KETERANGAN
Pada dimensi ini, DPR memperoleh skor 47,1. Angka ini merupakan gabungan dari tiga indikator, yaitu:
- Indikator I: Ada-tidaknya pelanggaran prosedur dalam pembentukan UU. Apabila teridentifikasi adanya pelanggaran, maka menyebabkan turunnya skor indikator.
- Indikator II: Dilibatkan-tidaknya DPD pada RUU tertentu sebagaimana diatur dalam konstitusi
- Indikator III: Sejauhmana DPD dilibatkan dalam pembahasan sebuah RUU, yang dilihat dari keterlibatan DPD dalam memberikan DIM, pandangan, pendapat akhir). DPR berkontribusi dalam membangun keterlibatan DPD secara tepat.
TEMUAN DAN ANALISIS
1) Ada Dua RUU yang Pembentukannya Melanggar Prosedur
Ada dua RUU pada tahun sidang 2020-2021 yang pembentukannya tidak sesuai dengan prosedur pembentukan undang-undang. Dua RUU tersebut adalah RUU Cipta Kerja dan RUU Mahkamah Konstitusi.
a. Pelanggaran Prosedur pada RUU Cipta Kerja.
Tim peneliti menemukan, sejumlah pelanggaran pada pembentukan RUU Cipta Kerja, antara lain:
Pertama, tidak dibagikannya Naskah RUU dalam Rapat Paripurna Pembicaraan Tingkat II (dengan agenda pengambilan keputusan terhadap RUU menjadi UU), pada 5 Oktober 2020. Naskah RUU tersebut hanya ada pada Pimpinan DPR.
Kedua, terjadinya perubahan naskah UU setelah adanya persetujuan bersama dalam Rapat Paripurna, 5 Oktober 2020. Padahal, waktu tujuh hari setelah persetujuan bersama, hanya untuk perbaikan teknis penulisan saja. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan bahwa tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang ke Lembaran Resmi Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan Undang-Undang oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum (tertera pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020).
Ketiga, terjadinya pengabaian meaningfull participation sebagaimana tertera pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Keempat, pengabaian teknik penyusunan undang-undang karena menggunakan metode omnibus law yang tidak diatur dalam UU PPP. Pasal 64 UU PPP menyebutkan bahwa: “Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-Undangan dilakukan sesuai teknik penyusunan Peraturan Perundang-Undangan.” Teknik penyusunan tersebut tercermin dalam Lampiran II UU PPP yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari UU PPP. Teknik penyusunan UU yang dilakukan pada UU Ciptaker jelas tidak sesuai dengan UU PPP. Hal ini juga disebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
b. Pelanggaran Prosedur pada RUU Mahkamah Konstitusi
Dalam proses pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi, pelanggaran prosedur yang terjadi yaitu dilakukannya perluasan materi perubahan pada RUU Kumulatif Terbuka, yang seharusnya difokuskan pada perubahan pada pasal/ayat akibat putusan Mahkamah Konstitusi.
Pada tahun 2020, DPR dan Pemerintah telah menyelesaikan perubahan ketiga UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi UU No. 7 Tahun 2020. Perubahan ini untuk menindaklanjuti sejumlah norma dalam UU Mahkamah Konstitusi yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau dinyatakan konstitusional bersyarat, antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-Xl/2013.
Untuk itu, DPR menetapkan perubahan ketiga RUU Mahkamah Konstitusi sebagai RUU kumulatif terbuka. Melalui mekanisme ini, sebuah RUU dapat masuk di pertengahan periode pelaksanaan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahunan. Masuknya RUU Perubahan Ketiga UU Mahkamah Konstitusi ini, berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang (UU PPP). Pada Pasal ini disebutkan: “Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi.”
Pada dasarnya, adalah hak DPR dan Pemerintah untuk melakukan perubahan tersebut, namun berdasarkan UU PPP di atas, jika pilihan DPR dan Pemerintah menggunakan mekanisme RUU Kumulatif Terbuka, maka perubahan tersebut seharusnya hanya dilakukan terhadap pasal dan/atau ayat yang diamanatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Bukan melebar pada pasal dan ayat lainnya (lihat Lampiran 2).
