KONTEKS PERUBAHAN UU

Perubahan Kedua UU PPP tidak dapat dilepaskan dari konteks pertimbangan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, yang menyatakan bahwa Mahkamah memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut. (Selengkapnya lihat pertimbangan No. 3.20.3)

Bahwa pilihan Mahkamah untuk menentukan UU 11/2020 dinyatakan secara inkonstitusional secara bersyarat tersebut, dikarenakan Mahkamah harus menyeimbangkan antara syarat pembentukan sebuah undang-undang yang harus dipenuhi sebagai syarat formil guna mendapatkan undang-undang yang memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Di samping itu juga harus mempertimbangkan tujuan strategis dari dibentuknya UU a quo. Oleh karena itu, dalam memberlakukan UU 11/2020 yang telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat menimbulkan konsekuensi yuridis terhadap keberlakuan UU 11/2020 a quo, sehingga Mahkamah memberikan kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki UU 11/2020 berdasarkan tata cara pembentukan undang-undang yang memenuhi cara dan metode yang pasti, baku dan standar di dalam membentuk undang-undang omnibus law yang juga harus tunduk dengan keterpenuhan syarat asas-asas pembentukan undang-undang yang telah ditentukan.

Bahwa dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, dengan ini Mahkamah memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan landasan hukum yang telah dibentuk tersebut UU 11/2020 a quo dilakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan undang-undang, sebagaimana amanat UU 12/2011, khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna, yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan tersebut Mahkamah memandang perlu memberi batas waktu bagi pembentuk UU melakukan perbaikan tata cara dalam pembentukan UU 11/2020 selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan. Apabila dalam waktu 2 (dua) tahun, UU 11/2020 tidak dilakukan perbaikan, maka Mahkamah menyatakan terhadap UU 11/2020 berakibat hukum menjadi inkonstitusional secara permanen.

Bahwa apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk UU tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU 11/2020 maka demi kepastian hukum terutama untuk menghindari kekosongan hukum atas undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan UU yang telah dicabut atau diubah tersebut harus dinyatakan berlaku kembali

HASIL PEMANTAUAN
PENGUSUL RUU

DPR RI (Badan Legislasi)

TAHAP PEMBENTUKAN RUU
  1. Pengusulan: 17 Desember 2019 
  2. Penyusunan: 2 Februari 2022 – 8 Februari 2022
  3. Pembahasan: 7 April 2022 – 24 Mei 2022
  4. Pengesahan: 24 Mei 2022
  5. Pengundangan: 16 Juni 2022
DOKUMEN PEMBENTUKAN RUU

Dokumen Pembentukan UU

  • Naskah Akademik: Ada
  • Draf RUU: Ada
  • DIM: Tidak ada
  • Penjelasan Pengusul RUU: Ada
  • Pandangan Mini Fraksi di DPR: Ada
  • Laporan Akhir DPR: Ada
  • Pandangan Akhir Pemerintah: Ada
  • Naskah UU: Ada

Lapsing

  • Lapsing Rapat Badan Legislasi Dalam Rangka Penyusunan RUU Perubahan II UU PPP, 2 Februari 2022. Klik
  • Lapsing Rapat Panja Badan Legislasi Dalam Rangka Penyusunan RUU Perubahan II UU PPP, 3  Februari 2022. Klik
  • Lapsing Rapat Pleno Baleg dalam rangka Pengambilan Keputusan atas Harmonisasi RUU Perubahan II UU PPP, 7 Februari 2022. Klik
  • Lapsing Rapat Panja Badan Legislasi Dan Pemerintah Dalam Rangka Penyusunan DIM RUU Perubahan II UU PPP, 8 Februari 2022. Klik

Catatan Rapat: 

  • Tidak ada

Risalah Rapat:

  • Risalah Raker dengan Menko polhukam, Menko Perekonomian, dan Menkumham; Pembahasan RUU Perubahan II UU PPP; Kamis, 7 April 2022. Klik;
  • Risalah Rapat Kerja Baleg dengan Menko Perekonomian, Menko Polhukam, dan Menkumham; Pengambilan Keputusan Tingkat 1 RUU Perubahan II UU PPP; Rabu, 13 April 2022. Klik.
  • Risalah Rapat Paripurna; Pengambilan Keputusan Tk.2 atas RUU Perubahan II UU PPP; 24 Mei 2022. Klik

MASUKAN STAKEHOLDER

Tidak ada publikasi

Lampiran Pemantauan: Klik

Jumlah Rapat

Laporan Singkat

Catatan Rapat

Risalah

Rekam Jejak Revisi II

RUU PPP

Tahap Penyusunan

^
1. Rabu, 2 Februari 2022

Rapat Baleg dan BKD

Rapat Baleg dengan Kepala Badan Keahlian DPR-RI. Hasil rapat yang dipublikasikan:

  • Lapsing: Ada
  • Catatan Rapat: Tidak ada
  • Risalah: Tidak ada
  • Video: Tidak ada
  • Lain-lain: Draft NA, Draft RUU, dan Bahan Rapat DPR
^
2. Kamis, 3 Februari 2022

Rapat Panja Baleg dan BKD

Rapat Panja Baleg dengan Kepala Badan Keahlian DPR-RI. Hasil rapat yang dipublikasikan:

  • Lapsing: Ada
  • Catatan Rapat: Tidak ada
  • Risalah: Tidak ada
  • Video: Tidak ada
  • Lain-lain: Draft RUU
^
3. Senin, 7 Februari 2022

Rapat Baleg

Rapat Pleno Baleg. Hasil rapat yang dipublikasi:

  • Lapsing: Ada
  • Catatan Rapat: Ada
  • Risalah: Tidak Ada
  • Video: Tidak ada
^
4. Selasa, 8 Februari 2022

Rapat Baleg

Pengambilan Keputusan RUU Menjadi Usul DPR RI. Hasil rapat yang dipublikasikan:

  • Lapsing: Tidak ada
  • Catatan Rapat: Tidak ada
  • Risalah: Tidak ada
  • Video: Tidak ada
  • Lain-lain: Pandangan Fraksi

Rekam Jejak Revisi II

RUU PPP

Tahap Pembahasan (Tk. I)

^
1. Kamis, 7 April 2022

Raker

Raker dengan Menko Polhukam, Menko Perekonomian, dan Menkumham. Hasil rapat yang dipublikasikan:

  • Lapsing: Tidak ada
  • Catatan Rapat: Tidak ada
  • Risalah: Ada
  • Video: Tidak ada
^
2. Jumat, 8 April 2022

Rapat Panja Baleg dan BKD

Rapat Panja Baleg dengan Pemerintah Terkait Pembahasan DIM. Hasil rapat yang dipublikasikan:

  • Lapsing: Ada
  • Catatan Rapat: Tidak ada
  • Risalah: Tidak ada
  • Video: Tidak ada
^
3. Sabtu, 9 April 2022

Rapat Baleg

Agenda Pembahasan RUU. Hasil rapat yang dipublikasikan:

  • Lapsing: Tidak ada
  • Catatan Rapat: Tidak ada
  • Risalah: Tidak ada
  • Video: Tidak ada
^
3. Senin, 11 April 2022

Rapat Baleg

Agenda Pembahasan RUU. Hasil rapat yang dipublikasikan:

  • Lapsing: Tidak ada
  • Catatan Rapat: Tidak ada
  • Risalah: Tidak ada
  • Video: Tidak ada
^
3. Rabu, 13 April 2022

Rapat Baleg

Agenda Pembahasan RUU. Hasil rapat yang dipublikasikan:

  • Lapsing: Tidak ada
  • Catatan Rapat: Tidak ada
  • Risalah: Tidak ada
  • Video: Tidak ada
^
4. Rabu, 13 April 2022

Raker

Raker dengan Menko Polhukam, Menko Perekomian, dan Menkumham. Hasil rapat yang dipublikasikan:

  • Lapsing: Tidak ada
  • Catatan Rapat: Tidak ada
  • Risalah: Ada
  • Video: Tidak ada

Rekam Jejak Revisi II

RUU PPP

Tahap Pembahasan (Tk II)

^
Selasa, 24 Mei 2022

Rapat Paripurna

Pengambilan Keputusan Tk.2. Hasil rapat yang dipublikasikan:

Isu Krusial

Home
Berlaku Surut

UU ini mengatur mengenai metode omnibus law. Pasal 42A menyebutkan bahwa Penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan. Aturan mengenai omnibus diatur secara rinci dalam sejumlah pasal, misalnya di Pasal 64, 97A, dan di Lampiran Teknik Penyusunan Naskah Akademik dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, dan Bentuk Rancangan Undang-Undang. Namun, masalahnya adalah, apakah dengan adanya UU ini, maka serta-merta UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja secara otomatis menjadi konstitusional? Jika DPR dan Pemerintah berpendapat demikian, maka artinya UU 13 Tahun 2022 ini berlaku surut.

Dalam UU 12/2011, jika membaca angka 124 Lampiran UU 12/2011, ada kesan bahwa berlaku surut boleh saja dilakukan, dengan beberapa ketentuan. Pada pasal tersebut disebutkan bahwa jika suatu peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.

Namun, prinsip dasarnya dilihat di angka 155 lampiran UU 12/2011 Pada dasarnya mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya. Kemudian, pada angka 156 dinyatakan Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya (berlaku surut), diperhatikan hal sebagai berikut:

  • ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;
  • rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan peralihan;
  • awal dari saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan ditetapkan tidak lebih dahulu daripada saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut tercantum dalam Prolegnas, Prolegda, dan perencanaan rancangan Peraturan Perundang-undangan lainnya.

Namun UU PPP ini memang tidak merinci apa yang dimaksud alasan kuat tersebut. Jika DPR berlindung di balik alasan kuat, MK dapat menguji kesahihan argumentasi dan situasi yang mengitarinya, benarkah DPR secara sungguh-sungguh tidak dapat membentuk dasar hukum UU Ciptaker. Dengan putusan MK yang ditindaklanjuti DPR seperti ini, berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum. DPR dan pemerintah bisa saja menciptakan metode atau teknik penyusunan UU baru, yang dasar hukum diciptakan kemudian.

Kesalahan Teknis Penulisan

Pada Pasal 72 ayat (1a) disebutkan: Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas RUU tersebut.

Sebenarnya ini sudah diakomodir di dalam Pasal 72 ayat (2): Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.  Pada Penjelasan Pasal ini disebutkan: Tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis
penulisan Rancangan Undang-Undang ke Lembaran Resmi Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan Undang-Undang oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 ini, disinyalir untuk mengakomodasi kesalahan fatal dalam drafting UU Ciptaker. Bukan hanya soal teknis, tetapi juga substansi. Namun, dengan rumusan seperti itu sebenarnya tidak ada yang berbeda dengan Pasal 72 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 dan memang pasca persetujuan bersama seharusnya tidak boleh ada perubahan substansi. Di UU Ciptaker, Naskah versi 905 halaman adalah naskah undang-undang yang disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 5 Oktober. Naskah ini memperoleh banyak kritik karena dalam undang-undang terdapat perubahan beberapa klausul dari beleid sebelumnya. Salah satu substansi yang dirombak terjadi pada aturan pesangon bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan, pengaturan uang pesangon diberikan dengan klausul ‘paling sedikit’. Pasal ini berbunyi: “perhitungan uang pesangon paling sedikit sebagai berikut”. Namun dalam draf versi ini, klausul “paling sedikit” di UU Ketenagakerjaan diubah menjadi “paling banyak”. Beberapa hari setelah disahkan, muncul naskah versi 1.028 halaman. Naskah itu diunggah dalam laman resmi DPR. Dalam draf versi kedua ini, klausul “paling banyak” pada bagian pesangong direvisi lagi menjadi “paling sedikit” seperti aturan semula, yakni dalam UU Ketenagakerjaan. Kondisi seperti ini tidak bisa dibenarkan meskipun dengan Pasal baru, apalagi sekadar pembenaran ala Pasal 72 ayat (1a) di atas. 

Transparansi dan Aksesibilitas

Dalam Pasal 96 ayat (4) disebutkan: Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Per-UU-an, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Pasal ini sebenarnya belum tegas mengatur mengenai aksesibilitas publik atas dokumen pembentukan UU. Idealnya secara tegas disebutkan bahwa DPR wajib mengumumkan pada situs web resmi lembaga mengenai dokumen pembentukan undang-undang, terdiri atas:

  • Naskah Akademik
  • Rancangan Undang-Undang
  • Penjelasan Pengusul RUU
  • Pandangan Fraksi DPR/Pemerintah atas RUU yang diusulkan
  • Pandangan akhir fraksi atas RUU 
  • Laporan akhir Baleg/AKD lain atas RUU
  • Pandangan akhir pemerintah/DPR atas RUU
  • Catatan Rapat pada setiap rapat pembentukan UU
  • Laporan Singkat pada setiap rapat pembentukan UU
  • Risalah Rapat pada setiap rapat pembentukan UU
  • dokumen lain yang dihasilkan atau didapatkan dalam proses pembentukan UU

 

Right to be Considered

Pasal 96 ayat (7) UU 13/2022 menyebutkan: Hasil kegiatan konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan Rancangan Peraturan Per-UU-an. Pasal ini untuk mengakomodir pertimbangan hukum dalam putusan MK yang menyatakan perlunya right to be considered dalam pembentukan UU. Namun, pasal ini saja sebenarnya tidak cukup memadai mengatur kewajiban DPR untuk mempertimbangkan masukan publik. Apalagi right to be explained sebagai mekanisme untuk mengetahui bagaimana pembahasan atas masukan tersebut, hanya dinormakan dengan kata “dapat”.  Bukan keharusan atau kewajiban.

Right to be Explained

Untuk mengakomodir pertimbangan hukum dalam putusan MK mengenai UU Cipta Kerja, yang menyebuutkan perlunya right to be explained dalam pembentukan UU, DPR mencantumkan sebuah pasal dalam UU No. 13 Tahun 2022, yaitu Pasal 96 ayat (8) yang menyebutkan bahwa Pembentuk Peraturan Per-UU-an dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1). Pasal ini dalam ungkapan bahasa Arab disebut “wujuduhu ka’adamihi”, adanya seperti tiadanya, karena kata “dapat” bermakna boleh dilakukan dan boleh juga tidak dilakukan, sehingga lagi-lagi tidak menjami publik yang berpartisipasi memperoleh right to be explained atas masukannya dalam pembentukan UU. 

Pemantau: Azlan Dwi Rahman

Pemantau: Azlan Dwi Rahman

Mahasiswa Administrasi Publik FISIP UMJ

Pemantauan RUU ini dilakukan pada periode 30 Juni 2022 – 11 Juli 2022 sebagai tugas magang di Indonesian Parliamentary Center (IPC) bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Jakarta (Jl. K.H. Ahmad Dahlan, Cireundeu, Kec. Ciputat Tim., Kota Tangerang Selatan, Banten 15419)