Ditulis oleh: Heriyono A. Anggoro, Tenaga Ahli Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR RI

Perkembangan konsep e-Parliament

Penggunaan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) telah menjadi tren untuk mengembangkan demokrasi di ruang-ruang siber sekaligus mendorong peningkatan, efektivitas dan efisiensi layanan lembaga negara, termasuk parlemen. TIK lantas menjadi hal yang esensial dalam mendukung kerja-kerja lembaga legislasi. Parlemen sebagai lembaga demokrasi idealnya dapat memanfaatkan semaksimal mungkin potensi TIK agar ia dapat menjadi lembaga yang lebih representatif, transparan, akuntabel, dan dapat diakses oleh siapapun dan kapanpun.

Konsep penggunaan TIK untuk meningkatkan kerja-kerja parlemen dapat diartikan secara sederhana sebagai e-Parliament sebagaimana diurai The World Bank Institute. E-Parliament memperkuat demokrasi parlementer dengan meningkatkan efisiensi, efektivitas dan kerja parlemen itu sendiri.[1]

The European Centre for Parliamentary Research and Documentation (ECPRD), salah satu pihak yang mengembangkan konsep e-Parliament, mengurainya menjadi hal yang bersifat teknis. Dalam beberapa presentasi pada pertemuan Kelompok Kerja TIK mereka, parlemen yang tergabung dalam ECPRD sebagian besar mengasumsikan e-Parliament dalam kerangka ketersediaan infrastruktur Informasi Teknologi (IT) dan penggunaannya untuk mempermudah kerja-kerja parlemen.[2]

Hal tersebut tidaklah salah, karena memang kehadiran perangkat dan inovasi TIK menjadi salah satu penentu e-Parliament. Meskipun, penggunaan TIK di parlemen bukanlah hal baru. Ia telah mendukung efektivitas sejumlah pekerjaan administratif seperti pembayaran gaji dan penyimpanan informasi kepegawaian sejak lama. Komputer bermanfaat untuk mencetak dokumen sehingga publikasi dan penyebaran rancangan undang-undang (RUU), agenda, risalah rapat dan dokumen resmi lainnya menjadi lebih cepat dan efisien. Komputer dengan sistem operasi yang dapat melakukan beragam tugas (multitask) pada akhir tahun 1970-an mendorong manajemen informasi lebih baik seperti pengambilan dan penayangan secara terbatas catatan singkat untuk melacak RUU.[3]

Perkembangan cepat internet dan web menjadi bagian paling penting dalam penerapan e-Parliament dewasa ini. Internet dan web menjadi temuan yang sangat mendasar agar penggunaan TIK dapat berdampak fundamental terhadap kerja-kerja parlemen yang memerlukan kecepatan tinggi, komunikasi yang lancar dan kemampuan komputasi yang menyediakan akses bagi masyarakat, informasi dan ide.[4]

Beberapa perkembangan penggunaan TIK dapat dilihat, khususnya yang berkaitan dengan data dan informasi. Parlemen Kanada pada 1994 mengembangkan jaringan bernama Office Automation Systems and Information Services (OASIS) Network, yang memungkinkan anggotanya memiliki akses ke siaran sidang parlemen dan tayangan rapat komisi, saluran audio rapat parlemen, meminta rekaman video tertentu dan audio rapat komisi.[5] OASIS Network merupakan seperangkat teknologi automasi yang dapat digunakan oleh para anggota parlemen (kedua kamar), staf dan juga Perpustakaan Parlemen. OASIS merupakan sistem suara, video dan data terintegrasi.[6]

Parlemen Inggris memiliki Parliamentary Data and Video Network (PDVN) yang inisiatif diskusinya sudah dimulai jauh pada 1983 ketika Komite Khusus untuk Layanan Komputer House of Commons (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) Inggris membuat survei terkait kebutuhan TIK anggota parlemen. Hasil survei dan laporannya didiskusikan pada 1984 tapi tidak ada langkah lanjutan. Langkah signifikan baru dimulai ketika PDVN diperkenalkan tahun 1994 dengan sambungan pada internet dan intranet. Layanan PDVN akhirnya terintegrasi kepada sejumlah hal seperti penyediaan surat elektronik dan faksimili, serta akses ke Parliamentary On-Line Information System (POLIS), yang merupakan pusat data dengan lebih dari sejuta nama dan topik terindeks. PDVN kemudian menjadi sumber utama anggota terutama sebagai perangkat penelitian.[7]

