Pada dasarnya, uji formil merupakan instrumen hukum untuk menjaga agar prosedur pembentukan sebuah undang-undang tidak dilakukan dengan kehendak bebas para pembentuknya. Harapannya, melalui mekanisme ini publik mendapatkan garansi bahwa UU yang dilahirkan berlangsung secara akuntabel, partisipatif, dan transparan. Namun, berdasarkan data Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, sejak 2003 hingga 2019, dari 263 putusan yang dikabulkan oleh MK, seluruhnya merupakan permohonan pengujian undang-undang secara materiil. Sementara itu, pengujian formil yang telah diputus MK hingga saat ini berjumlah 44 perkara.[1] Dari angka tersebut, tak satu pun yang dikabulkan MK.
Tabel 1
Amar Putusan Pengujian Formil Undang-Undang di MKRI, 2003-2019
Putusan MK atas Permohonan | Jumlah Putusan/Ketetapan | Alasan |
Gugur | 6 (13 %) | Permohonan ditarik oleh Pemohon |
Tidak dapat diterima/NO | 21 (48%) | Objek pengujian tidak ada, permohonan mutatis mutandis dengan perkara lain, syarat legal standing tidak terpenuhi, atau permohonan sudah lewat waktu |
Ditolak | 17 (39%) | Tidak terbuktinya permohonan pemohon, terbukti tetapi tidak serta merta membuat undang-undang dinyatakan tidak berlaku atau invalid |
Dikabulkan sebagian | 0 | – |
Sumber: Nurul Fazrie (Skripsi STIH Jentera, 2020)
Riset KoDE Inisiatif menemukan sebanyak 44 pengujian formil tersebut diajukan dengan 22 jenis alasan yang beragam yang jumlahnya mencapai 93 kali didalilkan dalam pelanggaran formil. Persoalan pelanggaran formil yang paling banyak didalilkan dalam pengujian formil undang-undang ialah pelanggaran terhadap asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu sebanyak 13 (tiga belas) kali.[2]
Tabel 2
Alasan Pelanggaran Formil yang Didalilkan Pemohon Pengujian Formil Undang-Undang dan Perppu
No | Jenis Pelanggaran Formil | Jumlah |
1 | Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik | 13 |
2 | Syarat pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) | 9 |
3 | Pengabaian prosedur pembentukan | 9 |
4 | Mekanisme pengambilan keputusan | 9 |
5 | Dasar hukum pembentukan | 8 |
6 | Tidak menyajikan naskah akademik | 7 |
7 | Tidak disebutkan | 6 |
8 | Tidak membuka partisipasi publik dan/atau stakeholder terkait | 4 |
9 | Asas materi muatan peraturan perundang-undangan | 4 |
10 | Wewenang pembentukan | 3 |
11 | Prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan negara hukum | 3 |
12 | Kuorum kehadiran anggota DPR | 3 |
13 | Tumpang tindih aturan | 2 |
14 | Persetujuan presiden | 2 |
15 | Kesewenang-wenangan pembentukan undang-undang | 2 |
16 | Penyelundupan materi | 2 |
17 | Bertentangan dengan putusan MK | 2 |
18 | Melewati batas waktu masa sidang | 1 |
19 | Tidak masuk di dalam program legislasi nasional (prolegnas) | 1 |
20 | Pembentukan sangat cepat | 1 |
21 | Landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis | 1 |
22 | Indikasi korupsi dalam pembentukan undang-undang | 1 |
TOTAL | 93 |
Sumber: KoDe Inisiatif (2020)
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan oleh pemohon di atas, MK memberikan 12 (dua belas) jenis pertimbangan hukum yang kesemuanya mementahkan dalil-dalil pemohon. MK paling banyak menggagalkan permohonan pemohon akibat permohonan telah kehilangan objek, yaitu dijadikan landasan sebanyak 11 (sebelas) kali. Permohonan demikian ditujukan kepada pengujian formil perppu, sebab ketika proses persidangan berjalan, perppu yang dibuat oleh presiden telah disahkan menjadi undang-undang oleh DPR, sehingga secara otomatis objek pengujian pemohon menjadi tidak ada, seperti yang terdapat dalam Putusan MK Nomor 28/PUU-XV/2017, tanggal 12 Desember 2017, Nomor 39/PUU-XV/2017, tanggal 12 Desember 2017, Nomor 48/PUU-XV/2017, tanggal 12 Desember 2017, dan Nomor 52/PUU-XV/2017, tanggal 12 Desember 2017 tentang Pengujian Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Tabel 3
Pertimbangan Hukum MK terhadap Pengujian Formil Undang-Undang dan Perppu
No | Pertimbangan Hukum MK | Jumlah |
1 | Kehilangan objek | 11 |
2 | Tidak terbukti | 10 |
3 | Ada pelanggaran formil, tetapi tidak membatalkan undang- undang | 7 |
4 | Lewat waktu | 6 |
5 | Mengeluarkan ketetapan | 5 |
6 | Permohonan kabur atau tidak jelas | 3 |
7 | Asas kemanfaatan | 2 |
8 | Pemohon tidak memenuhi legal standing | 1 |
9 | Tidak ada dasar hukum untuk memutus perkara | 1 |
10 | Pemohon tidak hadir | 1 |
11 | Wewenang pembentuk undang-undang | 1 |
12 | Dalil pemohon tidak berdasar konstitusi | 1 |
TOTAL | 49 |
Sumber: KoDe Inisiatif (2020)
Hal yang menarik, di posisi ketiga, sebanyak 7 kali MK menyatakan bahwa terdapat pelanggaran formil yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang, tetapi menurut MK tidak serta merta membuat undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pertimbangan MK ini seringkali dikaitkan dengan mengedepankan asas kemanfaatan, seperti yang disebutkan sebanyak 2 kali dalam pertimbangan putusan MK.[3]
Pandangan MK ini perlu untuk dikritisi, sebab bagaimanapun juga, MK merupakan penjaga muruah konstitusi sebagai the supreme law of the land. Hal ini berkenaan juga dengan payung konstitusional Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga segala tindakan negara, termasuk pembentukan undang-undang harus berdasarkan hukum, baik dari aspek materil, pun aspek formil. MK harus mulai mengubah paradigma dalam memutus pengujian formil, sebab ketaatan terhadap prosedur pembentukan undang-undang sama pentingnya dengan substansi undang-undang yang diatur. Dengan memakai logika “fruit of the poisonous tree” yang artinya alat bukti yang didapatkan dengan cara-cara yang ilegal, berarti undang- undang yang ditetapkan dengan cara-cara yang menabrak prosedur hukum pun bisa dianggap inkonstitusional.[4]
Putusan MK ini berpotensi melanggengkan perilaku DPR dan Pemerintah yang terkesan menganggap enteng prosedur dan asas pembentukan undang-undang. Pada DPR Periode 2019-2024 ini, setidaknya ada empat undang-undang yang mengabaikan asas keterbukaan, yaitu UU Minerba, UU KPK, UU MK, dan UU Cipta Kerja. Jika MK terus memberikan “angin” pada pembentukan undang-undang yang abai asas ini, maka tidak terutup kemungkinan praktik serupa terus terjadi.
Bivitri Susanti dan Nurul Fazrie, meyebutkan ada tiga tantangan yang dihadapi dalam proses pengujian formil di MK. Pertama, beban pembuktian yang dimiliki pemohon dengan DPR dan Presiden tidak berimbang, akibat terbatasnya akses pemohon untuk memperoleh dokumen dalam proses pembentukan undang-undang. Kedua, penggunaan batu uji masih terbatas. Tak jarang, dalil permohonan pemohon terpatahkan dengan penilaian Mahkamah Konstitusi bahwa pembentuk undang-undang telah membentuk undang-undang sesuai dengan konstitusi, karena hanya melihat prosedur yang diatur hanya prinsip-prinsipnya di dalam konstitusi. Ketiga, Mahkamah Konstitusi lebih mengedepankan asas kemanfaatan daripada asas keadilan dan kepastian hukum.[5]
Asas kemanfaatan ini pernah digunakan MK dalam memutus perkara pengujian formil No. 27/PUU-VII/2009 tentang pengujian Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Menurut pandangan Mahkamah Konstitusi, meskipun terdapat cacat prosedural dalam pembentukan UU MA, tetapi secara materil UU MA tidak menimbulkan persoalan hukum. Apabila UU MA yang cacat prosedural tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka akan mengakibatkan keadaan yang tidak lebih baik karena dalam UU MA justru terdapat substansi pengaturan yang isinya lebih baik dari undang-undang yang diubah.[6]
Namun, dalam beberapa putusan terkait pengujian formil, ada hakim-hakim yang memberikan dissenting opinion. Antara lain tentang perluasan batu uji pengujian formil. Hakim Konstitusi, Arif Hidayat, dalam sebuah dissenting opinion menyatakan “Dalam pengujian formil, Mahkamah telah memiliki kriteria untuk menilai pengujian formil sebuah undang-undang sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 paragraf [3.19] yang telah menentukan batu uji dalam pengujian formil yaitu Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil sebagaimana putusan sebagai berikut.[7]
“[3.19] Menimbang bahwa oleh karenanya sudah sejak Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, Mahkamah berpendapat Peraturan Tata Tertib DPR RI Nomor 08/DPR RI/I/2005.2006 (yang selanjutnya disebut Tatib DPR) adalah merupakan bagian yang sangat penting dalam perkara a quo untuk melakukan pengujian formil UU 3/2009 terhadap UUD 1945, karena hanya dengan berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPR tersebut dapat ditentukan apakah DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU yang dibahasnya sebagai syarat pembentukan Undang-Undang yang diharuskan oleh UUD 1945; Terkait dengan hal-hal tersebut, menurut Mahkamah jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil-proseduralnya. Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai dengan konstitusi, pengujian secara formil itu harus dapat dilakukan. Oleh sebab itu, sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil.”[8]
Demikian pula dengan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, dalam sebuah dissenting opinion juga menggunakan UU No. 12 Tahun 2011 sebagai batu uji. Dalam hal ini, pembentuk UU dinilai melanggar asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat dan asas keterbukaan. Berikut petikan pendapat beliau.
“Dari fakta persidangan bahwa UU MD3 khususnya Pasal 84 tidak pernah masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebelumnya, namun tiba-tiba masuk dalam DIM perubahan pada tanggal 30 Juni 2014 setelah diketahui komposisi hasil Pemilu, dengan demikian jika dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 maka produk hukum tersebut dibentuk tidak berdasarkan hukum akan tetapi karena kepentingan politis semata. Memperhatikan bukti dan fakta persidangan bahwa tidak terdapat keperluan yang mendesak akan perlunya perubahan terhadap norma Pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan apalagi dalam DIM sebelumnya serta dalam Naskah Akademik tidak pernah ada pembahasan mengenai hal tersebut, oleh karena itu menurut saya pembentukan UU MD3 a quo, jelas melanggar UU Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan derivasi dari Pasal 22A UUD 1945. Sehingga secara formil UU MD3 tersebut cacat hukum dalam proses pembentukannya.”[9]
Catatan Kaki
[1] https://www.jentera.ac.id/publikasi/tantangan-pengujian-proses-legislasi-di-mahkamah-konstitusi/ diakses pada 1 Desember 2020
[2] KoDE Inisiatif, Menakar Peluang Pengujian Formil Revisi UU KPK di Mahkamah Konstitusi (Jakarta: KoDe Inisiatif, 2020), hlm. 2
[3] Ibid, hlm. 5
[4] Ibid, hlm. 6
[5] Ibid, hlm. 2
[6] Ibid
[7] https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/79_PUU-XII_2014.pdf hlm. 203 – 204
[8] Ibid, hlm. 204
[9] Ibid, hlm. 209