If you fail to plan, you are planning to fail!” Senada dengan ungkapan Benjamin Franklin tersebut, penulis berpendapat bahwa sebagian problem legislasi di Indonesia disebabkan karena kesalahan perspektif DPR dan Pemerintah dalam memaknai tahap perencanaan. Prolegnas seharusnya didesain menjadi instrumen penataan peraturan perundang-undangan (karena pada faktanya, kita mengalami gejala hiper regulasi dan disharmoni antar regulasi). Jadi, bukan hanya instrumen penentuan prioritas pembentukan undang-undang, seperti praktik saat ini. Tanpa pembenahan demikian, dampaknya, DPR dan Pemerintah dapat menghasilkan undang-undang, namun diikuti dengan beragam masalah, sebagaimana pada contoh di bawah ini.

 

Tabel 1: Masalah pada UU di Sektor Energi

NO UU MASALAH
1 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Terdapat 18 (delapan belas) pasal yang tidak/kurang memenuhi asas kejelasan rumusan, dan perlu disesuaikan dengan putusan MK. Pasal-pasal tersebut yaitu Pasal 1 angka 23, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 28, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 59, Pasal 61 dan Pasal 63.
2 UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. Terdapat 5 (lima) pasal yang tidak/kurang memenuhi dengan asas kejelasan rumusan, asas keadilan. Pasal-pasal tersebut yaitu Pasal 2, Pasal 3,Pasal 22, Pasal 25 dan Pasal 28.
3 UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan Terdapat 16 (enam belas) pasal yang tidak/kurang memenuhi asas kejelasan rumusan, asas keseimbangan keseasian dan keselarasan, asas keadilan. Pasal-pasal tersebut yaitu Pasal 5, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 37, Pasal 39, Pasal 42, Pasal 45, Pasal 34 dan Pasal 48;
4 UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Terdapat 17 (tujuh belas) pasal yang tidak/kurang memenuhi asas kejelasan rumusan. Pasal-pasal tersebut yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 40 dan Pasal 67-77.

Sumber: Diolah dari Laporan Akhir Kelompok Kerjaan Alisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Kedaulatan Energi. Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Tahun 2016.

 

Pada tahap perencanaan, yang perlu diperhatikan pertama yaitu mendesain perencanaan sebagai instrumen pemetaan masalah (problem assessment). Untuk itu, DPR perlu mengakomodir seluruh usulan RUU dari DPR, DPD, dan pemerintah, tanpa pembatasan. Bahkan, terhadap sebuah UU yang tidak dimasukkan ke prolegnas sekalipun, tetapi ternyata memiliki nilai strategis, maka DPR seharusnya memberi ruang agar UU tersebut dimasukkan untuk melengkapi kluster yang sedang disusun. Dengan demikian, ada gambaran relatif utuh mengenai peta persoalan terkait peraturan perundang-undangan.

Dari seluruh usulan RUU tersebut, dibuat klusterisasi tematik. Misalnya: kluster pertanian, energi, lingkungan, dan lain-lain (satu RUU bisa saja masuk pada beberapa kluster, tergantung pada fokus yang diatur).

 

Tabel 2. Contoh Klusterisasi Tematik

NO KLUSTER PERHUTANAN KLUSTER PERTANAHAN KLUSTER PERWILAYAHAN KLUSTER

ENERGI

1 RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan RUU Pertanahan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang RUU tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
2 RUU tentang Sistem Perlindungan dan Pengelolaan Hutan RUU tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah RUU tentang Kawasan Terpadu Mandiri RUU tentang Pemanfaatan Tenaga Surya
3 RUU tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan RUU tentang Sistem Penyelesaian Konflik Agraria RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
4 RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum RUU tentang Daerah Kepulauan RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan
RUU tentang  Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan

Sumber: Penulis (Diolah dari Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024)

 

Di setiap kluster tematik ini, kemudian dilakukan penstrukturan materi. Dari sini akan terpetakan materi mana yang menjadi “RUU payung”, RUU sektoral, bagian dari RUU sektoral, atau diatur dalam peraturan perundang-undangan selain undang-undang.

Ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama, penstrukturan secara radikal, yaitu dengan mengatur ulang materi di seluruh RUU dalam sebuah kluster yang sama. Pada kluster tematik yang di dalamnya berisi mayoritas RUU baru, maka penstrukturan ini relatif lebih mudah. Contoh, penulis mengidentifikasi ada beberapa RUU yang dapat dikategorikan sebagai kluster “Kesejahteraan Sosial” di bawah ini. Penulis berpendapat bahwa semua RUU pada kluster “Kesejahteraan Sosial” di atas, dapat dijadikan dalam satu RUU, yaitu RUU Kesejahteraan Sosial.

 

Tabel 3. Kluster Kesejahteraan Sosial

NO Judul RUU
1 RUU tentang Perlindungan dan Bantuan Sosial
2 RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak
3 RUU tentang Pemberdayaan Anak Yatim dan Anak Terlantar oleh Negara
4 RUU tentang Bank Makanan untuk Kesejahteraan Sosial
5 RUU tentang Kesejahteraan Sosial
6 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
7 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

Sumber: Penulis (Diolah dari Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024)

 

Cara kedua, yaitu penstrukturan secara moderat. Sepanjang sejumlah RUU pada satu kluster tertentu dinilai mengandung materi muatan yang layak sebagai undang-undang (apalagi terhadap RUU Perubahan), maka pengaturannya tetap pada setiap RUU tersebut. Namun dengan mengharmoniskan kembali materi muatan antar RUU tersebut. Contoh, pada kluster energi, tidak perlu penstrukturan secara radikal terhadap materi muatan yang berkaitan dengan mineral dan batubara, minyak dan gas bumi, ketenaganukliran, karena masing-masing sudah diatur dalam RUU sebelumnya. Selain itu, materi muatan tersebut juga layak diatur dalam undang-undang. Adapun yang perlu dipastikan adalah tidak ada tumpang tindih di masing-masing RUU. Misalnya, RUU EBT yang berpotensi tumpang tindih dengan RUU Ketenaganukliran dan RUU Energi.

Setelah itu ada tiga pilihan pembagian RUU terhadap satu kluster tematik ini. Pertama, dikodifikasi menjadi satu RUU. Kedua, dibagi menjadi “RUU payung” dan RUU sektoral. Ketiga, dibagi menjadi beberapa RUU sektoral tanpa “RUU payung” (lihat contoh pada tabel 3).

 

Tabel 4. Contoh Hasil Strukturisasi RUU Dalam Satu Kluster Tematik

USULAN RUU HASIL PEMETAAN MATERI MUATAN KESIMPULAN PILIHAN PEMBAGIAN RUU
I II III
RUU A RUU payung Ada tiga RUU (1 RUU Payung, 2 RUU sektoral)

 

Dikodifikasi menjadi satu RUU Dibagi menjadi RUU payung dan dua RUU sektoral Dibagi menjadi dua RUU sektoral (dengan mencabut RUU payung)
RUU B RUU sektoral 1
RUU C RUU sektoral 2
RUU D Diatur di RUU sektoral 1
RUU E Diatur di RUU sektoral 2
RUU F Diatur di PP
RUU G Diatur di Permen

Sumber: Penulis

 

Dengan kondisi peraturan perundang-undangan yang bermasalah seperti sekarang, kemungkinan proses perencanaan seperti ini akan memakan waktu lama. Karena itu, menurut penulis, dalam satu tahun pertama, sebaiknya DPR dan pemerintah fokus pada perencanaan sebagaimana disampaikan di atas (ex-ante assessment). DPR dan pemerintah tidak perlu membuat RUU baru kecuali pada RUU kumulatif terbuka atau RUU di luar Prolegnas yang bersifat darurat.

Setelah menentukan pilihan apakah satu kluster tematik tadi dipecah menjadi “RUU payung” dan beberapa RUU sektoral, atau beberapa RUU sektoral saja tanpa “RUU payung” atau dikodifikasi menjadi satu RUU, berikutnya masuk pada tahap penyusunan. Meskipun pilihannya bukan kodifikasi, penulis mengusulkan agar penyusunan Naskah Akademik dan RUU atas satu kluster tematik tadi dilakukan secara bersamaan. Tujuannya, agar tercapai keharmonisan substansi. Jika RUU merupakan inisiatif DPR, maka penyusunan sebaiknya dilakukan oleh tenaga ahli dari Komisi terkait, Badan Keahlian Dewan, dan Badan Legislasi (berkoordinasi dengan DPD dan Pemerintah). Dengan segenap pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki para tenaga ahli, harapannya proses penyusunan NA dan draf awal RUU bisa terwujud secara objektif dan efektif.