Sementara di Amerika Serikat (AS), yang dianggap sebagai pionir pengembangan teknologi, proses pengenalan automasi kerja Kongres melalui TIK dapat dilacak sejak mulainya penggunaan voting elektronik (e-voting) di DPR AS pada tahun 1973.[8] Meskipun, pembahasan mengenai voting elektronik bermula pada 1848 ketika beberapa anggota DPR AS mengajukan petisi untuk voting elektronik. Thomas Alfa Edison pun pernah mempresentasikan mesin voting telegrafis ke DPR AS pada 1864. Namun, usulan ditolak dengan dalih mesin tersebut akan mendorong proses legislasi terlalu cepat dan menghambat hak-hak prosedural partai minoritas.[9]

Pada awal 1980-an, penggunaan surat elektronik (surel) mulai dipergunakan secara internal di DPR AS. Surel untuk komunikasi eksternal mulai diperkenalkan pertengahan 1990-an. Dengan munculnya internet, DPR dan Senat AS mulai memperkenalkan web mereka pada akhir 1994.[10] The Library of Congress (LOC) memperkenalkan web untuk melacak legislasi di Kongres AS pada tahun 1995 dengan nama THOMAS, label sistem yang didedikasikan untuk Thomas Jefferson. THOMAS merupakan inisiatif bipartisan dari para fraksi di Kongres. THOMAS, per Juli 2016, berganti rupa menjadi congress.gov karena kapasitas teknisnya sudah tidak mampu mengikuti perkembangan dan tuntutan kebutuhan informasi masa kini. Congress.gov meluncur beta sejak September 2012 dengan penerapan desain dan infrastruktur yang lebih modern hingga seperangkat data legislatif yang luar biasa dengan akses ramah seluler, pencarian bertahap dan fitur-fitur lainnya.[11]

Dari perkembangan waktu penggunaan TIK di beberapa parlemen di atas, terlihat bagaimana fungsi TIK mengubah beragam mekanisme kerja parlemen dengan tidak hanya mengembangkan e-Parliament untuk kepentingan internal tetapi juga eksternal. E-Parliament tidak lagi dipahami secara sederhana sebagai penggunaan TIK dalam kerja-kerja parlemen semata, atau, secara teknis mengenai kebutuhan infrastruktur IT semata.

Penggunaan TIK dalam konteks interaksi publik-parlemen (anggota parlemen, staf dan sistem pendukung) harus dipahami untuk tujuan lebih luas yakni memberdayakan parlemen sekaligus mendorong menciptakan masyarakat yang lebih melek informasi, sadar akan hak-haknya dan kritis terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk pemahaman lebih mendalam konsep e-Parliament, perlu pula memperbandingkannya dengan konsep e-Government. Secara umum, e-Government didedifinisikan sebagai penggunaan internet dan waring wena wanua (world wide web/www) untuk penyediaan informasi pemerintah dan layanan ke publik.[12] Dalam skema nasional, e-Government dikenal sebagai Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yakni penyelenggaraan pemerintahan yang memanfaatkan TIK untuk memberikan layanan kepada pengguna SPBE.[13]

Dengan memperhatikan fungsi dan peran parlemen yang berbeda dengan pemerintah, maka konsep e-Parliament dapat diperdalam pada konteks penggunaan TIK untuk mendukung fungsi parlemen dan dalam penyediaan layanan informasi keparlemenan yang dibutuhkan publik serta kontribusinya dalam demokrasi.

TIK membuka kesempatan bagi tidak hanya parlemen, tetapi publik untuk dapat berinteraksi secara rutin dan efisien kepada para wakil mereka. Publik pun memiliki waktu dan kesempatan yang lebih efisien dan efektif dalam menyampaikan keluhan dan aspirasi bahkan berpartisipasi pada proses legislasi, penganggaran maupun pengawasan. Adalah keniscayaan apabila parlemen mendengar publik dalam rangka menyalurkan perspektif-perspektif konstituen dan ideologi politiknya karena bagian dari parlemen tidak hanya berbicara tetapi juga menjadi representasi kelompoknya.

