KETERANGAN
Pada dimensi ini, DPR memperoleh skor 50. Angka ini merupakan gabungan dari dua indikator, yaitu:
- Ada tidaknya permohonan judicial review atas sebuah RUU yang disahkan (termasuk berapa jumlah permohonan).
- Ada tidaknya protes publik atas RUU (termasuk bentuk-bentuk protes dan jumlahnya).
Semakin banyak permohonan judicial review dan/atau protes publik, semakin menunjukkan bahwa RUU tersebut memiliki masalah dalam proses pembentukannya.
TEMUAN DAN ANALISIS
1) Ada Tiga UU yang Diuji ke MK (Materil dan Formil)
a. Ada tiga UU yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk di-judicial review
Tiga UU tersebut adalah UU No. 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 1 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan UU No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
b. Aspek yang diuji mencakup aspek materil dan formil
Sebagai contoh, setidaknya ada lima permohonan uji formil terhadap UU Ciptaker. Salah satunya adalah Perkara No. 103/PUU-XVIII/2020. Alasan permohonan uji formil dari Pemohon, antara lain: Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 37 Bagian Kedua Bab IV UndangUndang Cipta Kerja dan Pasal 1, Pasal 51, Pasal 53, Pasal 57, dan Pasal 89A Bagian Kelima Bab IV Undang-Undang Cipta Kerja tidak pernah ada dalam naskah RUU Cipta Lapangan Kerja ataupun RUU Cipta Kerja. Dan tidak pernah dibahas oleh tim tripartit tanggal 10 sampai 23 Juli 2020. Dan juga tidak pernah disinggung, baik oleh pemerintah maupun DPR, namun dalam Undang-Undang Cipta Kerja termuat.[1]
Jika dianalogikan pada pendapat Prof. Maria Farida Indrati (Hakim Mahkamah Konstitusi Periode 2008 – 2013) pada Putusan Nomor 79/PUU-XII/2014[2], alasan Pemohon tersebut dapat menjadi dasar untuk menyatakan terjadinya pelanggaran formil dalam pembentukan UU Ciptaker.
[1] Risalah Sidang Perkara Nomor 103/PUU-XVIII/2020 Perihal Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hlm. 10
[2] Dissenting opinion Prof. Maria Farida Indrati, berbunyi: “Dari fakta persidangan bahwa UU MD3 khususnya Pasal 84 tidak pernah masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebelumnya, namun tiba-tiba masuk dalam DIM perubahan pada tanggal 30 Juni 2014 setelah diketahui komposisi hasil Pemilu, dengan demikian jika dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 maka produk hukum tersebut dibentuk tidak berdasarkan hukum akan tetapi karena kepentingan politis semata. Memperhatikan bukti dan fakta persidangan bahwa tidak terdapat keperluan yang mendesak akan perlunya perubahan terhadap norma Pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan apalagi dalam DIM sebelumnya serta dalam Naskah Akademik tidak pernah ada pembahasan mengenai hal tersebut, oleh karena itu menurut saya pembentukan UU MD3 a quo, jelas melanggar UU Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang merupakan derivasi dari Pasal 22A UUD 1945. Sehingga secara formil UU MD3 tersebut cacat hukum dalam proses pembentukannya.”
2) Lima RUU Mendapat Protes Publik
a. Ada lima RUU yang mendapatkan protes publik
Lima RUU yang mendapatkan protes publik adalah RUU Bea Materai, RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Cipta Kerja, RUU Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. (Lihat Lampiran 1)
b. Ada tiga RUU dengan tingkat penerimaan publik rendah dibanding RUU lainnya
Tiga UU tersebut adalah UU No. 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 1 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan UU No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Pasalnya, ketiga UU tersebut mendapatkan banyak protes publik, dan digugat melalui jalur hukum ke Mahkamah Konstitusi. Selain tiga UU tersebut, terdapat dua UU yang mendapatkan protes publik namun tidak digugat ke Mahkamah Konstitusi, yaitu UU No. 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai dan UU No. 9 Tahun 2020 tentang APBN 2021.
Keterterimaan publik atas sebuah RUU dipengaruhi oleh faktor teknis seperti transparansi dan partisipasi yang minim atau tidak dibangun dengan sungguh-sungguh oleh DPR. Selain itu, keterterimaan publik juga bisa dipengaruhi oleh faktor politis, di mana DPR secara sengaja mengabaikan aspirasi publik meskipun telah membangun ruang partisipasi (ini yang oleh Sherry R. Arnstein sebagai tokenism). Secara sederhana kondisi dapat dijelaskan dalam perspektif monetary surrogacy.
Dalam teori representasi, Mansbridge mengemukakan salah satu dari empat bentuk representasi dalam demokrasi modern yaitu representasi surrogative, bila wakil politik merepresentasikan konstituen yang bukan berasal dari konstituennya. Manipestasi yang paling sering dari bentuk representasi ini adalah monetary surrogacy, yang terjadi bila warga negara dengan pendapatan tinggi menyumbang kampanye pemilihan di luar distrik wakil politik.[1] Siapa mereka? Tentu yang berkepentingan terhadap undang-undang. Itulah mengapa, seperti kata Satjipta Rahardjo, “…sulit untuk ditolak perundang-undangan itu lebih menguntungkan pihak yang makmur, yaitu mereka yang bisa lebih aktif melakukan kegiatan-kegiatan politik.”[2] Konstruksi representasi seperti ini berpotensi terjadi pada pemilihan legislatif yang menyebabkan abainya anggota DPR terhadap konstituennya.
Monetary surrogacy tidak perlu bekerja pada personal setiap anggota, tetapi cukup pada level pimpinan partai, karena mereka melalui fraksi yang mengontrol kedaulatan anggota dalam mengambil keputusan. Fraksi/partai yang berwenang menentukan pendapat anggota dalam pengambilan keputusan. Kewenangan ini disertai sejumlah tindakan terhadap anggota yang dinilai tidak patuh, antara lain mutasi penempatan anggota DPR di Alat Kelengkapan DPR; Pergantian Antar Waktu (PAW); dan pemecatan dari keanggotaan partai. Kondisi ini menyebabkan hilangnya susbtansi keterwakilan.
Ketika partai telah menentukan sikap anggota, anggota DPR tidak berdaya untuk mengambil sikap, meskipun sebuah RUU/UU mendapatkan penolakan secara besar-besaran oleh masyarakat. Misalnya, pada UU KPK dan UU Cipta Kerja; melemahkan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran DPR. Misalnya, pada UU Penetapan Perppu Covid-19; dan melanggar prosedur pembentukan UU. Misalnya pada UU Ciptaker.
Pada empat UU yang mendapat protes publik dan tiga di antaranya diajukan ke MK, dilatarbelakangi oleh dua kondisi di atas. Namun faktor teknis ini sebenarnya juga imbas dari faktor politis. Kelompok buruh merasakan adanya diskriminasi pada proses penyusunan RUU ini. Seperti diketahui, Pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) RUU Cipta Kerja yang langsung dikepalai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani. Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjadi pengarah. Secara keseluruhan, ada 127 orang yang dipilih untuk menginventarisasi masalah dan memberikan masukan terkait omnibus law. Sebagian besarnya adalah pengusaha. Hal ini dirasakan kelompok buruh sebagai pengabaian asas keadailan.
Dalam proses pembahasan, kelompok buruh lagi-lagi tidak mendapat ruang yang memadai. Dengan kondisi fraksi-fraksi yang terkooptasi ke elit partai, semakin sulit bagi kelompok buruh mendapatkan dukungan dari para anggota partai. Ke depan, tetap perlu didorong adanya pengaturan mengenai kondisi-kondisi yang memungkinkan seorang anggota DPR berposisi sebagai delegate (mengikuti kehendak konstituen) dan trustee (memutuskan secara pribadi), tidak melulu sebagai partisan (tunduk pada partai) seperti yang terjadi pada pembentukan sejumlah UU akhir-akhir ini.
[1] Nuri Suseno, Representasi Politik; Perkembangan Dari Ajektiva ke Teori, (Jakarta: Puskapol Universitas Indonesia, 2013), hlm. 77
[2] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cetakan keenam (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 86
LAMPIRAN
Lampiran 1: Daftar RUU berdasarkan Respon Publik
RUU/UU | Gugatan ke MK | Protes Publik |
RUU Bea Materai | Tidak | Ya |
RUU Mahkamah Konstitusi | Ya | Ya |
RUU Cipta Kerja | Ya | Ya |
RUU Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021 | Tidak | Ya |
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua | Ya | Ya |
RUU Pengesahan Comprehensive Economic Partnership Agreement Between the Republic of Indonesia and the EFTA States (Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Antara Republik Indonesia dan Negara-Negara EFTA) | Tidak | Tidak |
RUU Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Kerajaan Swedia Tentang Kerja Sama Dalam Bidang Pertahanan | Tidak | Tidak |
RUU Pengesahan Protocol To Implement The Seventh Package Of Commitments On Financial Services Under The Asean Framework Agreement On Services (Protokol Untuk Melaksanakan Paket Komitmen Ketujuh Bidang Jasa Keuangan Dalam Persetujuan Kerangka Kerja Asean Di Bidang Jasa) | Tidak | Tidak |
Lampiran 2: Daftar Permohonan Judicial Review terhadap UU di TS 2020-2021
Daftar Permohonan Judicial Review atas UU Cipta Kerja
- 37/PUU-XIX/2021
- 30/PUU-XIX/2021
- 4/PUU-XIX/2021
- 5/PUU-XIX/2021
- 3/PUU-XIX/2021
- 109/PUU-XVIII/2020
- 108/PUU-XVIII/2020
- 107/PUU-XVIII/2020
- 105/PUU-XVIII/2020
- 103/PUU-XVIII/2020
- 101/PUU-XVIII/2020
- 95/PUU-XVIII/2020
- 91/PUU-XVIII/2020
- 87/PUU-XVIII/2020
Daftar Permohonan Judicial Review atas UU Mahkamah Konstitusi
- 11/PUU-XIX/2021 (Ditolak)
- 100/PUU-XVIII/2020
- 97/PUU-XVIII/2020 (Tidak dapat diterima)
- 90/PUU-XVIII/2020
- 96/PUU-XVIII/2020