KETERANGAN

Pada dimensi ini, DPR memperoleh skor 8,91. Angka ini merupakan gabungan dari empat indikator, yaitu:

  • Dilaksanakan tidaknya RDPU dalam pembahasan sebuah RUU (termasuk jumlah pihak yang dilibatkan)
  • Dilaksanakan tidaknya Kunker untuk menyerap aspirasi atas sebuah RUU (termasuk jumlah pihak yang dilibatkan)
  • Ketersediaan mekanisme partisipasi secara online (termasuk ketersediaan fasilitas sarana partisipasi yang memungkinkan warga untuk menyampaikan aspirasi secara spesifik dan interaktif)
  • Dibuat tidaknya laporan aspirasi publik (dalam dokumen khusus atau laporan akhir AKD)

TEMUAN DAN ANALISIS

1. Ada 5 RUU yang Dibahas Tanpa RDPU

Lima RUU yang pembahasannya tanpa Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), yaitu

  • RUU Bea Materai;
  • RUU Mahkamah Konstitusi;
  • RUU Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021;
  • RUU Pengesahan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Antara Republik Indonesia dan Negara-Negara EFTA; dan
  • RUU Pengesahan Protokol untuk Melaksanakan Paket Komitmen Ketujuh Bidang Jasa Keuangan Dalam Persetujuan Kerangka Kerja Asean di Bidang Jasa.

RDPU merupakan mekanisme resmi untuk menyerap aspirasi. Pengabaian RDPU menunjukkan sejumlah kemungkinan. Pertama, pemetaan yang tidak komprehensif sehingga tidak dapat mengidentifikasi pihak-pihak terdampak yang seharusnya dihadirkan dalam RDPU. Kondisi ini juga dapat dipengaruhi oleh keinginan DPR membahas sebuah RUU dengan target waktu penyelesaian yang sangat cepat.

Kedua, DPR menilai bahwa pembentukan/perubahan UU tersebut hanya dalam rangka menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (Pasal 23 ayat (1) huruf b UU PPP). Namun pada praktiknya, dalam perubahan UU MK, DPR melakukan perluasan materi perubahan pada RUU Kumulatif Terbuka, yang seharusnya difokuskan pada perubahan pada pasal/ayat akibat putusan Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, secara substansi, RUU tersebut berupa pengesahan perjanjian internasional, sehingga DPR menilai tidak diperlukan adanya RDPU. Padahal pengesahan “perjanjian internasional” melalui sebuah UU akan membawa akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat. Ratifikasi ini juga akan berdampak pada beban keuangan negara. Karena itu, selayaknya ratifikasi perjanjian internasional tetap dibahas secara sungguh-sungguh dengan menghadirkan partisipasi publik.  

2. Tidak ada pelaksanaan kunjungan kerja untuk penyerapan aspirasi pada 8 RUU

Tim IKL tidak menemukan adanya laporan yang menyebutkan bahwa DPR melakukan kunjungan kerja untuk menyerap aspirasi dalam pembahasan 8 RUU yang disahkan pada Tahun Sidang 2020-2021.

3. Sarana partisipasi belum menjawab kebutuhan partisipasi legislasi secara efektif

Sebenarnya DPR memiliki sejumlah sarana partisipasi secara online, antara lain aplikasi berbasi web untuk partisipasi penyusunan Naskah Akademik dan RUU pada Pusat PUU Badan Keahlian Dewan, kolom Feedback di menu legislasi, dan berbagai sarana komunikasi melalui media sosial DPR.  Namun, sarana ini belum memberikan fasilitas yang memudahkan publik untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang. Masyarakat tidak bisa memberikan masukan secara terarah pada pasal-pasal dalam RUU. Upaya untuk memberikan masukan secara terarah ini semakin sulit dilakukan karena DPR tidak menyajikan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) yang diperbaharui sesuai perkembangan pembahasannya.

4. DPR bersikap pasif atas partisipasi publik pada sidang pembahasan RUU yang ditayangkan secara online

Sikap DPR yang pasif atas partisipasi publik secara online pada saat penayangan pembahasan RUU terjadi di delapan pembahasan RUU. Kehadiran publik menonton penayangan pembahasan sebuah RUU (melalui Youtube dan Facebook) menunjukkan adanya kepedulian mereka. Namun, sarana ini tidak digunakan DPR untuk membangun interaksi, menyampaikan informasi mengenai legislasi, misalnya link dokumen legislasi, dan lain-lain. Sikap DPR ini berpotensi menyebabkan minimnya partisipasi publik. Sebagai contoh: jumlah komentar publik dari 20 penayangan rapat pembahasan RUU Ciptaker hanya 17 komentar. Dua puluh tayangan pembahasan RUU Ciptaker ini ditonton 8173 kali.

5. Ada 6 RUU Tanpa Disertai Laporan Aspirasi Publik

Hanya ada 2 RUU yang disertai dengan laporan aspirasi publik yaitu RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan RUU Pengesahan Comprehensive Economic Partnership Agreement Between the Republic of Indonesia and the EFTA States.

Empat temuan pada proses legislasi di atas, sejalan dengan problem legislasi sebagaimana yang tertera pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020. Mahkamah menyatakan, “selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.”

Jika diurai, maka MK menyatakan ada empat prinsip yang perlu diperhatikan DPR dalam penyerapan aspirasi. Ini juga yang berupaya dilihat pada IKL Tahun Sidang 2020-2021 ini.

Pertama:  partisipasi publik terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas. Memang ada tiga RUU yang dibentuk dengan partisipasi publik. Namun dilihat dari sisi keterwakilan pihak terdampak, pihak yang dihadirkan sangat tidak memadai. Misalnya, pada RUU Otsus Papua, DPR hanya melakukan RDPU dengan satu kelompok masyarakat sipil.

Kedua: adanya hak untuk didengarkannya pendapat penyampai aspirasi (right to be heard). Dalam hal ini, di DPR, ada mekanisme RDPU dan audiensi. Ada pula mekanisme penyampaian aspirasi secara online (dengan sejumlah keterbatasan).

Ketiga, adanya hak untuk dipertimbangkannya pendapat penyampai aspirasi (right to be considered). Di DPR belum ada mekanisme yang mengatur hal tersebut. Mekanisme paling mendasar adalah dibuatnya sebuah agenda khusus untuk mempertimbangkan seluruh masukan publik dalam satu sidang tertentu dan dengan memasukkan pendapat publik pada kolom khusus di DIM yang dibahas.

Keempat, adanya hak untuk hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Hal ini juga belum ada di DPR. Secara sederhana, Tim berupaya mengetahui hal ini dengan melihat ada tidaknya laporan aspirasi publik pada 8 RUU yang dibahas. Hasilnya, 6 RUU tidak mencantumkan laporan aspirasi publik. Dua RUU yang mencantumkan laporan aspirasi publik pun sebenarnya, tidak memenuhi kriteria  right to be explained. Right to be explained idealnya disampaikan pada saat tahap pembahasan secara spesifik sehingga terjadi deliberasi yang dapat mempengaruhi materi RUU.  

Empat prinsip dalam meaningful participation di atas, perlu diturunkan dalam mekanisme/prosedur yang dijamin dalam UU. Tanpa itu, maka partisipasi berpotensi masuk pada kategori yang dalam istilah Sherry R Arstein, disebut non-participation dan tokenism. Jadi, inilah problem utama dalam partisipasi legislasi di DPR: tidak adanya pemetaan terhadap pihak terdampak dalam sebuah RUU dan tidak ada upaya untuk menghadirkan mereka secara sungguh-sungguh, tidak adanya jaminan bahwa aspirasi yang disampaikan akan dipertimbangkan dan tidak ada mekanisme feedback atas aspirasi yang disampaikan. Maka, wajar jika ada keraguan untuk apa berpartisipasi. Hal lain yang juga dikhawatirkan oleh sejumlah organisasi non pemerintah adalah bahwa kehadiran dalam sebuah RDPU dianggap sebagai persetujuan atas sebuah RUU.  Padahal mereka menolak RUU tersebut, sebagaimana terjadi pada RUU Cipta Kerja. Kondisi di atas harus segera diperbaiki oleh DPR.

LAMPIRAN
Ketersediaan Laporan Aspirasi Publik

 

RUU Tersedia dan disampaikan dalam laporan akhir AKD Tidak ada
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua X
RUU Pengesahan Comprehensive Economic Partnership Agreement Between the Republic of Indonesia and the EFTA States X
RUU Bea Materai X
RUU Mahkamah Konstitusi X
RUU Cipta Kerja X
RUU Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021 X
RUU Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Kerajaan Swedia Tentang Kerja Sama Dalam Bidang Pertahanan X
RUU Pengesahan Protocol To Implement The Seventh Package Of Commitments On Financial Services Under The Asean Framework Agreement On Services X