UNDP menekankan tujuan penggunaan TIK di lembaga legislatif sebagai upaya meningkatkan dan memperkuat fungsi dan pekerjaan utama parlemen yang pada akhirnya, mengarah kepada keterlibatan parlemen dalam mendorong tata kelola yang demokratis. Ini terutama dalam hal berkaitan dengan penggunaan TIK untuk berjejaring dengan konstituen dan juga untuk meningkatkan akses ke jejaring pengetahuan antaranggota parlemen lokal, regional dan global.[14]

Sementara konsep lebih detail mengenai e-Parliament, diurai melalui World e-Parliament 2008, sebuah publikasi pertama dari rangkaian seri laporan terkait penggunaan TIK di parlemen yang disiapkan Inter-Parliamentary Union (IPU) dan PBB. Dalam laporan tersebut, konsep e-parliament adalah sebagai berikut:

a legislature that is empowered to be more transparent, accessible and accountable through ICT. It empowers people, in all their diversity, to be more engaged in public life by providing higher quality information and greater access to its parliamentary documents and activities. It is an organization where connected stakeholders use information and communication technologies to support its primary functions of representation, law-making and oversight more effectively. Through the application of modern technology and standards and the adoption of supportive policies, it fosters the development of an equitable and inclusive information society.”

(Lembaga legislatif yang semakin kuat untuk menjadi lembaga yang lebih transparan, aksesibel dan akuntabel melalui TIK. Ia memberdayakan rakyat, dengan segala keragamannya, untuk lebih terlibat dalam kehidupan publik dengan menyediakan informasi lebih berkualitas dan akses lebih luas terhadap dokumen-dokumen dan aktivitas parlemen. Ia merupakan pengaturan bagi pemangku kepentingan yang terhubung, menggunakan TIK untuk mendukung fungsi utama representasi, legislasi dan pengawasan dengan lebih efektif. Melalui penggunaan teknologi dan standar modern dan pemberlakuan kebijakan yang mendukung, ia membantu pembentukan masyarakat informasi yang adil dan inklusif).[15]

Salah kaprah TIK di e-Parliament

Konsep e-Parliament di atas menempatkan TIK sebagai medium utama proses transformasi di parlemen dan digitalisasi baik dalam informasi maupun interaksi antara publik dengan parlemen. Parlemen kerapkali dianggap mulai dan telah menerapkan e-Parliament ketika digitalisasi di lembaga legislatif terjadi. Sementara di satu sisi, belum dapat diketahui pasti dampak dari berbagai inovasi teknologi atau digitalisasi yang dilakukan terhadap interaksi antara parlemen dan publik. Apakah benar publik menjadi lebih terlibat misalnya, atau publik menjadi lebih teredukasi akan situasi di parlemen, atau ada hasil dari inovasi TIK terhadap hasil kerja lembaga legislatif adalah  bagian dari pertanyaan lanjutan yang harus didalami.

Pendekatan digitalisasi per se untuk e-Parliament tanpa skema peningkatan pola tata kelola yang baik (partisipatif, inklusivitas, transparansi, akuntabilitas dan lain sebagainya) berpotensi menjadi buah simalakama bagi parlemen. Terlebih apabila digitalisasi hanya dianggap sebagai sekadar syarat parlemen telah merambah dunia maya, bukan sebagai bagian dari proses memadai untuk pengambilan kebijakan yang dilakukan dalam melaksanakan tugas-tugas parlemen. Apabila masyarakat yang meyakini e-Parliament (baca: digitalisasi) hadir di ruang tersebut dan merasa yakin dapat memberi perubahan sementara hal tersebut bukan merupakan tujuan yang diharapkan oleh para pengambil kebijakan, kepercayaan publik berpotensi merosot dari titik sebelumnya.[16]

Studi lain bahkan menunjukkan potensi munculnya ragam klaster prioritas dan pendapat dalam diskusi maya yang menyulitkan pengambil kebijakan untuk secara efektif mengintegrasikannya ke dalam proses pengambilan kebijakan.[17]

Itu sebabnya komunitas parlemen dunia melalui IPU pada 2017 melakukan proses peninjauan kembali definisi e-Parliament yang mereka rumuskan pada 2008. Ini terjadi karena memang asumsi huruf “e” dalam e-Parliament kerapkali mengarah kepada transformasi elektronik (atau digitalisasi) dari proses bisnis yang ada. Hasilnya, penekanan akan selalu muncul dari sisi teknis dan digital dari konsep tersebut. Sementara idealnya konsep e-Parliament harus berada dalam konteks yang lebih luas dengan cakupan (i) fungsi utama parlemen yakni representasi, pengawasan dan legislasi; (ii) parlemen bertujuan untuk menerapkan praktik parlemen yang demokratis sesuai Panduan IPU tentang Parlemen dan Demokrasi di Abad 21, yakni yang representatif, terbuka dan transparan, aksesibel kepada rakyat dan akuntabel kepada mereka, dan efektif dalam legislasi dan pengawasan. [18]

Dengan demikian pengertian e-Parliament kemudian berkembang dan untuk kepentingan penulisan konsep kebijakan ini menggunakan referensi terakhir dari IPU yakni sebagai inisiatif yang menempatkan teknologi, pengetahuan dan standar pada inti proses bisnis parlemen dan meliputi nilai-nilai kolaborasi, inklusivitas, partisipasi dan keterbukaan kepada masyarakat.[19]

 Lingkup e-Parliament

Urgensi e-Parliament sejatinya sudah tidak lagi menjadi pertanyaan pada masa-masa seperti saat ini. Faktualnya, parlemen telah, dari waktu ke waktu beradaptasi dengan berbagai inovasi teknologi dan digital untuk menjalankan fungsi-fungsi mereka. Survei IPU 2018 menunjukkan 92% anggota parlemen (responden) menggunakan TIK dalam kerja-kerja mereka. 94% mampu mempublikasikan informasi dan konten ke platform sosial media. Perkembangan publikasi informasi dan dokumen di web parlemen juga mengalami peningkatan dari 49% (2012) menjadi 73% (2018). Sementara kemampuan mengelola dokumen/kemampuan menyebarluaskan informasi dan dokumen juga berkembang menjadi 66% (2018) dari 28% (2012). Perkembangan serupa dalam penggunaan TIK juga tampak pada dokumen dalam jaringan (daring) yang dipublikasikan dengan cara yang lebih mudah diakses dari 23% (2012) menjadi 56% (2018).[20]

E-Parliament adalah keniscayaan mengingat semakin lekatnya penggunaan teknologi untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Namun dalam konteks implementasinya, parlemen tetap harus mempertimbangkan kesesuaian dan efektivitas antara tata kelola yang baik dengan fungsi-fungsi utama parlemen.

Patut pula digarisbawahi perlunya e-Parliament mengacu pada visi jauh ke depan, yakni:

  • Konsep e-Parliament bukan tentang TIK/digitalisasi per se tetapi lebih kepada bagaimana TIK (secara luas) dapat bermanfaat sebagai perangkat transformatif. Artinya definisi e-Parliament harus beralih dari pertimbangan teknis dan lebih fokus kepada visi, nilai, strategi, proses dan model kerja parlemen.
  • e-Parliament mengubah proses maupun hubungan baik di dalam parlemen dan dengan aktor luar. Perlu dipahami banyak dari agenda perubahan di parlemen didorong oleh perubahan sosial yang lebih luas dan khususnya, tuntutan lebih tinggi untuk keterbukaan, transparansi dan akuntabilitas. Dampak dari tuntutan sipil dalam berbagai hal selalu lebih besar daripada teknologi.
  • Model tata kelola yang kuat. E-Parliament perlu mempertimbangkan keberadaan pemangku kepentingan eksternal sebagai upaya menyesuaikan platform teknologi yang diambil agar sejalan dengan ekspektasi publik dan kebutuhan kerja parlemen. Parlemen didorong untuk menghasilkan data yang terbuka tetapi juga harus menjangkau lebih jauh dan mempertimbangkan bagaimana data tersebut disajikan, digunakan dan dapat digunakan (dan digunakan kembali).[21]