Setelah tahap penyusunan selesai, berikutnya adalah menentukan prioritas pembahasan. Jika pilihannya bukan kodifikasi, maka ada beberapa alternatif dalam prioritas pembahasan, yaitu: a. melakukan pembahasan terlebih dahulu terhadap RUU yang dinilai menjadi “RUU payung” dalam sebuah kluster tematik; b. melakukan pembahasan secara bersamaan antara “RUU payung” dan seluruh RUU sektoral dalam satu kluster tematik; c. jika tidak ada “RUU payung”, maka dapat dilakukan pembahasan secara bersamaan atas beberapa RUU sektoral; d. jika terdapat kebutuhan mendesak atas satu RUU sektoral, pembahasan RUU sektoral tersebut diprioritaskan bersamaan dengan pembahasan “RUU payung” (jika ada “RUU payung”) dan/atau dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh keharmonisan substansi dengan RUU sektoral lainnya (yang sudah diselesaikan pada tahap penyusunan).

 

Tabel 5. Pilihan Prioritas Pembahasan RUU (Terdapat “RUU Payung”)

No RUU PILIHAN PRIORITAS PEMBAHASAN
I II III IV V VI VII
1 RUU payung x x x x x x x
2 RUU sektoral A x x x x
3 RUU sektoral B x x x x
4 RUU sektoral C x x x

Sumber: Penulis

 

Tabel 6. Pilihan Prioritas Pembahasan RUU (Tidak Terdapat “RUU Payung”)

No RUU PILIHAN PRIORITAS PEMBAHASAN
I II III IV V VI VII
1 RUU sektoral A x x x x
2 RUU sektoral B x x x x
3 RUU sektoral C x x x x

Sumber: Penulis

 

RUU EBT memang masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahunan Tahun 2020 bersama 36 RUU lainnya, namun RUU lain yang memiliki keterkaitan dengan RUU EBT dan sektor energi pada umumnya, tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahunan Tahun 2020 ini. Penulis mengidentifikasi, dari 248 RUU pada Prolegnas 2020-2024, setidaknya ada tujuh RUU yang berkaitan dengan sektor energi. Penetapan seperti ini berpotensi menyebabkan pembentukan RUU EBT tidak berjalan dengan harmonis dengan UU lain, tumpang tindih pengaturan, atau bahkan mengalami penundaan di tengah jalan.

 

Tabel 7. Daftar RUU Prolegnas 2020 – 2024 terkait Sektor Energi

No Nama RUU Usulan Tahun Prioritas
1 RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan DPR dan DPD Tahun 2020
2 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi DPR dan DPD Belum ditetapkan
3 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara DPR Tahun 2020 (sudah disahkan UU No. 2 Tahun 2020)
4 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi DPR Belum ditetapkan
5 RUU tentang Pemanfaatan Tenaga Surya DPR Belum ditetapkan
6 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran DPR dan Pemerintah Belum ditetapkan
7 RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. DPR dan DPD Belum ditetapkan

Sumber: Penulis (Diolah dari situs web DPR RI, 7 November 2020)

 

Usulan pembenahan di atas, perlu dihadirkan secara normatif. Tanpa penormaan, bisa jadi sebuah RUU sektoral diselesaikan cepat mendahului RUU lain bahkan melalui prosedur yang melanggar UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jo. UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU PPP).

Ahmad Redi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, menengarai pelanggaran prosedural itu terjadi pada UU No. 2 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba). Ada dua cacat prosedur dalam pembentukan RUU Minerba. Pertama, RUU Minerba diperlakukan sebagai RUU operan/luncuran (carry over) dari periode sebelumnya. Padahal belum pernah ada pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada periode sebelumnya tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 71A UU PPP. Kedua, ketiadaan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Padahal RUU ini terkait dengan pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya melibatkan DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012.[1]

Agar klusterisasi bisa berjalan dengan cepat, maka pada tahap perencanaan, setiap RUU seharusnya disertai dengan rumusan konsepsi yang serius, bukan sekadar formalitas. Pada Pasal 19 UU PPP disebutkan bahwa Prolegnas memuat program pembentukan undang-undang dengan judul RUU dan konsepsi RUU. Adapun konsepsi RUU meliputi:

  1. latar belakang dan tujuan penyusunan;
  2. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
  3. jangkauan dan arah pengaturan

Selanjutnya, pada Pasal 19 ayat (3) disebutkan bahwa tiga materi konsepsi di atas yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik (NA).  Sebenarnya, tidak tertutup kemungkinan ada perbedaan antara konsepsi awal dan konsepsi pasca pengkajian dan penyelarasan tersebut. Pada situs web DPR, menu deskripsi konsepsi RUU EBT, dibiarkan tanpa isi. Padahal deskripsi konsepsi ini merupakan informasi awal untuk memahami mengapa sebuah RUU diusulkan.

Melalui konsepsi, seharusnya tergambar kejelasan tujuan yang ingin dicapai (beginsel van duidelijke doelstelling). Dalam konteks RUU EBT, misalnya, ada jawaban mengapa dalam RUU ini perlu diatur energi baru. Sejumlah kalangan mengusulkan agar RUU EBT fokus pada energi terbarukan.

Penggabungan dua jenis energi tersebut berpotensi menimbulkan konsekuensi pada adanya pendetilan bab mengenai energi nuklir yang dinilai sejumlah kalangan lebih tepat diatur dalam RUU Ketenaganukliran; pembahasan yang semakin lama; tidak tertutup kemungkinan terjadi tumpang tindih/disharmoni antar-RUU bahkan terhenti (karena RUU Perubahan UU tentang Energi sebagai payung, belum dibahas. Jika pun berhasil menjadi UU, ada potensi masalah dalam pencapaian tujuan (doeltreffendheid), pelaksanaan (uitvoerbaarheid) dan penegakan hukumnya (handhaafbaarheid).

Selain konsepsi, dokumen lain yang penting ditampilkan sejak tahap perencanaan yaitu hasil pemantauan dan peninjauan terhadap: a. undang-undang yang akan diubah (jika RUU Perubahan). b. undang-undang lain yang memiliki keterkaitan erat dengan sebuah RUU[2]. Untuk RUU EBT, misalnya, dibutuhkan hasil pemantauan dan peninjauan terhadap UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi dan UU sektoral lain yang terkait seperti UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Ringkasan hasil pemantauan dan peninjauan dapat dicantumkan dalam konsepsi RUU Perubahan tersebut atau RUU terkait. Sementara untuk dokumen secara lengkap, dapat disertakan secara terpisah dari konsepsi (pada tahap penyusunan, dicantumkan dalam Naskah Akademik pada Bab III Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait).[3]

Sebagai informasi, untuk laporan pemantauan terhadap UU Energi oleh Pemerintah dapat dilihat pada Laporan Akhir Kelompok Kerjaan Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Kedaulatan Energi. Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Tahun 2016. Sementara laporan pemantauan oleh DPD, dapat dilihat pada Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 38/DPD RI/II/2015-2016 Tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Pelaksanaan UU No. 30 Tahun 2007 Tentang Energi. Untuk laporan pemantauan dan peninjauan dari DPR, sejauh ini, penulis belum menemukannya.

 

 

Catatan Kaki

[1] Refly Harun, “RUU Minerba Dituding sebagai Perampokan oleh Konglomerat Tambang? Berikut Penjelasan Dr. Ahmad Redi”, youtube, 22 Mei 2020, https://www.youtube.com/watch?v=m-uEKOyGofA

[2] Pemantauan dan Peninjauan adalah kegiatan untuk mengamati, mencatat, dan menilai atas pelaksanaan Undang-Undang yang berlaku sehingga diketahui ketercapaian hasil yang direncanakan, dampak yang ditimbulkan, dan kemanfaatannya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu, Baleg seharusnya memiliki panduan pelaksanaan dan format resmi laporan Pemantauan dan Peninjauan UU. (Pasal 1 angka 14 UU No. 15 Tahun 2019).

[3] Pasal 126 ayat (3) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib