Di tengah gejala hyper regulation, ada potensi penyakit turunan yang menyertainya, yaitu ketidaktepatan materi muatan undang-undang (UU), keharmonisan antar UU, keharmonisan antara UU dengan peraturan per-UU-an lain, pemenuhan aspirasi publik, dan relevansi antara UU dengan persoalan yang ingin diselesaikan (manfaat). Hal seperti ini, antara lain ditemukan oleh Tim Ahli Menteri Negara Lingkungan Hidup (Maria S Sumardjono, Nurhasan Ismail, Ernan Ristiadi, Abdullah Aman), yang menyatakan ada 12 UU di sektor lingkungan hidup yang saling tumpang tindih dan tidak konsisten satu dengan yang lainnya.[1]
Khusus di sektor energi, Kementerian Hukum dan HAM dalam Laporan Akhir Kelompok Kerjaan Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Kedaulatan Energi. Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Tahun 2016, juga menemukan sejumlah masalah.
Tabel 1: Masalah-Masalah pada UU di Sektor Energi
NO | UU | MASALAH |
1 | UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi | Terdapat 18 (delapan belas) pasal yang tidak/kurang memenuhi asas kejelasan rumusan, dan perlu disesuaikan dengan putusan MK. Pasal-pasal tersebut yaitu Pasal 1 angka 23, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 28, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 59, Pasal 61 dan Pasal 63. |
2 | UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. | Terdapat 5 (lima) pasal yang tidak/kurang memenuhi dengan asas kejelasan rumusan, asas keadilan. Pasal-pasal tersebut yaitu Pasal 2, Pasal 3,Pasal 22, Pasal 25 dan Pasal 28. |
3 | UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan | Terdapat 16 (enam belas) pasal yang tidak/kurang memenuhi asas kejelasan rumusan, asas keseimbangan keseasian dan keselarasan, asas keadilan. Pasal-pasal tersebut yaitu Pasal 5, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 37, Pasal 39, Pasal 42, Pasal 45, Pasal 34 dan Pasal 48; |
4 | UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. | Terdapat 17 (tujuh belas) pasal yang tidak/kurang memenuhi asas kejelasan rumusan. Pasal-pasal tersebut yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 40 dan Pasal 67-77. |
Dwi Bayu Anggono, dosen Fakultas Hukum Universitas Jember menemukan hal yang serupa. Ada 14 UU dari 200 UU (di luar RUU Kumulatif Terbuka) sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2012 yang materi muatannya tidak tepat diatur dalam UU. Selain karena tidak memenuhi materi muatan UU, juga disebabkan faktor-faktor sebagaimana tertera pada tabel di bawah ini.[2]
Tabel 2. RUU Bermasalah Pada Periode 1999 – 2012
NO | UU | MASALAH |
1 | UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. | Materi ini seharusnya diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana disebutkan dalam:
a. Pasal 59 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. b. Pasal 56 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan |
2 | UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan | Dalam bagian penjelasan UU ini disebutkan bahwa “Perpusatakaan Nasional RI sebagai LPND berdasarkan keputusan Presiden No. 11 Tahun 1989 tidak lagi memiliki kekuatan efektif dalam melakukan pembinaan dan pengembangan perpustakaan di seluruh wilayah NKRI.”. Maka, yang perlu dilakukan adalah pembenahan pada hal-hal yang menyebabkan ketidakefektivannya tersebut. |
3 | UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi | Telah diatur dalam sejumlah UU, antara lain:
a. KUHP (Pasal 281-283 Bab XIV, Pasal 532 – 533 Bab VI). b. UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (Pasal 3, Pasal 33, Pasal 40 – 44). c. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (Pasal 5, Pasal 13, Pasal 18) d. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Pasal 78, Pasal 88) e. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Pasal 5, Pasal 36, Pasal 46, Pasal 48, Pasal 55, Pasal 57, Pasal 58) f. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Pasal 27) |
4 | UU No. 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika | Telah diatur dalam Peraturan Presiden RI No. 61 Tahun 2008 tentang Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika |
5 | UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan | Telah diatur dalam:
a. UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga b. UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah |
6 | UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit | Telah diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Pasal 1 angka 7, Pasal 30 ayat, Pasal 35). Dalam Pasal 35 disebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
7 | UU No. 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka | Telah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka. |
8 | UU No. 13 Tahun 2010 tentang Holtikultura | Telah diatur dalam:
a. UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman b. UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan c. UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan d. UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. e. UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan f. UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan g. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal h. UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah i. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup j. UU No. 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan |
9 | UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial | Telah diatur dalam:
a. Peraturan Presiden No. 85 Tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional b. Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi c. Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2005. |
10 | 13 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin | Seharusnya diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana amanat Pasal 23 UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial |
11 | UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun | Meskipun UU ini merupakan amanat Pasal 46 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, namun Rumah Susun seharusnya diatur dalam Peraturan Pemerintah mengingat UU No. 1 Tahun 2011 pada dasarnya mengatur penyelenggaraan perumahan yang dapat membedakan rumah menurut jenis dan bentuknya. |
12 | UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial | Telah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (termasuk di dalamnya konflik sosial). |
13 | UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi | Seharusnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Pemerintah sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (4) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. |
14 | UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan | Seharusnya diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana amanat Pasal 4 ayat (2) UU 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Selain itu, juga sudah diatur dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Pasal 23).
|
Pada Prolegnas 2020-2024 ini, ada 113 RUU Perubahan yang berasal dari UU dibentuk sepanjang 1999-2019. Ini menunjukkan bahwa usia UU yang dihasilkan DPR dan Pemerintah tidak berusia lama, karena beragam masalah, seperti ketidaksinkronan, ketidakmampuan menjawab persoalan, akibat putusan MK, dan lain-lain.
Grafik 1. Jumlah Pembentukan UU Pada Era Reformasi 1999 – 2020 (November)
Sumber: Penulis (Diolah dari JDIH DPR RI, 2020)
Sementara pada zaman Orde baru, selama 32 tahun hanya terbentuk 367 undang-undang atau sekitar 11 undang-undang pertahun.
Grafik 2. Jumlah Pembentukan UU Pada Orde Baru 1967 – 1998
Sumber: Penulis (Diolah dari JDIH DPR RI, 2020)
Jumlah undang-undang yang dihasilkan selama era reformasi, nyaris sama pada zama Orde Lama. Total undang-undang yang dibentuk berjumlah 669 undang-undang atau sekitar 30 undang-undang pertahun.
Grafik 3. Jumlah Pembentukan UU Pada Orde Lama 1945 – 1966
Sumber: Penulis (Diolah dari JDIH DPR RI, 2020)
Data ini menunjukkan ada kemiripan fenomena antara Orde Lama dan Orde Baru dalam hal jumlah pembentukan undang-undang (selama 22 tahun). Selain, problematika yang telah diurai sebelumnya, gejala ini dapat dijelaskan dengan pendapat Ann Seidman yang menyatakan kebanyakan negara berkembang yang sedang dalam masa transisi menghadapi permasalahan yaitu belum berhasil mencapai tujuan-tujuan sosial, ekonomi, ataupun mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, Pemerintah pada umumnya mencoba menerjemahkan kebijakan-kebijakan yang diusulkan menjadi suatu peraturan perundang-undangan.[3] Antara orde lama dan reformasi, ada kemiripan eforia sebagai bangsa yang bertransisi dari keterjajahan dan otoritarianisme menuju kemerdekaan.
Menurut Maria Farida Indrawati S, banyak orang berfikir, persoalan sosial selesai jika sudah ada undang-undang, mereka sering kali melupakan pada akhirnya undang-undang tersebut tidak mudah dilaksanakan atau dinyatakan baru berlaku beberapa tahun kemudian.[4] Selain itu, diubah beberapa tahun kemudian, atau bahkan tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Pada Prolegnas 2020-2024, ada 130 RUU yang merupakan RUU Perubahan, sebagaimana tertera pada tabel grafik di bawah ini.
Grafik 4. Jumlah RUU Perubahan Pada Prolegnas 2020-2024 Berdasarkan Tahun Pembentukan/Perubahan Terakhir
Sumber: Penulis (Diolah dari Sistem Informasi Legislasi DPR RI, 2020)
Salah satu dampak yang diakibatkan oleh hiper regulasi adalah terjadinya alienasi hukum; artinya, hukum teralienasi dan terasing dari masyarakatnya sendiri. Hiper regulasi menciptakan masyarakat seolah berada di luar kenyataan hidup. Alienasi itu muncul ketika semakin banyak aturan, namun peraturan tersebut tidak efektif, artinya aturan tersebut tidak bisa ditegakkan. Yang paling nyata adalah ketika birokrasi atau pemerintah merasa paling berhasil ketika telah melahirkan aturan yang banyak meskipun tidak bisa diterapkan.[5]
Catatan Kaki
[1] USAID, Memajukan Reformasi Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Peluang dan Tantangan (Jakarta: USAID, 2009), hlm. 7.
[2] Dwi Bayu Anggono, Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2014), hlm 110.
[3] Ibid, hlm. 2
[4] Ibid, hlm 3
[5] Ibid