2) DPD Tidak Dilibatkan pada Sebuah RUU yang Relevan
Keterlibatan DPD dalam proses legislasi selama Tahun Sidang 2020-2021 hanya ada pada pembahasan tiga RUU, yaitu: 1) RUU Cipta Kerja, 2) RUU tentang APBN tahun 2021, dan 3) RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Dengan mengacu pada pasal di atas, maka DPD seharusnya dilibatkan dalam pembahasan Undang-undang (UU) tentang Pengesahan Comprehensive Economic Partnership Agreement Between The Republic of Indonesia and The EFTA States (Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Republik Indonesia dan Negara-Negara EFTA). UU antara lain ini membahas Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan dan Perdagangan Terkait, Pengelolaan Perikanan dan Akuakultur Secara Berkelanjutan dan Perdagangan Terkait, Pengelolaan Sektor Minyak Nabati Secara Berkelanjutan dan Perdagangan Terkait, dan lain-lain yang relevan dengan DPD.
3) Keterlibatan DPD Pada Pembahasan Tiga RUU, Sangat Minim
Indikator keterlibatan DPD dalam pembahasan, dinilai dari apakah DPD dilibatkan dalam memberikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I dalam hal RUU berasal dari DPR dan/atau Pemerintah. Berdasarkan penelusuran pada web DPR, keterlibatan DPD pada tiga RUU sangat minim. Dari tiga RUU, hanya ditemukan satu DIM (RUU Otsus Papua) dan satu Pandangan terhadap RUU (RUU Ciptaker).
Secara khusus, prosedur dimaknai sebagai rangkaian tahapan yang wajib/harus dilalui dalam proses pembentukan sebuah UU sebagaimana diatur dalam UU PPP/Tatib/Peraturan DPR tentang Pembentukan UU. Namun dalam konteks ini, prosedur dimaknai secara lebih luas, sepanjang yang berkaitan dengan kewajiban/keharusan yang diatur dalam UU dalam proses pembentukan UU.
Terjadinya pelanggaran prosedur dalam pembentukan UU (dalam arti luas), dapat disebabkan oleh:
- Ketidaksengajaan yang dilakukan oleh pembentuk UU; atau
- Kesengajaan yang dilakukan oleh pembentuk UU.
Terkait kesengajaan, dapat terjadi karena setidaknya dua kondisi, yaitu:
Pertama, pembentuk UU secara sadar melakukan penyimpangan karena perbedaan penafsiran atas kaidah hukum (kewajiban, larangan, dan kebolehan). Misalnya: Penyusunan UU dengan teknik omnibus law memang tidak tertera dalam UU PPP. Dengan demikian, apakah penggunaan metode omnibus masuk dalam kaidah larangan atau kebolehan. Secara tidak langsung, DPR berdalih, meski tidak diatur bukan berarti teknik penyusunan omnibus law sebagai sesuatu yang dilarang. DPR menganggap ini masuk dalam wilayah yang boleh dilakukan dengan mengacu pada sejumlah praktik yang pernah terjadi pada sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya (hal ini dibantah oleh MK).
Kedua, pembentuk UU secara sadar melakukan penyimpangan karena perbedaan penafsiran atas aturan yang dinyatakan dalam UU. Misalnya, perbedaan penafsiran terhadap syarat UU yang dapat masuk dalam RUU luncuran/operan/carry over. Apakah kalimat “memasuki pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah..” pada Pasal 71A UU No. 15 Tahun 2019, berarti tahapan pembahasan DIM atau kegiatan pembahasan DIM. Dalam kasus UU Minerba, DPR memaknainya sebagai tahapan pembahasan DIM. Meskipun di NA, lebih cenderung dimaknai sebagai kegiatan.
Dalam kasus RUU Ciptaker dan RUU MK, dengan melihat sejumlah indikasi sebagaimana disampaikan di atas, maka pelanggaran prosedur yang terjadi dapat dimaknai dilakukan secara sengaja. Dalam hal ini, pembentuk UU secara sadar melakukan penyimpangan karena penafsirannya atas kaidah hukum (meskipun bisa jadi perbedaan penafsiran itu hanya dalil/penyiasatan hukum).
Salah satu cara untuk meminimalisir potensi pelanggaran prosedur adalah dengan memaksimalkan peran Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) melalui fungsi pengawasan dan pencegahan. Pintu masuknya adalah bahwa pelanggaran prosedur merupakan bagian dari pelanggaran undang-undang. Sementara pelanggaran undang-undang merupakan bagian dari pelanggaran kode etik. Di dalam Pasal 20 ayat (1) Peraturan DPR RI Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR RI disebutkan dengan jelas terkait posisi norma hukum etika dan aturan perundangan, di mana setiap pelanggaran aturan perundangan oleh Anggota DPR RI adalah juga merupakan pelanggaran etik. Dalam hal ini, pimpinan AKD terkait (Ketua dan Wakil) yang bertanggung jawab dalam penyusunan dan/atau pembahasan RUU dapat dipanggil untuk mencegah potensi pelanggaran prosedur pembentukan UU, baik berdasarkan temuan maupun laporan publik.
Pelaksanaan fungsi pencegahan pelanggaran prosedur pembentukan UU, telah dicontohkan MKD dalam pembentukan UU IKN. Seperti diketahui, DPR RI akhirnya memangkas jumlah keanggotaan panitia khusus perancang dan pembahas Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) dari 56 menjadi 30 orang. Keputusan tersebut menanggapi surat dari pimpinan MKD agar Pansus RUU IKN menyesuaikan dengan Ketentuan UU nomor 13 Tahun 2019 tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR DPR, DPD, dan DPRD Pasal 157 ayat (2) dan Pasal 158 ayat (2).
LAMPIRAN
Lampiran 1: Daftar RUU yang Melibatkan DPD
Daftar RUU yang Pembahasannya Melibatkan DPD pada Tahun Sidang 2020-2021
Melibatkan DPD | Tanpa DPD |
|
|
Lampiran 2: Perubahan Materi Muatan pada UU MK
Lampiran 2
Perubahan Materi pada UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
NO | PASAL/AYAT/HURUF | DASAR PERUBAHAN | UU NO. 7 TAHUN 2020 | UU NO.8 THN 2011 | UU NO. 24 TAHUN 2003 |
1 | PASAL 4 | ||||
Pasal 4 ayat (3) diubah | Inisiatif DPR dan Pemerintah | Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi | Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. | – | |
Pasal 4 ayat (4) diubah | Inisiatif DPR dan Pemerintah | Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpilih, rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang paling tua usianya | Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpilih, rapat pemilihan Ketua dan Wakil KetuaMahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua | – | |
Pasal 4 ayat (4f) dihapus | Putusan MK 49/PUU-IX/2011 | Dihapus | Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dilakukan dalam 1 (satu) kali rapat pemilihan. | – | |
Pasal 4 ayat (4g) dihapus | Putusan MK 49/PUU-IX/2011 | Dihapus | Calon yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4f) ditetapkan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. | – | |
Pasal 4 ayat (4h) dihapus | Putusan MK 49/PUU-IX/2011 | Dihapus | Calon yang memperoleh suara terbanyak kedua dalam pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4f) ditetapkan sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. | – | |
2 | PASAL 7 | ||||
Pasal 7a ayat (1) diubah | Putusan MK 34/PUU-X/2012 | (1) Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankantugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi dengan usia pensiun 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, panitera muda, dan panitera pengganti. | Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi. | – | |
3 | PASAL 15 | ||||
Pasal 15 ayat (2) huruf b diubah | Inisiatif DPR dan Pemerintah | berljazah doktor (strata tiga) dengan dasar sarjana (strata satu) yang berlatar belakang pendidikan di bidang hukum | – | ||
Pasal 15 ayat (2) huruf d diubah | Putusan MK 49/PUU-IX/2011, Putusan MK 34/PUU-X/2012 | berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun | berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan; | – | |
Pasal 15 ayat (2) huruf h diubah | Putusan MK 49/PUU-IX/2011 | mempunyai pengalaman kerja di bidang hukumpaling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/atau untuk calon hakim yang berasal dari lingkungan Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagaihakim tinggi atau sebagai hakim agung. | – | ||
4 | PASAL 20 | ||||
Pasal 20 ayat (2) diubah | Inisiatif DPR dan Pemerintah |
(1) Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1). (2) Proses pemilihan hakim konstitusi dari ketiga unsur lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui proses seleksi yang objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka oleh masing-masing lembaga negara. |
Tetap |
(1) Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1). (2) Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel. |
|
5 | BAGIAN KEDUA BAB IV | ||||
Judul Bagian Kedua Bab IV dihapus | Inisiatif DPR dan Pemerintah | Dihapus | Tetap | Bagian Kedua Masa Jabatan | |
6 | PASAL 22 | ||||
Pasal 22 dihapus | Inisiatif DPR dan Pemerintah | Dihapus | Tetap | Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. | |
7 | BAGIAN KETIGA BAB IV | ||||
Judul Bagian Ketiga Bab IV diubah | Inisiatif DPR dan Pemerintah | Bagian Kedua Pemberhentian | Tetap | Bagian Ketiga Pemberhentian | |
8 | PASAL 23 | ||||
Pasal 23 ayat (1) huruf d dihapus | Inisiatif DPR dan Pemerintah | Dihapus | Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan: d. telah berakhir masa jabatannya; atau | – | |
9 | PASAL 26 | ||||
Pasal 26 huruf b ayat (1) dihapus | Inisiatif DPR dan Pemerintah | Dihapus | berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf d | – | |
Pasal 26 ayat (5) dihapus | Putusan MK 49/PUU-IX/2011 | Dihapus | Hakim konstitusi yang menggantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanjutkan sisa jabatan hakim konstitusi yang digantikannya. | – | |
10 |
PASAL 27A
|
||||
Pasal 27A huruf c ayat (2) diubah | Putusan MK 49/PUU-IX/2011 | 1 (satu) orang akademisi yang berlatar belakangdi bidang hukum | 1 (satu) orang dari unsur DPR | – | |
Pasal 27A huruf d dan huruf e ayat (2) dihapus
|
Putusan MK 49/PUU-IX/2011 | Dihapus | 1 (satu) orang hakim agung. | – | |
Pasal 27A ayat (3) dihapus | Inisiatif DPR dan Pemerintah | Dihapus | Dalam melaksanakan tugasnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi berpedoman pada: a. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi; b. tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi; dan c. norma dan peraturan perundang-undangan | – | |
Pasal 27A ayat (4) dihapus | Inisiatif DPR dan Pemerintah | Dihapus | Tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b memuat mekanisme penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dan jenis sanksi. | – | |
Pasal 27A ayat (5) dihapus | Inisiatif DPR dan Pemerintah | Dihapus | Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa: a. teguran tertulis; b. pemberhentian sementara; atau c. pemberhentian | – | |
Pasal 27A ayat (6) dihapus | Inisiatif DPR dan Pemerintah | Dihapus | Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berasal dari hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. | – | |
11 | PASAL 45A | ||||
Pasal 45A dihapus | Inisiatif DPR dan Pemerintah | Dihapus | Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok Permohonan. | – | |
12 | PASAL 50A | ||||
Pasal 50A dihapus | Putusan MK 49/PUU-IX/2011 | Dihapus | Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menggunakan undang-undang lain sebagai dasar pertimbangan hukum. | – | |
13 | PASAL 57 | ||||
Pasal 57 ayat (2a) dihapus | Putusan MK 49/PUU-IX/2011 | Dihapus | (2a) Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat: a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); b. perintah kepada pembuat undang-undang; dan c.rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. | – | |
Pasal 57 penjelasan ayat 3 diubah | Inisiatif DPR dan Pemerintah | Ayat (3) Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) untuk putusan Mahkamah Konstitusi diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum | Cukup Jelas | – | |
14 | PASAL 59 | ||||
Pasal 59 ayat (2) dihapus | Putusan MK 49/PUU-IX/2011 | Dihapus | Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. | – | |
15 | PASAL 87 | ||||
Pasal 87 diubah | Putusan MK 49/PUU-IX/2011 | Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku a.Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini; b. Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selamakeseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun. | Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; dan b.hakim konstitusi yang saat ini menjabat tetap menjabat sampai dengan diberhentikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi | – |