Urgensi RUU Masyarakat Adat
Home
Minimnya Pengakuan Hutan Adat
Hingga Maret 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah menerbitkan 89 surat keputusan berisi pengakuan terhadap hutan adat. Luas hutan adat milik 89 komunitas itu mencapai 89.783 hektare. Angka itu hanya 0,65 persen dari potensi hutan adat yang dicatat kelompok advokasi sipil, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), yakni sekitar 13,76 juta hektare. Kepala BRWA, Kasmita Widodo, menyebut penetapan hutan adat mesti didasarkan pada sejumlah syarat utama. Salah satunya, kelompok adat itu harus diakui secara hukum melalui peraturan daerah. Namun Kasmita menyebut pemerintah ternyata belum kunjung menetapkan banyak hutan adat meski berbagai syarat telah terpenuhi. “Dalam beberapa pertemuan dengan lembaga negara, kami mengusulkan 27 lokasi prioritas untuk hutan adat tapi sampai saat ini baru tiga hutan adat yang diakui,” ujarnya. “Ada sekitar 1 juta hektare wilayah yang sudah lengkap peraturan daerahnya, memiiki surat keputusan pengakuan masyarakat adat, tapi verifikasi KLHK baru dilakukan untuk tiga hutan adat,” kata Kasmita. (Sumber: Ibu kota baru: Pemerintah baru tetapkan 0,6% hutan adat, mengapa upaya lindungi warga adat lamban? – BBC News Indonesia)
Terjadinya Penggusuran dan Kriminalisasi Masyarakat Adat
Pandemi Covid-19 tak menyurutkan semangat perampasan wilayah adat. Tidak ada pilihan lain bagi Masyarakat Adat selain berusaha mempertahankan wilayah adat dengan mempertaruhkan hidupnya di tengah ancaman wabah dan ancaman klasik berupa kriminalisasi dan kekerasan. Kesan bahwa negara menjadikan pandemi sebagai dalih memperluas perampasan wilayah-wilayah adat sulit ditolak. Salah satu contoh nyata adalah apa yang ditulis dalam laman pusaka.or.id yang menunjukkan peningkatan perluasan perkebunan sawit di Papua selama masa pandemi. Pada periode Januari – Mei 2020, diperkirakan 1.488 hektar hutan di Papua lenyap. AMAN sendiri mencatat terdapat 40 (empat puluh) kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat yang terjadi pada tahun 2020. Sebagian besar kasus tersebut merupakan kasus yang telah dimulai pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi terus berlanjut karena tak kunjung mendapatkan penyelesaian dari negara. Dengan situasi tersebut, rasanya sulit untuk membantah bahwa negara memang telah melakukan pembiaran dan bersikap diskriminatif terhadap Masyarakat Adat. Secara detail, keempatpuluh kasus tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Masyarakat Adat vs Perkebunan : 10 kasus
2. Masyarakat Adat vs Pertambangan : 5 kasus
3. Masyarakat Adat vs bendungan dan PLTA : 6 kasus
4. Masyarakat Adat vs Pemerintah dan Pemerintah Daerah : 5 kasus
5. Masyarakat Adat vs KPH : 6 kasus
6. Masyarakat Adat vs Hutan Tanaman Industri : 3 kasus
7. Masyarakat Adat vs TNI : 1 kasus
8. Pencemaran Lingkungan di Wilayah Adat : 4 kasus
Dari keempat puluh kasus tersebut, sebanyak 39.069 orang Masyarakat Adat yang terbagi menjadi 18.372 Kepala Keluarga telah mengalami kerugian, baik kerugian ekonomi, kerugian sosial, maupun kerugian moral sebagai dampak dari tindakan intimidatif, kekerasan, dan kriminalisasi. Adapun total wilayah adat tempat berlangsungnya keempat puluh kasus tersebut mencapai 31.632,67 hektar. Angka ini hanya merupakan angka yang merepresentasikan kasus-kasus yang muncul ke permukaan. Sementara angka sesungguhnya jauh lebih tinggi mengingat tipologi konflik yang sebagian besar bersifat laten dan tidak selalu muncul ke permukaan.
Terhambatnya Hak Masyarakat Adat Karena UU Sektoral
ukannya menyelesaikan ketimpangan penguasaan struktural agraria, rezim Jokowi-Ma’ruf malah menjamu kepentingan kelompok pemodal dan investasi skala besar dengan mengesahkan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja (UU CILAKA). Lahirnya UU CILAKA menandai babak baru kolonialiasi masyarakat adat melalui rezim peraturan perundang-undangan. Kesan bahwa UU CILAKA pro pada investasi dan abai terhadap pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Adat tidak bisa ditutup-tutupi. Sikap tersebut ditunjukkan dengan cara-cara menghapus, menambahkan, atau menginterpretasi ulang berbagai ketentuan di 76 Undang-Undang yang telah ada. Langkah-langkah penghapusan, penambahan, atau interpretasi ulang tersebut dilakukan untuk mengabdi pada satu tujuan yaitu mempermudah investasi. UU CILAKA mengandung kecacatan prosedural, dan secara substantif sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup Masyarakat Adat, antara lain:
Inkonsistensi antara Politik Hukum dan Materi Muatannya
Salah satu dasar hukum pembentukan UUCK adalah TAP MPR RI No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang mengamanatkan kepada DPR RI dan Presiden RI untuk mengatur pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan SDA serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan. TAP MPR tersebut mengharuskan pembaruan agraria dan pengelolaan SDA dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip: menghormati dan menjunjung tinggi HAM, serta mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/SDA di dalam pengelolaan sumber daya agraria/SDA. Namun, isi UU CILAKA justeru tidak mencerminkan semangat dan amanat dari TAP MPR IX/2001 yang digunakan sebagai salah satu dasar hukum pembentukannya. UU CILAKA menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi nasional, percepatan proyek strategis nasional, serta realisasi kemudahan berusaha khususnya terkait perizinan dan pengaturan hukum yang sebelumnya dianggap masih kurang efektif dan efisien guna meningkatkan iklim investasi. UUCK menjadikan pembangunan ekonomi sebagai titik sentral dengan memberikan kemudahan-kemudahan dan insentif kepada pemilik/penanam modal yang dianggap sebagai pelaku usaha utama.
Bersifat Diskriminatif
Salah satu Undang-undang yang menghambat proses pengakuan Masyarakat Adat dan wilayah adatnya adalah UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal 67 UU tersebut diatur bahwa pengukuhan Masyarakat Adat dilakukan melalui Peraturan Daerah. Tdak diubahnya Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan itu menunjukkan bahwa Pemerintah tidak memiliki kehendak untuk menyelesaikan kerumitan pengakuan masyarakat adat yang selama ini lamban. Di sisi lain UU CILAKA memberikan kemudahan pada investasi. Ini berarti juga bahwa Pemerintah melalui tidak sensitif terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia dimana Masyarakat Adat ditempatkan sebagai kelompok masyarakat yang harus didahulukan dalam upaya pemenuhan dan perlindungan hak-haknya (prinsip affirmative action). Dengan tidak berubahnya Pasal 67 ayat (2) UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Khutanan maka dapat dipastikan bahwa prosedur pengakuan Masyarakat Adat masih akan panjang dan masih akan berbelit belit. UU CILAKA dengan demikian jelas bersifat diskriminatif karena di satu sisi mengatur berbagai kemudahan kepada investasi sementara di sisi lain melanggengkan prosedur pengakuan Masyarakat Adat yang berbelit-belit, bersifat politis, berbiaya tinggi, sehingga sulit dijangkau oleh Masyarakat Adat.
Memprioritaskan Kepentingan Investasi, Abai terhadap persoalan penyelesaian Konflik Tenurial di Kawasan Hutan.
Pengaturan UU CILAKA di sektor kehutanan yang berorientasi pada investasi tercermin dalam Pasal 36 butir 1 UU CILAKA yang mengubah Pasal 15 ayat (4) dan (5) UU Kehutanan, bahwa pemerintah pusat memprioritaskan percepatan pengukuhan kawasan hutan pada daerah yang strategis yang nantinya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Padahal data di lapangan (Fakultas Kehutanan IPB, 2017) menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 17,4 juta ha penguasaan tanah di dalam kawasan hutan termasuk izin tambang dan perkebunan, sementara data Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan KLHK RI per tahun 2017 menunjukkan bahwa kawasan hutan yang telah ditetapkan telah mencapai 68,29% dari total luas kawasan hutan nasional 125.945.195,08 ha. Dengan kontradiksi antara pengaturan hukum yang memprioritaskan kemudahan investasi daripada kebutuhan penyelesaian konflik tenurial di lapangan, selain akan memperluas ancaman perampasan wilayah masyarakat adat terutama di kawasan hutan untuk kepentingan investasi, juga akan meningkatkan kriminalisasi masyarakat adat yang mempertahankan hak atas wilayah adatnya yang selama ini telah diklaim secara oleh pemerintah sebagai kawasan hutan negara.
TAHAP PEMBENTUKAN UU
- Pengusulan: 6 Februari 2020
- Penyusunan: 10 Februari 2020 – 4 September 2020
- Pembahasan: Belum (menunggu persetujuan Pimpinan DPR RI)
PUBLIKASI DOKUMEN PEMBENTUKAN UU
Naskah Akademik
Penjelasan Pengusul RUU
Pendapat Mini Fraksi
Tidak ada
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
DIM: Tidak ada
Masukan Stakeholder
Tidak ada
Laporan Singkat
Catatan Rapat
1 dokumen dari 7 rapat
Risalah
Tidak ada
Jumlah Rapat
Laporan Singkat
Catatan Rapat
Risalah
Rekam Jejak
RUU MHA
Tahap Penyusunan
1. Kamis, 6 Feb 2020
Pengusulan RUU
RUU diusulkan oleh 12 Anggota dari Fraksi Partai NasDem. Dokumen yang diumumkan:
- Lapsing: Tidak ada
- Catatan Rapat: Tidak ada
- Risalah: Tidak ada
- Video: Tidak ada
- Lain-lain: Naskah Akademik, RUU
2. Senin, 10 Feb 2020
Rapat Pemaparan Pihak Pengusul
Rapat Baleg dalam rangka Harmonisasi (Paparan Pengusul RUU tentang Masyarakat Hukum Adat). Dokumen yang diumumkan:
- Lapsing: Ada
- Catatan Rapat: Ada
- Risalah: Tidak ada
- Video: Tidak ada
- Lain-lain: Penjelasan Pengusul
3. Minggu, 16 Feb 2020
Pemaparan Tim Ahli
4. Rabu, 22 April 2020
RDPU
Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Legislasi dengan PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam rangka pengarharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat. Dokumen yang diumumkan:
- Lapsing: Ada
- Catatan Rapat: Tidak ada
- Risalah: Tidak ada
- Video: Tidak ada
5. Senin, 6 Juli 2020
Rapat Harmonisasi
Rapat Panja Harmonisasi RUU tentang Masyarakat Hukum Adat (Pejelasan Tim Ahli atas draf RUU hasil penyempurnaan). Dokumen yang diumumkan:
- Lapsing: Ada
- Catatan Rapat: Tidak ada
- Risalah: Tidak ada
- Video: Tidak ada
- Lain-lain: Hasil Harmonisasi
6. Jum'at, 4 September 2020
Rapat Pengambilan Keputusan
Aditya Ardiansyah
Mahasiswa Administrasi Publik FISIP UMJ
Pemantauan RUU ini dilakukan pada periode 1 Juli 2022 sampai dengan 12 Juli 2022 sebagai tugas magang di Indonesian Parliamentary Center (IPC) bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Jakarta