E-Parliament akan berdampak signifikan pada tiga hal utama. Dan tentunya, ini berujung pada proses transformatif yang mengubah secara fundamental hubungan antara rakyat dengan negara. Ketiga hal itu yakni (i) meningkatnya efisiensi administrasi; (ii) membaiknya akses dan penyebarluasan informasi; (iii) bertambahnya interaksi dengan masyarakat.[22]

Ketiga hal utama tersebut dipadu dengan menguatnya hasil kerja Parlemen yang berbasis pada nilai-nilai kolaborasi, inklusivitas, partisipasi dan keterbukaan pada masyarakat serta teknologi dan pengetahuan dapat menjadi parameter ukuran akan keberhasilan penerapan e-Parliament di lembaga legislatif.

Untuk menunjang penerapan e-Parliament, IPU mendorong pengembangan empat komponen utama, yakni:

  • Manusia, yakni pengguna dan penerima manfaat e-Parliament;
  • Proses, mencakup fungsi dasar parlemen atau demokratis yang akan ditransformasi atau didukung;
  • Arsitektur, berupa infrastruktur, perangkat keras dan lunak yang dibutuhkan untuk mempercepat transformasi;
  • Data yakni informasi dan dokumen yang dibuat, disimpan, dikirim dan dibagikan.

Dari pengembangan komponen utama tersebut, hasil akhir dari layanan e-Parliament dapat terwujud ke dalam beberapa bagian. Patut digarisbawahi esensi e-Parliament adalah pada layanan yang tersedia, bukan pada perangkat yang digunakan.

  • Layanan antarparlemen (parliament to parliament services) merujuk pada penggunaan teknologi yang dapat memfasilitasi pertukaran informasi antarparlemen;
  • Layanan parlemen ke anggota parlemen (parliament to members of parliament services) merujuk pada layanan TIK yang dapat digunakan untuk memfasilitasi kerja anggota parlemen seperti telepon seluler, akses kepada data parlemen baik di kantor maupun di luar kantor;
  • Layanan masyarakat ke parlemen (citizen to parliament services) merujuk pada layanan (dapat dari luar parlemen) yang tersedia bagi masyarakat untuk berkomunikasi dengan wakil mereka;
  • Layanan parlemen ke masyarakat (parliament to citizen services) merujuk pada layanan yang disiapkan parlemen untuk menarik minat dan partisipasi masyarakat dalam proses parlemen;
  • Layanan parlemen ke media (parliament to media services) merujuk pada layanan yang disiapkan untuk memudahkan jurnalis mengakses informasi bermanfaat dari parlemen seperti program, kegiatan, hingga uraian-uraian tertentu.[23]

Komparasi e-Parliament

Untuk memberikan gambaran jelas akan konsep e-Parliament, sejumlah praktik cerdas berikut menggambarkan bagaimana penerapan teknologi dan pengetahuan mendukung tercapainya tata kelola yang mendukung tugas-tugas pokok lembaga legislatif. Pilihan praktik cerdas di bawah ini tidak selalu menunjukkan penggunaan TIK dalam e-Parliament. Sejalan dengan referensi terakhir IPU dalam World e-Parliament 2018.

UK Parliament Evidence Checks

Komite Khusus Parlemen UK (House of Commons/DPR) memiliki sebuah forum diskusi web yang berguna sebagai platform memeriksa bukti (evidence checks) dengan mengundang masyarakat menyampaikan bukti untuk meneliti kebijakan pemerintah dalam lingkup spesifik. Sejumlah Komite Khusus di DPR Inggris seperti Pendidikan, Kesehatan hingga Perempuan dan Kesetaraan (disebutnya Cek Fakta) memiliki platform serupa. Tantangan dalam hal ini adalah tingkat keterlibatan yang kadang minim atau bila diumumkan terlalu masif justru berdampak pada derasnya kontribusi/masukan tanpa kualitas memadai. Kendati demikian, platform tersebut dapat bekerja maksimal untuk isu kebijakan penting dan bila komite memberi pengaturan jelas mengenai ketentuan debat, ketentuan khusus, definisi hingga statistik ketika mengumumkan keperluan platform tersebut via sosial media.[24]

Edemocracia dan LabHacker, DPR Brazil

Portal e-Democracia adalah portal crowdsourcing untuk legislasi yang disiapkan DPR Brazil sejak 2009. Portal tersebut bertujuan untuk mendorong proses legislasi lebih transparan, meningkatkan pemahaman masyarakat akan proses legislatif dan meningkatkan aksesibilitas dan interaksi Parlemen Brazil. Portal tersebut meliputi komunitas virtual, diskusi web untuk topik khusus dan juga Wikilegis, perangkat yang memungkinkan publik langsung berkomentar atau memberi masukan langsung untuk rancangan undang-undang. Dengan platform tersebut, 30% bagian dari UU Pemuda adalah produk dari masukan publik. Segala eksperimen di portal tersebut dilakukan oleh laboratorium inovasi yang diberi nama LabHacker yang berisi staf dan kalangan masyarakat sipil di bidang teknologi informasi.[25]

Paperless Estonia Parliament

Estonia merupakan salah satu negara yang paling unggul dalam penerapan teknologi. Pada tahun 2000 Estonia memutuskan untuk tidak lagi menggunakan sistem dokumen berbasis kertas. Estonia mengarah ke paperless dengan program sebutan e-cabinet. Para politisi dapat masuk ke platform melalui e-ID di laptop ataupun telepon seluler mereka. Dari aplikasi tersebut mereka dapat melihat agenda persidangan dan memutuskan topik pendahuluan sebelum pertemuan fisik. Berkurangnya kertas tidak hanya berpengaruh pada turunnya konsumsi kertas, tetapi juga pada berkurangnya waktu persidangan parlemen. Dengan demikian, persidangan parlemen yang biasanya berlangsung empat jam dapat selesai dalam rata-rata 30 menit.[26]

Satuan Tugas Data Skala Besar Parlemen AS (US House Bulk Data Task Force)

Sejak 2011 Parlemen AS menetapkan dokumen elektronik harus tersedia untuk publik. Proses tersebut dapat dilakukan dengan pengunduhan data dalam skala besar (bulk data) yang terdiri dari data legislatif, voting, rancangan undang-undang (RUU) beragam tahapan dan lainnya. Satuan Tugas (Satgas) Data Skala Besar dibentuk untuk meningkatkan jumlah data yang tersedia dalam format dan struktur yang mudah digunakan kembali, mengatur informasi legislasi agar dapat mudah ditemukan, tersedia dan dapat diunduh. Satuan Tugas tersebut terdiri dari berbagai pihak terkait, anggota parlemen dan juga kepemimpinan di parlemen di kedua kamar.[27] Satgas tersebut merupakan perwujudan dari kuatnya komitmen kelembagaan terkait e-Parliament.

==================================================================================================

[1] Tess Kingham, e-Parliaments The use of Information and Communication Technology to Improve Parliamentary Process, World Bank Institute Working Papers (Washington: World Bank, 2003), PDF E Publication. 17.

[2] Lihat lebih lanjut dalam presentasi peserta pada ECPRD ICT Working Group Meeting, Siprus, 2003 dengan tema pertemuan “Technology in support of the parliamentary process, developing a technical concept for e-parliament.” http://www2.parliament.cy/parliamenteng/006_05_03.htm

[3] Jeffrey C Griffith, ICT In Parliaments, Current Practices, Future Possibilities, Global Centre for ICT in Parliament, Discussion Paper for the World e-Parliament Conference 2007. 6. http://archive.ipu.org/splz-e/e-parliament07/paper1.pdf

[4] Ibid.

[5] UK Parliament, Visits Undertaken in Connection with the Inquiry. https://publications.parliament.uk/pa/cm199900/cmselect/cmbroad/642/64213.htm

[6] Audrey O’Brien dan Robert Desramaux, “The Canadian Parliament’s Automated Information Systems,” abstract, Government Information Quarterly Volume 8, Issue 3 (1991): 309. https://doi.org/10.1016/0740-624X(91)90066-H.

[7] Stephen Coleman, “Westminster in the Information Age,” Journal of Parliamentary Affairs, Volume 52, Issue 3 (1999). 375. https://doi.org/10.1093/pa/52.3.371

[8] “Electronic Technology in the House of Representatives.” www.history.house.gov, diakses pada 26 Agustus 2020, https://history.house.gov/Exhibitions-and-Publications/Electronic-Technology/House-Technology/

[9] “Electronic Voting.” www.history.house.gov, diakses pada 26 Agustus 2020, https://history.house.gov/Exhibitions-and-Publications/Electronic-Technology/Electronic-Voting/

[10] “Email me: Congress and the Internet.” www.history.house.gov, diakses pada 26 Agustus 2020, https://history.house.gov/Exhibitions-and-Publications/Electronic-Technology/Internet/

[11] “THOMAS.gov to retire July 5.” www.loc.gov, diakses pada 26 Agustus 2020, https://www.loc.gov/item/prn-16-004/thomas-gov-to-retire-july-5/2016-04-28/

[12]Stephen A Ronagan, “Benchmarking E-Government: A Global Perspective, Assessing the Progress of the UN Member States.” (New York: UN DESA and American Society for Public Administration, 2002). Diakses 26 Agustus 2020. https://publicadministration.un.org/egovkb/Portals/egovkb/Documents/un/English.pdf

[13] Lihat Perpres No 95 Tahun 2018 tentang SPBE.

[14] Henrik Olesen, Raul Zambrano and Valentina Azzarelly, “Empowering Parliaments through the use of ICT.” (UNDP, 2006), PDF E Publication. 6.

[15] Jefrrey Griffith, Jane Bortnick Griffith and Gherardo Cassini, “World e-Parliament Report 2008.” (UN, IPU, Global Centre for ICT in Parliament, 2008), PDF E Publication. 12.

[16] Thomas A Bryer. “The Costs of Democratization: Social Media Adaptation Challenges Within Government Agencies.” Administrative Theory & Praxis 33, no. 3 (2011): 341-61. Accessed August 28, 2020. http://www.jstor.org/stable/41427129

[17] Christie Hurrell. “Shaping Policy Discourse in the Public Sphere: Evaluating Civil Speech in an Online Consultation.” The Electronic Journal of e-Government Volume 3 Issue 2 (2005). 67-76. http://ejeg.com/volume3/issue2/p63

[18] Andy Williamson. “World e-Parliament Report 2018.” (IPU, 2018). E Publication. 18-19.

[19] Ibid.

[20] Ibid. 44.

[21] Ibid.

[22] Roumeen Islam, kata pengantar pada e-Parliaments The use of Information and Communication Technology to Improve Parliamentary Process, World Bank Institute Working Papers (Washington: World Bank, 2003), PDF E Publication. 1.

[23] Aspasia Papaloi dan Dimitri Gouscos. “E-Parliament and Novel Parliament-to-Citizen Services.” eJournal of e Democracy and Open Government, Volume 3 No 1 (2011): 80-98. Diakses pada 28 Agustus 2020. https://doi.org/10.29379/jedem.v3i1.53

[24] “UK Parliament Evidence Checks,” Tom Shane, UK Parliament, diakses pada 29 Agustus 2020, https://www.nesta.org.uk/feature/six-pioneers-digital-democracy/uk-parliament-evidence-checks/

[25] “The Brazilian Chamber of Deputies’ LabHacker and eDemocracia,” diakses pada 29 Agusstus 2020, https://www.nesta.org.uk/feature/six-pioneers-digital-democracy/the-brazilian-chamber-of-deputies-labhacker-and-edemocracia/

[26] “Enter e-Estonia: e-governance.” www.e-estonia.com, diakses pada 29 Agustus 2020. https://e-estonia.com/enter-e-governance/

[27] Robert Reeves, “Access to the Law and Legislative Document” (presentation, World e-Parliament Conference 2014, Republic of Korea, 2014).