center (IPC) mengusulkan penambahan jumlah komisi dan pengurangan mitra kerja per komisi. Penambahan jumlah komisi akan meningkatkan efektifitas, partisipasi, transparansi dan akuntabiltas DPR dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Proporsionalitas Kerja Komisi Terbangun
Efektifitas kinerja Komisi dapat diujur dari dari output kinerja oleh Komisi sendiri, baik pada pelaksanaan fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi penganggaran. Semakin efektif kinerja Komisi, produktifitas kinerja juga semakin tinggi. Pemantauan IPC terhadap kinerja legislasi Komisi di DPR menunjukkan masih terdapat disparitas antara capaian kinerja dibanding target yang disusun di prolegnas. Secara horisontal juga terdapat disparitas antara satu Komisi dengan Komisi lainnya.
Tabel 1. Program Legislasi per Komisi di DPR RI 2014-2019
Komisi | RUU Prioritas | Realisasi | RUU Kumulatif | Realisasi |
Komisi I |
17 |
2 |
23 |
23 |
Komisi II |
19 |
3 |
1 |
6 |
Komisi III |
31 |
2 |
3 |
4 |
Komisi IV |
13 |
1 |
– |
– |
Komisi V |
8 |
3 |
1 |
– |
Komisi VI |
7 |
– |
1 |
1 |
Komisi VII |
9 |
– |
– |
2 |
Komisi VIII |
11 |
2 |
– |
1 |
Komisi IX |
15 |
4 |
– |
3 |
Komisi X |
12 |
4 |
– |
|
Komisi XI |
29 |
4 |
2 |
1 |
171 |
25 |
31 |
41* |
Sumber Data: www.dpr.go.id, diolah IPC
*Catatan: jumlah tersebut belum ditambahkan dengan RUU Kumulatif yang dibahas oleh Badan Anggaran dengan jumlah 12 UU APBN, R-APBN, dan Pertanggungjawaban APBN.
Berdasarkan data di atas dapat kita lihat komparasi tingkat produktifitas kinerja Komisi dalam melaksanakan fungsi legislasi. Fungsi legislasi merupakan fungsi dengan tahapan dan prosedurnya cukup jelas dari mulai pengusulan hingga pengesahan dengan pembagian kerja per Komisi dan diagendakan perencanaannya setiap tahun. Ini tentu berbeda dengan fungsi pengawasan yang tidak tidak diatur mekanisme perencanaannya. Fungsi legislasi juga berbeda dengan fungsi anggaran dimana peran DPR dalam fungsi ini DPR berperan dalam pembahasan dan memberikan persetujuan.
Efektifitas kerja Komisi juga dipengaruhi oleh jumlah mitra komisi dan jumlah waktu kerja yang disediakan. Pengaturan proporsi mitra kerja antar komisi juga proporsi pelaksanaan fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi penganggaran keduanya saling mempengaruhi. Mengingat waktu dan sumberdaya yang disediakan terbatas. Proporsi yang tepat akan meningkatkan produktifitas komisi.
Tabel 2. Mitra Kerja Komisi di DPR RI
Komisi | Jumlah Mitra Kerja |
1 | 15 |
2 | 16 |
3 | 14 |
4 | 6 |
5 | 6 |
6 | 11 |
7 | 15 |
8 | 8 |
9 | 7 |
10 | 6 |
11 | 12 |
Dari data di atas dapat dilihat bahwa ada ketimpangan jumlah mitra kerja di antara Komisi. Ini tentu berpengaruh terhadap produktifitas kerja Komisi. Jika kita komparasikan jumlah mitra kerja per komisi dengan tingkat produktifitas legislasi, maka kita bisa memahami bahwa Komisi VI dan Komisi VII adalah dua komisi dengan urutan produktifitas legislasi yang rendah dibandingkan dengan Komisi lainnya karena jumlah mitra kerjanya yang cukup tinggi.
Artinya, dengan demikian DPR RI perlu menimbang ulang proporsi dalam pembentukan Komisi- komisi di DPR, baik proporosi dalam jumlah mitra kerja maupun proporsi alokasi waktu untuk fungsi legislasi dan pengawasan. Untuk mencapai proporsi kerja yang tepat, salah satu solusinya berupa penambahan jumlah Komisi dengan mitra kerja yang lebih sedikit.
Penambahan jumlah Komisi bukanlah hal yang tabu di negara-negara demokrasi. Misalnya, Parlemen Jerman, Budestag pada periode kedelapan belas -2013 s/d 2017, telah menetapkan 23 Komisi dengan bidang-bidang yang sangat spesifik, misalnya: komisi bidang agenda digital, komisi bidang kesehatan dan komisi bidang makanan dan pertanian. Sementara proporsi pimpinan komisi secara seimbang di antara partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen. Tentu, jumlah Anggota Komisi jumlahnya lebih sedikit antara 14 s.d 39 Anggota.
Oleh karena itu, penambahan jumlah komisi di DPR dengan proporsi keanggotaan menjadi penting untuk meningkatkan efektifitas kinerja parlemen. Karena komisi dengan jumlah anggota sedikit, mitra kerja yang terbatas, dapat meningkatkan keahlian dan fokus dari pada Anggota Komisi.
2. Meningkatkan Kualitas Check and Balances dan Kontrol Fraksi terhadap Utusannya di Komisi.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa penambahan jumlah komisi dengan pengurangan jumlah mitra kerja akan membantu Anggota DPR untuk meningkatkan fokus pada bidang kerja, meningkatkan keahlian, dan memiliki proporsi waktu kerja yang untuk pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran. Ini membantu DPR dalam meningkatkan daya tawar di depan pemerintah.
Bidang dan mitra kerja yang terbatas memberikan peluang untuk meningkatkan intensi interaksi antara Anggota Komisi dengan mitra kerja. Dorongan untuk menguasai bidang kerja dan bidang ilmu di dalam komisi akan memberikan rangsangan bagi Anggota Komisi untuk lebih aktif, meningkatkan detail pembahasan, dan meningkatkan daya tawar Komisi di hadapan mitra kerja dari pemerintah. Di sisi lain, fraksi juga akan semakin mudah untuk mengontrol tingkat keaktifan para anggota fraksi di Komisi-komisi karena jumlah utusan fraksi di komisi berkurang. Demikian halnya, publik juga mudah untuk melihat dan memantau aksi para anggota DPR mereka di Komisi-komisi.
Fraksi bertugas mengkoordinasikan kegiatan anggotanya demi mengoptimalkan efektivitas dan efisiensi kerja Anggota Dewan. Selama ini belum ada mekanisme baku bagi Fraksi untuk optimalisasi dan efisiensi kerja Anggota Dewan. Masing-masing fraksi memiliki garis kebijakan sendiri-sendiri. Penambahan jumlah komisi dengan demikian akan memberikan peluang kontrol kepada fraksi terhadap para Anggotanya, terutama fraksi-fraksi dengan jumlah Anggota yang cukup banyak, seperti PDIP dan Gerindera. Dengan penambahan jumlah Komisi, proporsi jumlah Anggota dari kedua fraksi tersebut tentu berkurang. Dorongan untuk aktif berbicara dan menyampaikan aspirasi partai dan konstituen oleh utusan Fraksi di satu komisi tidak bisa dihindari.
3. Meningkatkan Transparansi, Partisipasi dan Akuntabilitas Publik
Keberadaan Komisi yang semakin mengecil secara prinsip akan mengurangi isu dan produk dari Komisi itu sendiri. Jika satu Komisi dengan lima bidang kerja, misalnya, menghasilkan output kerja legislasi, pengawasan dan penganggaran untuk tiga bidang kerja, maka dengan mengkerucutkan satu bidang kerja, maka output kerja berkurang. Konsekuensinya ada peningkatan proporsi waktu untuk memberikan ruang partisipasi publik, baik atas usulan publik atau atas permintaan Komisi. Kedalaman dan perluasan partisipasi dapat dicapai karena banyaknya waktu luang dan menyempitnya fokus isu.
Konsekuensi secara administratif, penambahan jumlah Komisi juga memudahkan bagi kesekretariatan DPR untuk mempersiapkan, mendokumentasikan dan mempublikasikan informasi secara lebih baik. Laporan kinerja DPR juga lebih mudah dibuat. Hal ini terjadi karena semakin sedikit bidang yang diurusi oleh sekretariat DPR. Dalam konteks akses informasi, semakin sedikit bidang urusan kerja Komisi, maka penerapan prinsip kemudahan, kecepatan dan ketepatan dalam memberikan informasi dapat dipenuhi.
Bagi kelompok ahli di parlemen (Tenaga Ahli, Staf Ahli, dan Peneliti), penyempitan bidang kerja membantu mereka untuk memperkuat pendalaman isu dan mengkorelasikannya dengan kepentingan publik.